Minggu, 25 Desember 2011

[Koran-Digital] EDITORIAL - Polri yang Militeristis

Malapetaka Bima menunjukkan Polri gagal menjaga keamanan, ketertiban, dan mengayomi rakyat."

POLRI menampilkan perilaku militeristis di Bima, Nusa Tenggara Barat. Kita sebut militeristis karena Polri menghadapi rakyat yang berunjuk rasa di Pelabuhan Sape, Bima, NTB, seperti militer yang menghadapi musuh di medan pertempuran.

Polisi mengepung, menyerang, dan menembaki rakyat yang memprotes izin bupati atas usaha pertambangan PT Sumber Mineral Nusantara dan PT Indo Mineral Persada yang mencemari sumber air di lingkungan mereka.

Akibat serangan polisi pada pagi buta Sabtu (24/12) itu, menurut versi DPRD Bima, empat pengunjuk rasa tewas dan beberapa lainnya luka-luka.

Betul para pengunjuk rasa yang memblokade Pelabuhan Sape telah mengganggu ketertiban di fasilitas publik. Namun, rakyat melakukan itu karena frustrasi setelah melihat Bupati Bima lebih berpihak kepada perusahaan daripada rakyat.

Unjuk rasa masyarakat hingga memblokade pelabuhan juga menunjukkan intelijen Polri gagal mengidentifikasi dan mengantisipasi situasi. Ketika rakyat akhirnya memblokade pelabuhan, Polri dan Bupati ternyata tak piawai bernegosiasi meminta rakyat mengakhiri blokade itu.

Rakyat menolak bernegosiasi karena melihat dalam banyak kasus konflik semacam itu, Polri dan pemerintah daerah lebih berpihak kepada pemodal ketimbang rakyat. Bima berdarah tak akan terjadi andai sejak awal pemerintah daerah berpihak kepada rakyat. Apalagi, jauh sebelum tragedi Bima meletus, Komnas HAM telah merekomendasikan kepada Kapolda NTB Brigjen Arief Wachyunandi dan Bupati Bima Ferry Zulkarnaen untuk berdialog lebih serius dengan masyarakat. Namun, kapolda dan bupati mengabaikannya.

Malapetaka Bima menunjukkan Polri gagal menjaga keamanan, ketertiban, dan mengayomi rakyat sebagaimana diamanatkan Undang-Undang Dasar 1945. Itu sama saja Polri telah melecehkan dan mengangkangi konstitusi.

Siapa pun yang melanggar hukum dan undang-undang harus ditindak. Oleh karena itu, anggota Polri yang terlibat dan bertanggung jawab atas kekerasan di Bima harus diseret ke muka hukum.

Jangan sampai cuma rakyat pengunjuk rasa yang dibawa ke meja hijau, tetapi anggota Polri yang memukuli dan menembaki pengunjuk rasa dibiarkan bebas. Jangan sampai pula, yang diseret ke muka hukum hanya anggota Polri di lapangan, sedangkan pemegang tongkat komando dibiarkan melenggang.

Tragedi Bima menambah panjang daftar perilaku militeristis polisi. Sebelumnya, perilaku yang sama diperlihatkan polisi dalam pembantaian di Mesuji.

Kita jadi bertanya-tanya, apakah perilaku militeristis merupakan perilaku asli Polri? Lalu, mengapa setelah 13 tahun ditarik keluar dari militer, perilaku Polri tetap militeristis?
Ke depan Polri harus menampilkan perilaku ramah.
Jika tetap berperilaku militeristis, lebih baik Polri dikembalikan ke dalam angkatan bersenjata seperti di masa Orde Baru.

http://pmlseaepaper.pressmart.com/mediaindonesia/PUBLICATIONS/MI/MI/2011/12/26/ArticleHtmls/EDITORIAL-Polri-yang-Militeristis-26122011001021.shtml?Mode=1

Tidak ada komentar:

Posting Komentar