Rabu, 21 Desember 2011

[Koran-Digital] ROMLI ATMASASMITA: Siklus Korupsi dan Koruptor

Siklus Korupsi dan Koruptor PDF Print
Thursday, 22 December 2011
Korupsi dalam pandangan masyarakat internasional bukan kejahatan luar
biasa, melainkan kejahatan transnasional.


Ini berbeda dengan pengakuan masyarakat Indonesia bahwa korupsi
merupakan kejahatan luar biasa sehingga diperlukan cara penanganan yang
bersifat luar biasa pula, tetapi terbatas hanya sampai proses peradilan
minus perlakuan di lembaga pemasyarakatan. Konvensi PBB Antikorupsi 2003
hanya fokus pada masalah suap aktif dan pasif. Bahkan korupsi dalam
lingkup aktivitas politik dipandang memiliki dampak signifikan
dibandingkan dengan suap dalam lingkup aktivitas birokrasi sehingga
muncul subjek hukum baru yang disebut political exposed persons (PEP's).

Merujuk pada UU RI No 31 Tahun 1999 yang diubah dengan UU RI No 20 Tahun
2001,PEP's belum secara eksplisit termasuk subjek hukum khusus yang
dapat dipidana karena tindak pidana korupsi, sedangkan ketentuan subjek
hukum ini menjadi penting untuk mengantisipasi Pemilu 2014 yang akan
datang. Korupsi tumbuh dan berkembang dalam aktivitas kehidupan
masyarakat baik di negara maju maupun berkembang. Semula korupsi
merupakan resultan sistem birokrasi semata-mata, tetapi saat ini
merupakan kolaborasi sektor publik yang korup dan sektor swasta yang
berplat hitam.

Memutus mata rantai kolaborasi tersebut suatu keniscayaan, tetapi bukan
suatu kemustahilan. Hanya diperlukan komitmen, keberanian, keteladanan,
dan siap untuk menjadi martir dalam suatu sistem birokrasi khususnya di
Indonesia yang terkenal korup. Kenaikan IPK Indonesia tahun 2001 dari
2,8 menjadi 3,00 membuktikan hal tersebut. Kenyataan korupsi di
Indonesia sejak era Reformasi 1998 bagai pepatah "hilang satu tumbuh
seribu" sehingga Busyro Muqoddas,mantan Ketua KPK, secara dini telah
mengklaim ada kaderisasi koruptor di Indonesia walaupun masih perlu
pembuktian.

Klaim Busyro juga mengandung sisi kontraproduktif karena potensial
menciptakan eksklusivisme dalam tatanan kehidupan bangsa ini, baik
sekarang maupun di masa mendatang. Langkah pemberantasan korupsi sejak
era 1950-an sampai saat ini bukanlah menciptakan eksklusivisme
sekelompok koruptor, melainkan bercita-cita menciptakan pemerintahan
yang bersih dan berwibawa dan bebas KKN.

Sebaliknya Konvensi PBB Antikorupsi 2003 menegaskan bahwa negara wajib m
e - wujudkan reintegration to society (Pasal 30 ayat 8), bukan membunuh
dan memangsa habis sampai tujuh turunannya, apalagi dengan membangun
kebun koruptor.

Memberantas di Hulu

Siapa yang harus disalahkan dalam perkembangan korupsi yang tidak
terputus di Indonesia saat ini? Selama ini kita dan bahkan pejabat
tinggi dan pimpinan lembaga penegak hukum masih suka beretorika daripada
secara sungguh-sungguh dan bersikap korektif dalam melaksanakan tugas
dan wewenang yang telah diperintahkan undang-undang. Contoh penanganan
sejak kasus BLBI, Century, Nazarudin, Nunun hingga Banggar DPR RI,
semuanya mencerminkan retorika dalam pemberantasan korupsi.

Secara makro, korupsi adalah by-product dan efek samping negatif dari
pembangunan nasional sehingga seharusnya sejak perencanaan pembangunan
nasional secara implisit diletakkan ketentuanketentuan ketat dalam
pengajuan dan perencanaan anggaran kementerian/lembaga serta dalam
pembahasannya. Mekanisme itu harus dilakukan baik pada level pemerintah
di bawah koordinasi Bappenas maupun pada level pembahasan di DPR RI
melalui Banggar. Sampai saat ini tampak belum ada kesepakatan bersama
pemerintah dan DPR RI untuk membuat ketentuan bersama mengenai hal tersebut.

Kasus Wa Ode seharusnya merupakan entry-pointdan dipandang sebagai
justice collaborator atas fakta bahwa celah korupsi telah terjadi sejak
perencanaan dan pembahasan RAPBN/RAPBD. Kasus Wa Ode juga telah
membuktikan bahwa pemberantasan korupsi di hilir bukan lagi langkah
efektif dan efisien untuk mencegah dan memberantas korupsi. Terbukti
bahwa selama 13 tahun era Reformasi, strategi pemberantasan korupsi
telah tidak tepat sasaran dan terkecoh oleh gegap gempita langkah KPK
yang dianggap spektakuler dalam menangkap dan menahan koruptor,tetapi
tidak menyentuh sumber permasalahan yang signifikan dan menentukan,yaitu
perencanaan dan pembahasan RAPBN/ RAPBD.

Fakta itu pun membuktikan bahwa korupsi di Indonesia merupakan siklus
tahunan dan bahkan daur ulang sampah yang telah "ditelan" begitu saja
baik oleh penegak hukum dan KPK maupun oleh masyarakat penggiat
antikorupsi (LSM). Kita telah terkecoh! Suka atau tidak suka ternyata
kita merupakan "bagian" dari siklus tahunan dan daur ulang korupsi
karena kita lengah dan tanpa disadari telah ikut "meramaikan" tontonan
koruptor yang tidak diperlukan untuk membangun tata pemerintahan yang
bersih,berwibawa, dan bebas KKN.

Solusi tepat diperlukan untuk menghapuskan kita semua menjadi
"bagian"dalam siklus tahunan dan daur ulang korupsi adalah, pertama,
perombakan total sistem penyusunan, perencanaan, serta pembahasan RAPBN
dan RAPBD dalam bentuk UU Perencanaan dan Pembahasan RAPBN dan RAPBD
yang komprehensif tanpa celah hukum.

Kedua, diperkuat oleh perubahan ketentuan UU Perpajakan yang signifikan
sehingga tidak ada celah kebijakan impunitas terhadap pelanggaran serius
perpajakan yang menjadi sumber utama pemasukan keuangan negara/daerah.
Ketiga, perubahan UU Korupsi Tahun 1999/2001 harus memperkuat strategi
pencegahan daripada penindakan semata-mata.

ROMLI ATMASASMITA
Guru Besar Hukum Universitas Padjadjaran, Anggota Dewan Pakar Partai
Nasional Demokrat (NasDem)

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/453733/

--
"One Touch In BOX"

To post : koran-digital@googlegroups.com
Unsubscribe : koran-digital-unsubscribe@@googlegroups.com

"Ketika berhenti berpikir, Anda akan kehilangan kesempatan"-- Publilius Syrus

Catatan : - Gunakan bahasa yang baik dan santun
- Tolong jangan mengiklan yang tidak perlu
- Hindari ONE-LINER
- POTONG EKOR EMAIL
- DILARANG SARA
- Opini Anda menjadi tanggung jawab Anda sepenuhnya dan atau
Moderator Tidak bertanggung Jawab terhadap opini Anda. -~----------~----~----~----~------~----~------~--~------------------------------------------------------------
"Bersikaplah sopan, tulislah dengan diplomatis, meski dalam deklarasi perang sekalipun seseorang harus mempelajari aturan-aturan kesopanan." -- Otto Von Bismarck.
"Lidah orang berakal dibelakang hatinya, sedangkan hati orang dungu di belakang lidahnya" -Ali bin Abi Talib.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar