Minggu, 25 Desember 2011

[Koran-Digital] S Rahma Mary H: Mesuji, Cermin Konflik Agraria yang Kronis

S Rahma Mary H Manajer Pembaharuan Hukum dan Resolusi Konflik pada
Perkumpulan untuk Pembaharuan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis
(Huma).
Noer Fauzi Rachman Anggota Perkumpulan Huma, Dewan Pakar Konsorsium
Pembaruan Agraria, dan dosen studi agraria dan kebijakan pertanahan di
Departemen Ilmu Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi
Manusia IPB. A WAL Desember 2011, pub lik Indonesia disentak kan dengan
pengaduan perwakilan masyarakat beberapa desa di Mesuji, Lampung, kepada
wakil rakyat di DPR RI.
Mereka mengadukan peristiwa pembunuhan sekitar 30 warga desa di sekitar
perkebunan sawit di Mesuji, Lampung dan Sumatra Selatan.

Peristiwa itu terjadi antara 2009 dan 2011.

W a k i l masyarakat menyingkap tabir kejahatan perusahaan-perusahaan
perkebunan dan hutan tanaman industri (HTI) kepada masyarakat di sekitar
perkebunan ke lapa sawit.

Pertama, ka sus pem bunuhan warga D e s a Sodong, Kecamatan Sodong,
Kecamatan Mesuji, Ogan Kome ring Ilir, Sumatra Sela tan, dalam konflik
tanah antara masyarakat dan PT Sumber Wangi Alam. Kedua, kasus
penembakan warga Desa Kagungan Dalam, Sri Tanjung, dan Nipah Kuning,
Keca matan Mesuji, Kabupaten Lampung Utara, dalam konflik tanah antara
masyarakat dan PT Barat Selatan Makmur Investindo. Adapun ketiga,
terbunuhnya seorang warga dalam konflik tanah di Register 45 Sungai
Buaya Lampung antara masyarakat Kampung Talang Batu, Talang Gunung, dan
Labuhan Batin, Kecamatan Way Serdang, Kabupaten Mesuji, Lampung, dengan
PT Silva Inhutani.

Ketiga kasus di tersebut tergolong pelanggaran HAM yang dilandasi
perampasan tanah masyarakat untuk perkebunan sawit yang terjadi di
sekitar tahun 1990-an.

Pemerintah menyetujui permohonan-permohonan izin pembukaan lahan untuk
perkebunan sawit dan hutan tanaman industri yang diajukan
perusahaan-perusahaan itu.
Kemudahan memperoleh izin lokasi bagi kedua perkebunan sawit dan izin
pengusahaan hutan tanaman industri untuk PT Silva Inhutani menjadi
permulaan konflik agraria ini.

Konflik agraria di Mesuji Lam pung dan Sumatra Selatan tersebut memecah
kebekuan atas penanganan ribuan konflik agraria. Pemerin tah lebih
banyak mendiamkan konflik-konflik tersebut. Data yang dihimpun Per
kumpulan un tuk Pemba haruan Hu kum dan Masyarakat (Huma) menyebutkan
bahwa selama 10 tahun terakhir terdapat 108 konflik agraria di 10
provinsi di Indone sia yang didominasi oleh konflik tenurial di kawasan
hutan (69 kasus) dan konflik perkebu nan (23 kasus).

BPN bahkan mencatat 8.000 konflik agraria di Indonesia. Sementara, Sawit
Watch mencatat konflik tanah di perke bunan kelapa sawit mencapai 663 di
seluruh Indonesia. Konflik agraria ini melibatkan perusahaan-perusahaan
perkebunan swasta dan BUMN, perusahaan pertambangan, Taman Nasional, dan
Perhutani. Huma juga mengamati bahwa hampir di setiap konflik, terdapat
keterlibatan aparat keamanan seperti kepolisian dan militer. Selain itu,
juga ada keterlibatan preman atau pamswakarsa.

Pengusaha menggu nakan mereka untuk mengamankan perusahaan dari
tuntutan-tuntutan masyarakat atas tanah yang dikuasai perusahaan. Aparat
keamanan yang seharusnya melindungi dan mengayomi masyarakat sesuai
dengan fungsinya dalam Undang-Undang No 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian
lebih memilih untuk menjaga kepentingan perusahaan. Masyarakat penuntut
tanah, juga menjadi sasaran yang dikriminalkan aparat kepolisian.

Akar konflik adalah penggunaan dan penyalahgunaan kewenangan di masa
Orde Baru, terutama di sekitar tahun 1980-1997, pemerintah banyak
memberikan izin lokasi dan pengusahaan hutan kepada
perusahaan-perusahaan yang bergerak di bidang perkebunan dan pengusahaan
hutan. Dari hasil investigasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia
(YLBHI), diketahui bahwa PT Barat Selatan Makmur Investindo (BSMI)
mendapatkan izin lokasi dari Badan Pertanahan Nasional (BPN) RI pada
1994 untuk tanah seluas 10.000 hektare untuk kebun inti dan 5.000
hektare untuk kebun plasma.

PT BSMI lalu PT BSMI lalu memperluas areal kebun sawitnya 2.455 hek tare
di luar izin yang dikeluarkan BPN. Izin pengu sahaan hutan juga
ikeluarkan Menteri di Kehutanan untuk PT Silva Inhutani pada 1991 di
atas tanah seluas 32.600 hek tare. Sementara itu, PT Sumber Wangi Alam,
diduga mengambil alih diduga mengambil alih tanah masyarakat Desa Sungai
Sodong seluas 1.533 hektare untuk perkebunan sawit.

Pemberian izin izin untuk perusa haan-perusahaan tersebut tidak mem
pertimbangkan ke beradaan penduduk desa yang terlebih dahulu ada di atas
tanah-tanah tersebut. Masyarakat tak dimintai persetujuan atas keluarnya
perizinan tersebut. Pemicu konflik agraria di areal HTI Register 45
Sungai Buaya adalah karena pemerintah telah memperluas luas kawasan
hutan. Padahal sebagian tanah itu merupakan tanah adat.

Tuntutan penduduk Desa Gu nung Batu untuk pengembalian tanah yang
diambil alih pe rusahaan seluas 7.000 usahaan seluas 7.000 hektare,
hanya dikab ulkan pemerintah seluas 2.300 hek tare untuk ke mudian di-en
clave dari ka wasan HTI.

Ironisnya, pihak per usahaan dan aparat menuduh penduduk desa itu
sebagai per ambah hutan (Siaran Pers YLBHI, Walhi, Sawit Watch, KPSHK,
Huma, SPI, 16 Desember 2011).

Perampasan tanah oleh pemerintah dan perusahaan perkebunan, membuat
penduduk yang menyebut dirinya sebagai masyarakat adat, terusir dari
tempat tinggal mereka.
Padahal, bagi mereka, tanah adalah syarat keberlanjutan kehidupan.
Karena itu, mereka kembali menuntut pengembalian tanah-tanah adat,
khususnya setelah masa reformasi 1998.

Sayangnya, penuntutan kembali hak-hak hak hak atas tanah oleh masyarakat
adat ini direspons secara represif oleh aparat negara dan perusahaan.

Kasus Mesuji membukakan mata mengenai betapa mudahnya tanahtanah
masyarakat beralih penguasaan menjadi perkebunan besar.

Masa lalu, sekarang, dan masa depan, penduduk desa pedalaman, mengalami
penyingkiran melalui penggunaan dan penyalahgunaan kewenangan
pemerintahan dalam memberikan konsesi dan menggunakan aparatur
represifnya. Penyingkiran rakyat dari tanah model Mesuji ini adalah
salah satu bentuk saja dari bentuk-bentuk penyingkiran lainnya.
Hall, Hirsch, dan Li (2011), dalam bukunya Powers of Exclusion
mengidentifikasi beberapa bentuk eksklusi (penyingkiran) masyarakat dari
akses terhadap tanah atas tindakan para aktor yang berkuasa.

Keenam bentuk eksklusi itu adalah: (1) regularisasi akses terhadap tanah
melalui program sertifikasi tanah, formalisasi, dan pemindahan
masyarakat, (2) ekspansi ruang dan upaya intensifikasi untuk
mengonservasi hutan melalui pembatasan pertanian, (3) datangnya
tanamantanaman baru secara masif, cepat, dan terjadinya konversi
tanah-tanah untuk produksi tanaman sejenis (monocropped), (4) konversi
lahan untuk penggunaan di luar sektor agraris, (5) proses perubahan
kelas agraria pada skala desa tertentu, dan (6) mobilisasi kolektif
untuk mempertahankan atau menuntut akses tanah dengan mengorbankan
pengguna tanah lain atau penggunaan tanah lainnya.

Kelapa sawit, menjadi komoditas monokultur andalan Indonesia selama dua
puluh tahun terakhir. Keuntungan besar dan orientasi ekspor komoditas
ini membuat pemerintah mendorong investasi besar-besaran perkebunan
kelapa sawit.

Terjadilah pembukaan tanah dan hutan besar-besaran, khususnya di wilayah
Sumatra. Kebijakan pemerintah yang proinvestasi mengakibatkan
tercerabutnya hak-hak rakyat atas tanah. Rakyat tersingkir dari ruang
hidup mereka. Pemerintah menggunakan hukum negara secara membabi buta
sebagai alat pelegitimasi perampasan tanah, dan menegasikan hukum lokal
yang telah ada. Perusahaan memanfaatkan perizinan tersebut untuk
memperluas areal pengusahaan kelapa sawit.

Dalam kasus Mesuji, pemerintah sebenarnya t e l a h mengetahui bahwa ada
hak-hak p e n duduk di atas tanah yang disengketakan itu. Ini terlihat,
misalnya, dari kewajiban yang harus dilakukan perusahaan kepada mereka
yang tinggal di sekitar perkebunan.

Dalam SK yang dikeluarkan, Menteri Kehutanan mewajibkan PT Silva
Inhutani memberikan izin kepada masyarakat hukum adat/masyarakat
anggota-anggotanya tradisional dan anggota anggotanya yang berada dalam
wilayah kerjanya a untuk memungut, mengambil, meng umpulkan dan
mengangkut hasil hu tan ikutan seperti rotan, madu, sagu, , damar,
buah-buahan, getah-getahan, , rumput-rumputan, bambu, kulit t kayu,
untuk memenuhi kehidupan n sehari-harinya. Tetapi `niat baik' ini i
sudah didahului dengan penyalah gunaan kewenangan berupa peny erahan
tanah-tanah rakyat kepada a perusahaan dengan surat keputusan n
pemberian izin HTI.

Mesuji adalah contoh dari ba gaimana kewenangan pemerintahan n digunakan
dan disalahgunakan n untuk pengembangan perusahaan perusahaan kapitalis
raksasa. Secara a umum kita menyaksikan tak henti hentinya bagaimana
perampasan n tanah itu dibenarkan melalui proses s yang saya istilahkan
negaraisasi i tanah-tanah rakyat, yakni tanah h rakyat dimasukkan dalam
kategori i r sebagai `tanah negara', lalu atas dasar definisi `tanah
negara' itu, pemerintah pusat dalam hal ini Kementerian n Kehutanan,
memberi konsesi untuk k badan-badan usaha produksi rak sasa. Konflik
agraria di Mesuji ada lah bagian kecil dari ribuan konflik k agraria
nasional. Setelah mencuatnya a kasus Mesuji, berturut-turut konflik k
agraria bermunculan ke permukaan n seperti konflik agraria di Pulau Pa
dang, pembakaran rumah-rumah h masyarakat adat di Sumbawa dalam m
konflik dengan Dinas Kehutanan, dan n yang terbaru adalah kasus penemba
kan masyarakat di Sape, Bima, karena a memprotes tambang emas. Selama a
ini, belum ada penyelesaian me nyeluruh mengenai konflik-konflik k
agraria ini.

Mesuji secara spektakuler mem beri pelajaran sangat penting, apalagi i
pemerintahan SBY tengah memfinal isasi peraturan pemerintah tentang g
reforma agraria yang berjiwakan n fungsi sosial atas tanah. Bagaimana a
birokrasi agraria saat ini, baik di i Kementerian Kehutanan, Badan n
Pertanahan Nasional, dan lainnya a dapat mengatasi warisan, posisi, dan
n kebiasaan sebagai pelayan perusa haan kapitalis dengan menyingkirkan n
rakyat dari tanah mereka.

Ketidakadilan agraria ini bersifatt kronis, dan tampil `meledak' sep
erti dalam kasus Mesuji ini, tidak k bisa diatasi dengan cara business
as s usual. Kita memerlukan langkah dari i pimpinan tertinggi
pemerintahan, , Presiden Republik Indonesia, un tuk menangani
konflik-konflik k agraria yang kro nis. Kewenangan n birokrasi sektoral
l tidak memadai un tuk mengatasi kon a flik-konflik agraria yang kronis ini.

Masih dapatkah dalam proses finalisasi PP tentang Reforma Agraria itu
dimasukkan n s embentukan suatu lembaga khusus yang mengelola pelaksan
aan reformaa agraria, termasuk k konflik konf l i k a agraria yang kro
nis? Quo vadis?

http://pmlseaepaper.pressmart.com/mediaindonesia/PUBLICATIONS/MI/MI/2011/12/26/ArticleHtmls/Mesuji-Cermin-Konflik-Agraria-yang-Kronis-26122011027003.shtml?Mode=1

--
"One Touch In BOX"

To post : koran-digital@googlegroups.com
Unsubscribe : koran-digital-unsubscribe@@googlegroups.com

"Ketika berhenti berpikir, Anda akan kehilangan kesempatan"-- Publilius Syrus

Catatan : - Gunakan bahasa yang baik dan santun
- Tolong jangan mengiklan yang tidak perlu
- Hindari ONE-LINER
- POTONG EKOR EMAIL
- DILARANG SARA
- Opini Anda menjadi tanggung jawab Anda sepenuhnya dan atau
Moderator Tidak bertanggung Jawab terhadap opini Anda. -~----------~----~----~----~------~----~------~--~------------------------------------------------------------
"Bersikaplah sopan, tulislah dengan diplomatis, meski dalam deklarasi perang sekalipun seseorang harus mempelajari aturan-aturan kesopanan." -- Otto Von Bismarck.
"Lidah orang berakal dibelakang hatinya, sedangkan hati orang dungu di belakang lidahnya" -Ali bin Abi Talib.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar