Kamis, 22 Desember 2011

[Koran-Digital] BAHTIAR EFFENDY: Generasi Muda, Presiden, dan Masa Depan Indonesia

Generasi Muda, Presiden, dan Masa Depan Indonesia PDF Print
Friday, 23 December 2011
Beberapa hari terakhir ini muncul wacana agar pada 2014 nanti tokohtokoh
senior tidak lagi mencalonkan diri sebagai kandidat presiden.

Hal ini dimunculkan, secara tidak bersamaan, oleh Taufik Kiemas, Susilo
Bambang Yudhoyono, dan Amien Rais.Dalam pandangan Amien Rais, yang
dimaksud sebagai tokoh senior adalah mereka yang sudah berumur di atas
60 tahun. Dalam konteks kandidat presiden, pernyataan ini mengena ke
tokoh-tokoh seperti Wiranto,Megawati, Prabowo Subiyanto,dan Akbar
Tanjung. Meski ketua Partai Golkar Aburizal Bakrie juga sudah berumur 60
tahun lebih, tampaknya dia bukan termasuk tokoh yang dibidik.

Jika demikian halnya, sebetulnya yang dituju Amien Rais, mungkin juga
Taufik Kiemas dan Susilo Bambang Yudhoyono, adalah para tokoh politik
yang pada 1999, 2004, dan 2009 pernah bersangkutan dengan pencalonan
presiden—baik sebagai kandidat presiden atau mereka yang terlibat dalam
konvensi partai untuk menentukan figur calon presiden. Sebenarnya soal
batasan umur ini bukan persoalan substansial. Di atas atau di bawah usia
60 tahun, tercatat sebagai generasi senior atau yang lebih muda,
bukanlah hal yang penting dalam dunia politik di Tanah Air.

Tidak seperti Uni Soviet (dulu) dan China, gerontokrasi adalah sesuatu
yang tidak pernah menjadi masalah dalam kepemimpinan nasional kita. Baik
Soekarno maupun Soeharto muncul sebagai pemimpin nasional dalam usia
yang relatif muda.Meski demikian, karena hal itu disuarakan oleh
pelaku-pelaku terkemuka politik di negeri ini,yang tentu saja didasarkan
atas pertimbangan- pertimbangan politik tertentu, serta-merta kita
tergoda untuk terlibat membicarakannya. Kita tidak tahu persis mengapa
para tokoh itu menggulirkan masalah regenerasi dalam kepemimpinan nasional.

Jika kita harus menebak dengan penuh prasangka baik, barangkali niat
politik mereka didasarkan atas kenyataan bahwa masalah dan tantangan
yang dihadapi Indonesia demikian berat, dan cenderung bertambah dari
hari ke hari.Karena itu diperlukan pemimpin yang lebih muda.Perkiraannya
adalah bahwa generasi muda lebih energik,penuh vitalitas, dan mungkin
tanpa beban.

Kekosongan

Akan tetapi,penting diketahui bahwa persoalan kepemimpinan yang telah
menggurita di Indonesia, terutama sejak satu dasawarsa terakhir, tidak
ada kaitannya dengan soal kurangnya energi atau vitalitas di dalam
memimpin. Jika boleh menyimpulkan dari perjalanan kepemimpinan sepuluh
tahun terakhir,tentu dari sudut pandang orang-orang yang dipimpin,
masalah pokok yang membelenggu para pemimpinan kita adalah tidak adanya
apa yang oleh Max Weber disebut beruf atau panggilan kepemimpinan.

Karenanya yang tampak adalah tiadanya kesungguhan, keseriusan,dan
keikhlasan untuk memimpin.Jika kompetensi ditambahkan di dalam susunan
persyaratan ini,maka hal itu sebanding dengan yang pernah diajarkan Nabi
Muhammad bahwa syarat untuk menjadi pemimpin itu shidiq, amanah,
tabligh,dan fathanah. Kekosongan panggilan ini mungkin merupakan sesuatu
yang tak terelakkan. Sebab, ketika kita berusaha untuk memutus hubungan
dengan orde pemerintahan sebelum reformasi, semangat kuat yang muncul
adalah menghentikan kepemimpinan Soeharto.

Rasa bebas dari rezim Orde Baru ini kemudian ditafsirkan sebagai
kebolehan untuk berkuasa. Gegap gempitanya masyarakat politik di Tanah
Air untuk membikin partai politik, menjadi anggota legislatif, yang
kemudian diteruskan dengan semangat untuk menjadi presiden, gubernur,
bupati, wali kota, dan sebagainya mengaburkan prasyarat moral yang
disebut callingatau panggilan itu. Karenanya, politik dianggap
semata-mata sebagai komoditas yang diperebutkan; menjadi pemimpinan
nasional— baik di tingkat pusat maupun daerah—dianggap dan diperlakukan
sebagai pekerjaan.

Kosong dari persyaratan moral seperti ini bisa mengena semua
pemimpin.Penyakit ini bersifat lintas umur. Karenanya, alih generasi
dalam konteks kepemimpinan nasional 2014 tidak akan menyelesaikan
masalah Indonesia.

Prasyarat Moral

Untuk itu sebenarnya yang harus diinjeksikan dalam ranah kepemimpinan
nasional bukan keharusan mereka yang di bawah umur 60 tahun untuk
memimpin. Akan tetapi prasyarat moral yang bernama keikhlasan,
kesungguh-sungguhan,atau keseriusan. Dengan bantuan persyaratan moral
itu diharapkan mereka yang (bakal) memimpin republik ini tidak
memperlakukan posisi atau jabatan sebagai pekerjaan, melainkan amanah
atau panggilan tadi. Regenerasi adalah hal yang bagus.

Akan tetapi yang kita perlukan sekarang ini bukan regenerasi dalam
konteks bilangan umur kronologis, melainkan regenerasi dalam konteks
sirkulasi elite dari yang memperlakukan jabatan sebagai pekerjaan ke
mereka yang bersedia melihat posisi sebagai amanah dan panggilan.
Sepuluh tahun terakhir ini telah cukup mengajarkan kepada kita bahwa
tidak sedikit dari mereka yang berumur di bawah 60 tahun berlaku sama
dan sebanding dengan senior mereka.

Baik di tingkat pusat maupun daerah, tidak banyak yang dapat dijadikan
contoh sebagai pemimpin yang sungguhsungguh, ikhlas,dan serius. Kecuali
kita bisa memproses alih generasi dalam konteks yang kita bicarakan,
pemilu pada 2014 nanti tidak akan mendatangkanperubahanyang
substansial.Pemilu 2014 hanya akan mendatangkan penilaian bahwa
kepemimpinan nasional Indonesia (hanya) "berbeda", tetapi tidak
"berubah". Sekali lagi, letak persoalannya tidak ada pada perbedaan umur.

Tanpa panggilan, beruf, calling, dan sebagainya itu, pemilu Indonesia
hanya akan menghasilkan sederet orang yang—meminjam istilah Samuel
Huntington—ingin berkuasa (to rule), tetapi tidak bersedia untuk
memerintah (to govern). ●

BAHTIAR EFFENDY
Guru Besar Ilmu Politik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/454151/

--
"One Touch In BOX"

To post : koran-digital@googlegroups.com
Unsubscribe : koran-digital-unsubscribe@@googlegroups.com

"Ketika berhenti berpikir, Anda akan kehilangan kesempatan"-- Publilius Syrus

Catatan : - Gunakan bahasa yang baik dan santun
- Tolong jangan mengiklan yang tidak perlu
- Hindari ONE-LINER
- POTONG EKOR EMAIL
- DILARANG SARA
- Opini Anda menjadi tanggung jawab Anda sepenuhnya dan atau
Moderator Tidak bertanggung Jawab terhadap opini Anda. -~----------~----~----~----~------~----~------~--~------------------------------------------------------------
"Bersikaplah sopan, tulislah dengan diplomatis, meski dalam deklarasi perang sekalipun seseorang harus mempelajari aturan-aturan kesopanan." -- Otto Von Bismarck.
"Lidah orang berakal dibelakang hatinya, sedangkan hati orang dungu di belakang lidahnya" -Ali bin Abi Talib.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar