Kamis, 22 Desember 2011

[Koran-Digital] Kunti, Keluhuran Budi dalam Keprihatinan

ADAKAH ibu yang baik dan ideal di jagat wayang?
Pertanyaan tersebut rasanya menarik untuk diketengahkan sebagai selingan dalam ritual memperingati Hari Ibu pada 22 Desember.

Tampaknya tidak ada ibu yang sempurna dalam pakeliran. Namun, bila menilik peran beberapa ibu yang menonjol, nama Dewi Prita alias Kunti Talibrata pantas dikemukakan. Peran kehidupannya layak direnungkan.

Mungkin muncul pertanyaan kenapa Kunti? Padahal ia `membuang' anak pertamanya, Karna, saat masih orok. Bahkan, sepanjang hidupnya penuh dengan drama penderitaan.
Jawabannya, justru di situlah nilai-nilai filosofis yang bisa diambil dari diri Kunti.

Kodrat memang telah memenjarakan Kunti bergelimang kegetiran.
Ketika masih gadis belia, ia sudah harus mengandung yang tidak diinginkan. Kunti tidak menduga keasyikannya bermain aji pameling dengan menghadirkan Bethara Surya berakibat fatal, hamil.

Babak kesedihan berikutnya ia sandang saat berumah tangga. Ia ditinggal mati suaminya, Raja Astina Prabu Pandu Dewanata, saat ketiga anak mereka--Puntadewa, Bima, dan Arjuna--masih kecil.

Bukan itu saja, Kunti juga harus momong dan menyuapi anak kembar yatim piatu bernama Pinten dan Tangsen.
Dua anak itu putra dari Pandu Dewanata dengan istri keduanya, Dewi Madrim.

Madrim bunuh diri menyusul Pandu yang meninggal akibat hukuman dewa setelah memenuhi permintaannya. Ketika itu Madrim mengidam berkeliling dunia dengan menunggangi Lembu Andini, kendaraan Bethara Guru. Beban hidup Kunti tidak berhenti di situ. Di saat kesedihan belum hilang, ia bersama anak-anaknya (Pandawa) terusir dari Kerajaan Astina meski keluarga mereka adalah ahli waris keraton tersebut. Patih Sengkuni-lah tokoh di balik kudeta terhadap Pandawa atas takhta Astina.

Purnakah penderitaan Kunti? Belum. Ia harus meninggalkan rumah barunya, Indraprastha, kerajaan yang dibangun anak-anaknya, karena Puntadewa kalah bermain dadu dengan Kurawa.

Yang mengerikan, dalam lakon Bale Sigala-gala, Kunti dan Pandawa dibakar saat terlelap. Beruntung mereka selamat berkat pertolongan dewa. Pun masih ada lakon-lakon lain yang menggambarkan pahit dan getirnya perjalanan hidup Kunti.
Jadi sekolahan Lantas, nilai-nilai apa yang bisa dipetik dari Kunti? Pertama, kerelaannya berkorban demi nama baik orangtuanya, Prabu Kuntiboja, keluarga, dan seluruh rakyat Kerajaan Mandura. Yakni, ketika ia harus melepaskan anaknya, Karna, untuk dilarung. Kelak di kemudian hari, Karna menjadi senapati agung Astina.

Kemudian, Kunti tidak pernah menyesali segala penderitaan yang dipikul.
Ia juga tidak beradu dari impitan kesusahan dan itu tidak sedikit pun membuat jiwa dan raganya rapuh.
Garising pepesthen (takdir) itu dilakoni dengan sesanti manjing dadi laku. Semuanya dijalani dengan legawa dan penuh keprihatinan demi mendapatkan berkah.

Realitas yang serbasengsara itu justru ia jadikan `akademi' bagi anak-anaknya.
Penanaman nilai-nilai luhur menjadi pelajaran pokoknya.
Dalam mendidik pun, ia tidak emban chinde emban siladan, tidak pilih kasih.

Bahkan dalam katresnan, Kunti cenderung lebih mendahulukan kedua anak tirinya, Pinten dan Tangsen.

Penggemblengan Kunti itu akhirnya mengantarkan kelima anaknya Pandawa--menjadi kesatria-kesatria pinunjul dan berbudi luhur. Bahkan mereka menjadi titah-titah kesayangan para dewa.

Bukan itu saja, Kunti juga tuntas mendampingi anakanaknya kembali meraih kekuasaan atas Kerajaan Astina dan Indraprastha.
Lalu atas kehendak dewa, di akhir riwayatnya, Kunti diceritakan mati moksa. Itu melambangkan Kunti adalah titah yang berhati suci.

Itulah sekelumit cerita tentang Kunti. Perjuangan hidupnya memberikan gambaran kukuhnya seorang ibu sebagai orangtua tunggal memegang nilai-nilai luhur dalam mendidik dan membesarkan anak-anaknya meski dalam keterbatasan dan keprihatinan. (Ono Sarwono/ H-1)

http://pmlseaepaper.pressmart.com/mediaindonesia/PUBLICATIONS/MI/MI/2011/12/23/ArticleHtmls/Kunti-Keluhuran-Budi-dalam-Keprihatinan-23122011023005.shtml?Mode=1

Tidak ada komentar:

Posting Komentar