Kamis, 22 Desember 2011

[Koran-Digital] Toeti Adhitama : Sumber Kebahagiaan dalam Demokrasi

MANUSIA a d a pada sifatnya y a n g t e r b a i k apabila: tidak ada di
antara kita yang miskin, tetapi juga tidak ada yang ingin menjadi lebih
kaya. Juga tidak ada alasan merasa takut akan terdesak karena yang
lainnya ingin maju...." Ungkapan itu disampaikan John Stuart Mill
(1806-1873) dalam Principles of Political Economy. Dia juga mengakui
tidak pernah tertarik pada kehidupan ideal yang dicanangkan oleh mereka
yang mengira bahwa wajar kalau kita berjuang keras untuk maju; dan bahwa
saling menindas, saling menghancurkan, saling menyikut dan saling
menginjak--yang mencirikan perilaku masyarakat sekarang--memang takdir
yang kita kehendaki.

Mereka rupanya tidak menganggap gejala-gejala itu sebagai salah satu
tahap perkembangan industrialisasi yang menjijikkan.

Gambaran itu kedengaran vulgar dan brutal, tapi kenyataan sekarang
memang demikian. Di masyarakat kita, selingkuh politik yang berbelit dan
cara menyiasatinya demi citra--sekalipun sebenarnya kalangan umum
tahu--tentu membuat kita bertanya, kapan sandiwara ini akan berakhir?
Kata Aristoteles (334-322 SM) dalam Politics, "Orang yang baik akan
mampu bertahan dalam kemiskinan, kondisi sakit, atau
kemalangan-kemalangan lain. Namun, tentu dia hanya akan bahagia kalau
keadaan mejadi sebaliknya. Itu yang membuatnya berilusi bahwa kekayaan
lahiriah adalah sumber kebahagiaan." Pendapat dua fi lsuf masa lalu
itu membuktikan, masyarakat tidak pernah bebas dari keserakahan
orang-orang yang tega mengelabui lingkungannya.

Itulah yang sedang kita saksikan, sekalipun slogan-slogan dan genderang
demokrasi berbunyi nyaring.
Nostalgia akan sistem otoriter Keruwetan dalam sistem demokrasi kita
akhir-akhir ini membuat segolongan orang tanpa ragu-ragu mengatakan
bahwa sistem otoriter Orde Baru (Orba) lebih berhasil untuk kita. Lalu
mereka menyebut tentang kesuksesan Orba dalam meningkatkan GDP per
kapita, yang dalam tiga dasawarsa naik dari US$70 (1968) menjadi sekitar
22 kali lipat pada akhir Orba. Keamanan dalam negeri terjamin.
Kesuksesan juga dicapai dalam usaha KB, transmigrasi, swasembada pangan,
dan mengurangi jumlah pengangguran. Gerakan wajib belajar berjalan
lancar, begitu juga usaha mengembangkan nasionalisme.

Akan tetapi, mengapa akhirnya kita toh tidak puas dengan sistem masa itu
dan meninggalkannya demi demokrasi?
Jawabnya: Karena di masa Orba, korupsi yang dianggap berawal dari istana
itu mulai merembet ke manamana dan kesenjangan sosial mulai meluas.
Begitu pula pelanggaran HAM. Padahal, semua orang pada hakikatnya ingin
meningkatkan kesejahteraan lahir dan batin. Sistem demokrasi dibayangkan
bisa menjadi jawabannya. Diasumsikan, masyarakat di negara demokrasi
lebih bahagia daripada masyarakat di negara otoriter. Sekarang terbukti,
kelemahan-kelemahan dalam sistem sebelumnya terulang lagi. Banyak yang
merasa tidak mendapat kesempatan berpartisipasi dalam demokrasi. Malahan
korupsi semakin merajalela, dilakukan oleh mereka yang mengaku mewakili
rakyat.

Sejauh ini belum ada lembaga-lembaga survei yang mencoba meneliti
seberapa jauh keterlibatan rakyat umum dalam sistem demokrasi yang
sedang berjalan ini, serta apa yang menimbulkan rasa ketidakpuasan dan
keresahan mereka. Berapa besar keinginan mereka untuk menyempurnakan
sistem ini dan bagaimana caranya, mengingat sistem penegakan hukum dan
perwakilan rakyat tidak berjalan sesuai harapan? Pertanyaan-pertanyaan
klise yang belum terjawab.
Mencari demokrasi yang membahagiakan Bagi Indonesia, demokrasi memang
budaya baru yang perlu berulang-ulang dikaji kembali, khususnya tentang
sistem politik dalam kaitannya dengan kebahagiaan rakyat.

Bila merujuk kepada UUD, kebahagiaan rakyat relatif terjamin karena
konsep UUD sesuai dengan rasa keadilan rakyat.

Namun, hakikat dan tujuan luhur konstitusi rusak karena keserakahan
kelompok-kelompok tertentu. Demokrasi dijalankan seiring dengan
kepentingan mereka yang berkuasa, siapa pun mereka. Mereka bisa saja
orang-orang dari lembagalembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif;
bisa juga orangorang swasta yang berkuasa karena memiliki harta, nama,
atau kedudukan tinggi dalam kehidupan sosial. Politik transaksional
diterima oleh mereka yang saling bersangkutan.

Lagi-lagi rakyat ditinggalkan gerbong demokrasi.

Sebenarnya dalam kurun waktu 13 tahun reformasi, kita memberi kesan
telah banyak mencapai kemajuan dalam berdemokrasi. Kepesatannya mungkin
lebih dari yang lainlain. Pujian pun berdatangan. Lebih-lebih
pertumbuhan ekonomi mengesankan.

Pada akhir 2011, pendapatan per kapita rakyat rata-rata US$3.600, lebih
dari dua kali lipat daripada awal reformasi.

Berita tentang akan membanjirnya investasi asing membuat hati makin
berbunga-bunga.

Asumsinya, keuntungan materi akan membahagiakan seluruh warga. Tetapi,
benarkah kemajuan ekonomi dan sistem demokrasi yang sedang berjalan
membuat rakyat bahagia? Pelanggaran hukum merebak.

Berbagai demo, tawuran, dan konfl ik pertanahan akhir-akhir ini pecah di
banyak tempat.

Lain ladang lain belalang.
Yang membuat suatu masyarakat bahagia/puas belum tentu sama dengan yang
membuat masyarakat lain bahagia/ puas. Sistem demokrasi yang berhasil di
satu tempat bisa jadi gagal di tempat lain.
Banyak faktor yang menentukan. Budaya atau kultur menentukan. Begitu
juga gaya hidup dan pendidikan lingkung an ataupun pendidikan formal.

D u a profesor ekonomi berkebangsaan Swiss, Bruno Frey, 71, dan Alois
Stutzer, 40, dari perguruan tinggi di Zurich dan Basel, pernah
bersamasama meneliti ribuan penduduk Swiss tentang keterkaitan antara
kekayaan materi dan kebahagiaan berdemokrasi.
Swiss adalah negara republik federal yang superkaya, terdiri dari 26
negara bagian (canton) dengan jumlah penduduk sekitar sepertiga puluh
penduduk Indonesia. Se bagian besar kekuasaan penyelenggaraan negara
dilimpahkan kepada setiap canton. Sistem demokrasi atau partisipasi
politik warga tidak sama di semua canton. Masingmasing menentukan pilihan.

Penelitian yang dilakukan dua profesor itu memberikan hasil yang bisa
menjadi rujukan bagi kalangan politisi. Misalnya, tingkat demokrasi lang
sung yang dijalankan berko relasi dengan kebahagiaan/ kepuasan hidup
warga. Se makin tinggi indeks tingkat demokrasi suatu kelompok
masyarakat, semakin bahagia masyarakatnya. Kebahagiaan akan mereka
rasakan apabila kesempatan berpartisipasi da lam proses demokrasi terja
min. Kebahagiaan yang mere ka peroleh itu mungkin sama besar
dengan--seandainya -pendapatan materi mereka naik pesat.

Sistem demokrasi di Swiss terkesan tidak sama dengan yang berlaku di
negeri kita, tetapi hakikat konsepnya sama.
Seandainya ada kejujuran dan etika dalam berpolitik, politik
transaksional tidak akan terjadi di Indonesia, sehingga apa pun
hasilnya, itu murni keinginan rakyat.

Berarti, berhasil tidaknya usaha bersama adalah berkat pilihan mereka.
Fakta itu saja tentu lebih membahagiakan daripada membuat rakyat hanya
sebagai penonton.

Terserah kepada partai-partai politik bagaimana mereka memberikan
pencerahan dan pendidikan politik kepada rakyat. Setelah itu ber hasil,
baru kita boleh bangga akan demokrasi Indonesia.

http://pmlseaepaper.pressmart.com/mediaindonesia/PUBLICATIONS/MI/MI/2011/12/23/ArticleHtmls/Sumber-Kebahagiaan-dalam-Demokrasi-23122011026022.shtml?Mode=1

--
"One Touch In BOX"

To post : koran-digital@googlegroups.com
Unsubscribe : koran-digital-unsubscribe@@googlegroups.com

"Ketika berhenti berpikir, Anda akan kehilangan kesempatan"-- Publilius Syrus

Catatan : - Gunakan bahasa yang baik dan santun
- Tolong jangan mengiklan yang tidak perlu
- Hindari ONE-LINER
- POTONG EKOR EMAIL
- DILARANG SARA
- Opini Anda menjadi tanggung jawab Anda sepenuhnya dan atau
Moderator Tidak bertanggung Jawab terhadap opini Anda. -~----------~----~----~----~------~----~------~--~------------------------------------------------------------
"Bersikaplah sopan, tulislah dengan diplomatis, meski dalam deklarasi perang sekalipun seseorang harus mempelajari aturan-aturan kesopanan." -- Otto Von Bismarck.
"Lidah orang berakal dibelakang hatinya, sedangkan hati orang dungu di belakang lidahnya" -Ali bin Abi Talib.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar