Selasa, 13 Desember 2011

[Koran-Digital] Tulus Abadi: Candu Subsidi Bahan Bakar Minyak

Tulus Abadi, ANGGOTA PENGURUS HARIAN YLKI DAN ANGGOTA DEWAN TRANSPORTASI
KOTA JAKARTA

Bahkan, yang lebih memprihatinkan, se- buah studi menunjukkan lebih dari
50 per- sen golongan terkaya di Indonesia menik- mati hampir 90 persen
subsidi bahan ba- kar minyak.
Ternyata bukan hanya ganja, mariyuana, rokok, atau bahkan kopi yang
membuat seseorang kecanduan. Sebuah kebijakan yang dilanggengkan selama
puluhan tahun pun mengakibatkan masyarakat "nyandu"terhadap kebijakan
tersebut. Subsidi bahan bakar minyak adalah contoh konkret untuk
menggambarkan fenomena tersebut. Selama puluhan tahun, sejak rezim
Soeharto, subsidi bahan bakar minyak mendarah-daging di sebagian
kelompok masyarakat. Seolah, jika subsidi bahan bakar minyak dicabut,
perekonomiannya bangkrut, mati suri. Lalu, bagaimana sebenarnya potret
kebijakan subsidi bahan bakar minyak itu? Di dunia ini, hanya beberapa
gelintir negara yang masih menggelontorkan subsidi via bahan bakar
minyak, yaitu Arab Saudi, Iran,Venezuela, plus Indonesia. Bedanya,
ketiga negara yang disebut pertama masih surplus minyak, bahkan untuk
diekspor. Sedangkan Indonesia? Alih-alih untuk ekspor, untuk mencukupi
kebutuhan dalam negeri saja tak mampu.

Secara nasional, kebutuhan bahan bakar minyak mencapai 1,3 juta barel
per hari. Tetapi produksi minyak nasional hanya mampu memasok sekitar
900 ribu barel. Untuk menambal kekurangan itu, ya, impor.

Benar, Indonesia telah menjadi nett importer minyak untuk kebutuhan
dalam negeri. Tetapi aneh bin ajaib, kendati mengimpor, pemerintah
justru menggelontorkan subsidinya makin kencang. Pada 2011, pemerintah
menggelontorkan subsidi bahan bakar minyak sebesar Rp 126 triliun. Belum
lagi subsidi sektor ketenagalistrikan Rp 65 triliun. Bandingkan dengan
anggaran yang dialokasikan pemerintah untuk sektor pendidikan (Rp 92
triliun), sektor kesehatan (Rp 14 triliun), dan jaminan sosial yang
hanya Rp 9 triliun.

Jadi, alokasi subsidi bahan bakar minyak tiga kali lipat dari angka yang
dialokasikan untuk sektor kesehatan, pendidikan, dan jaminan sosial!
Padahal ketiga sektor itu merupakan kebutuhan dasar masyarakat Indonesia.
transportasi massal cepat di kota-kota besar. Kalaupun dibangun, belum
tentu angkutan massal cepat itu diminati oleh konsumen. Untuk apa
menggunakan angkutan umum massal, toh biaya operasi kendaraan pribadi
masih sangat murah, karena bahan bakarnya masih disubsidi? Ketiga,
pemerintah pun menjadi malas untuk mengembangkan energi baru dan
terbarukan. Padahal negeri Khatulistiwa ini sangat kaya akan
sumber-sumber energi baru dan terbarukan, misalnya panas bumi. Bahkan 40
persen energi panas bumi (geothermal) dunia disimpan di perut bumi
Indonesia. Itu semua tak pernah dikembangkan, karena pemerintah
dikerangkeng oleh subsidi bahan bakar minyak.

Kesimpulan, saran Pemerintah, bersama DPR, telah menetapkan bahwa pada
2012 tidak akan ada kenaikan harga bahan bakar minyak. Artinya, alokasi
anggaran subsidi bahan bakar minyak makin tinggi. Jelas, ini suatu
pelanggengan kebijakan yang sangat tidak tepat, bahkan sesat pikir. Aneh
dan ironis, justru pemerintah berpromosi via iklan di berbagai media,
plus di area SPBU, bahwa "bahan bakar minyak bersubsidi hanya untuk
golongan yang tidak mampu". Substansi iklan itu benar. Masalahnya,
mengapa pemerintah hanya berani mengimbau, padahal secara
normatif-konstitusional pemerintah mempunyai instrumen yang lebih kuat,
yaitu pricing policy. Lagi pula, kalau sudah tahu bahwa pengguna bahan
bakar bersubsidi bukan dari golongan yang tidak mampu, mengapa
pemerintah hanya berpangku tangan? Penggelontoran subsidi via bahan
bakar, dan penikmatnya adalah kendaraan pribadi, merupakan kebijakan
sesat pikir. Peruntukan subsidi seharusnya dialokasikan untuk komoditas
berjangka panjang: subsidi produk pertanian, pangan, pendidikan, dan
kesehatan. Jadi, Presiden Yudhoyono (bahkan DPR) seharusnya tidak ciut
nyali untuk mengurangi subsidi bahan bakar minyak dengan cara menaikkan
harga. Bukan malah menjadikan subsidi bahan bakar minyak sebagai
komoditas politik jangka pendek. Bebaskan masyarakat dari penyakit
"racun candu"subsidi bahan bakar minyak!

http://epaper.korantempo.com/PUBLICATIONS/KT/KT/2011/12/14/ArticleHtmls/Candu-Subsidi-Bahan-Bakar-Minyak-14122011012017.shtml?Mode=1

--
"One Touch In BOX"

To post : koran-digital@googlegroups.com
Unsubscribe : koran-digital-unsubscribe@@googlegroups.com

"Ketika berhenti berpikir, Anda akan kehilangan kesempatan"-- Publilius Syrus

Catatan : - Gunakan bahasa yang baik dan santun
- Tolong jangan mengiklan yang tidak perlu
- Hindari ONE-LINER
- POTONG EKOR EMAIL
- DILARANG SARA
- Opini Anda menjadi tanggung jawab Anda sepenuhnya dan atau
Moderator Tidak bertanggung Jawab terhadap opini Anda. -~----------~----~----~----~------~----~------~--~------------------------------------------------------------
"Bersikaplah sopan, tulislah dengan diplomatis, meski dalam deklarasi perang sekalipun seseorang harus mempelajari aturan-aturan kesopanan." -- Otto Von Bismarck.
"Lidah orang berakal dibelakang hatinya, sedangkan hati orang dungu di belakang lidahnya" -Ali bin Abi Talib.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar