Rabu, 21 Desember 2011

[Koran-Digital] PREMITA FIFI WIDHIAWATI: Hari Ibu dan Perjuangan Perempuan Indonesia

Hari Ibu dan Perjuangan Perempuan Indonesia PDF Print
Thursday, 22 December 2011
22Desember kita peringati sebagai Hari Ibu. Hari Ibu tidak sama dengan
Mother's Dayyang dirayakan di lebih dari 75 negara.Mother's Dayadalah
sebuah pernyataan terima kasih dan apresiasi terhadap para ibu atas
peran dan segala wujud cinta dan kasih sayang keibuan.


Makna yang berbeda seharusnya diberikan kepada Hari Ibu. Arti dan
semangat Hari Ibu di Indonesia jauh melampaui arti dan semangat Mother's
Day dinegara mana pun.Lebih dari suatu bentuk penghargaan dan pernyataan
terima kasih kepada ibu, Hari Ibu adalah hasil pergerakan dan perjuangan
perempuan Indonesia sejak sebelum kemerdekaan hingga hari ini.Sebuah
proses panjang yang belum bisa dikatakan membuahkan hasil yang diharapkan.

Pemilihan tanggal 22 Desember sebagai Hari Ibu diputuskan dalam Kongres
Perempuan Indonesia III/1938 di Bandung dan ditetapkan dalam Dekrit
Presiden Soekarno No 316 Tahun 1959.Pemilihan tersebut didasarkan pada
penyelenggaraan Kongres Perempuan Indonesia (KPI) I pada 22–25 Desember
1928 di Yogyakarta. KPI merupakan cetusan dari kegelisahan perempuan
Indonesia atas perlakuan dan adat kebiasaan lama yang masih berlaku pada
masa itu yang merugikan perempuan seperti perkawinan di bawah
umur,perjodohan,poligami, juga tentang pentingnya pendidikan bagi perempuan.

Penyelenggaraan KPI pertama merupakan hasil perjuangan para tokoh
pergerakan perempuan Indonesia pada saat itu seperti Nyi Hadjar
Dewantoro,Soedjatin,RA Soekonto. Kongres dihadiri oleh wakil dari 30
perkumpulan perempuan dari seluruh Indonesia, antara lain Wanito Tomo
(dari Budi Utomo), Wanito Muljo,Wanita Katolik,Aisjiah (dari
Muhammadiyah), Jong Islamieten Bond (bagian wanita), Jong Java
Meisjeskring, Wanita Taman Siswa, Putri Indonesia, Ina Tuni (dari Ambon).

Hari ini, 83 tahun berlalu sudah sejak KPI pertama dilaksanakan,
sebagian cita-cita para pejuang perempuan itu sudah terlaksana,sebagian
masih berproses,sebagian lagi belum terwujud. Perjodohan hampir dapat
dikatakan tidak ada lagi, pendidikan bagi perempuan sekarang sama luas
dan terbukanya seperti bagi laki-laki.Tapi kasus perkawinan di bawah
umur masih terus terjadi.Salah satu yang sempat menjadi polemik nasional
adalah perkawinan antara Syech Pudji dengan Ulfa yang baru berusia 12
tahun pada saat menikah tahun 2008.

Ratifikasi Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination
Against Woman (CEDAW) melalui Undang- Undang No 7/1984 tentang
Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi
terhadap Perempuan tidak serta-merta menjawab berbagai soal yang terus
membelit kaum perempuan Indonesia.CEDAW sendiri merupakan sebuah hasil
perjalanan panjang pergerakan dan perjuangan kaum perempuan di seluruh
dunia dan ditandatangani oleh 64 negara pada 17 Juli 1980 di Copenhagen,
Denmark.

CEDAW mencatat prestasi sebagai satu-satunya konvensi yang mendapatkan
paling banyak ratifikasi dalam waktu hanya 1 bulan. Di Indonesia,CEDAW
menjiwai dan menjadi landasan berbagai produk hukum yang terkait dan
dimaksudkan bagi keberpihakan dan perlindungan terhadap perempuan dan
anak-anak seperti Undang- Undang No 23/2002 tentang Perlindungan Anak,
Undang- Undang No 23/2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah
Tangga dan Undang- Undang No 21/2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Perdagangan Orang.

Nasib Perempuan

Kendati demikian, nasib perempuan Indonesia tidak lantas membaik dengan
diberlakukannya berbagai undang- undang tersebut,bahkan pendirian
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik
Indonesia belum juga mampu membebaskan kaum perempuan dari berbagai
ancaman yang bersifat fisik, psikis maupun politis. Penetapan kuota
perempuan sebanyak 30% dalam parlemen ternyata tidak menjamin lahirnya
peraturan yang berpihak kepada perempuan.

Masih banyak peraturan, terutama peraturan daerah,yang malah cenderung
menyudutkan perempuan tanpa memberi jalan keluar. Kasus tenaga kerja
perempuan Indonesia yang diperkosa atau bahkan dibunuh di luar negeri
terus bermunculan, pelacuran anak-anak makin marak, perkosaan di atas
angkutan kota baru-baru ini terjadi beruntun dalam waktu berdekatan,
angka kematian ibu karena melahirkan masih tinggi, dan yang menyedihkan
praktik poligami yang sejak semula menjadi agenda utama dalam Kongres
Perempuan Indonesia tahun 1928 ternyata masih saja terus terjadi.

Tahun 2003 Puspo Wardoyo, seorang pelaku poligami, bahkan sempat
mencanangkan Poligami Award dan mendirikan Biro Konsultasi Keluarga
Sakinah dan Poligami (BKKSP) yang menyediakan daftar perempuan-perempuan
yang siap untuk dipoligami (GATRA, 21 April 2003).Saat ini poligami
bahkan seolah menjadi sangat umum dilakukan. Semasa Orde Baru, ada 1
produk hukum yang secara eksplisit mempersulit proses perceraian dan
poligami bagi pegawai negeri sipil, yaitu Peraturan Pemerintah No
10/1983 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil.

Sayang sekali perlindungan (terutama) terhadap perceraian bagi istri PNS
dalam Pasal 3 PP tersebut mendapatkan perubahan melalui PP No 45/1990.
Seiring reshuffle kabinet yang baru saja terjadi, kita mencatat seorang
menteri yang tengah menjabat melakukan poligami.Perbuatan yang harus
ditebus mahal dengan penggantian menteri yang bersangkutan. Hal ini
hendaknya menjadi contoh dan penanda dimulainya gerakan antipoligami,
terutama di kalangan menteri dan pejabat pemerintah.

Menjadi kewajiban kita bersama untuk meneruskan dan mewujudkan cita-cita
para pahlawan dan tokoh perjuangan perempuan Indonesia. Jika KPI pertama
telah mencatat poligami sebagai salah satu penyebab keresahan dan
kesulitan bagi perempuan, apakah hari ini kita masih harus bergelut
dengan pertanyaan yang sama? Masih banyak soal lain yang juga mendesak
untuk diselesaikan.

Ada masalah tenaga kerja perempuan di luar negeri, trafficking,
kesehatan ibu dan anak-anak, jaminan pendidikan dan pekerjaan, serta
persoalan perempuan di daerah-daerah konflik.Semua terpulang pada niat
mulia pemerintah untuk meletakkan perempuan Indonesia sebagai ibu dari
para penerus bangsa.

PREMITA FIFI WIDHIAWATI
Pengamat Masalah Sosial, Pendiri dan Pengurus Lembaga Edukasi, Bantuan
dan Advokasi Hukum Jurist Makara

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/453732/

--
"One Touch In BOX"

To post : koran-digital@googlegroups.com
Unsubscribe : koran-digital-unsubscribe@@googlegroups.com

"Ketika berhenti berpikir, Anda akan kehilangan kesempatan"-- Publilius Syrus

Catatan : - Gunakan bahasa yang baik dan santun
- Tolong jangan mengiklan yang tidak perlu
- Hindari ONE-LINER
- POTONG EKOR EMAIL
- DILARANG SARA
- Opini Anda menjadi tanggung jawab Anda sepenuhnya dan atau
Moderator Tidak bertanggung Jawab terhadap opini Anda. -~----------~----~----~----~------~----~------~--~------------------------------------------------------------
"Bersikaplah sopan, tulislah dengan diplomatis, meski dalam deklarasi perang sekalipun seseorang harus mempelajari aturan-aturan kesopanan." -- Otto Von Bismarck.
"Lidah orang berakal dibelakang hatinya, sedangkan hati orang dungu di belakang lidahnya" -Ali bin Abi Talib.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar