Minggu, 25 Desember 2011

[Koran-Digital] CALAK EDU - Masa Bodoh, meski Sondang dan Mesuji Menguji

Tak meng herakan jika pengaruh buruk pengembangan kurikulum dalam praktik pendidikan kita berimplikasi langsung terhadap respons masyarakat terhadap kehidupan nyata."

“TETAP tak ada yang menggembirakan dalam perkembangan dunia pendidikan Tanah Air sepanjang tahun 2011.

Angka anak sekolah yang terlibat praktik kekerasan semakin meningkat, kualitas SDM manusia menurut versi UNDP juga menurun drastis, dan yang lebih tragis adalah kematian seorang Sondang, mahasiswa UBK, karena membakar dirinya sendiri dan diyakini teman-temannya sebagai martir dalam perlawan_annya terhadap ketidakberdayaan pemerintahan SBY dalam menangani hampir seluruh sendi dan isu kehidupan sosial-politik-hukum dan keagamaan di Indonesia.

Jelas sekali problem leadership akut menghinggapi sebagian besar masyarakat Indonesia.

Hampir dapat dipastikan, tidak satunya kata dan perbuatan dari para pemimpin negara, adalah penyebab utama terjadinya karut-marut kehidupan manusia Indonesia. Terakhir, kita diuji oleh Mesuji, sebuah tragedi kemanusiaan ala kepemimpin

an yang katanya demokratis, tetapi sama sekali tak berhati nurani. Belum lagi skandal Bank Century, yang pasti akan menjadi berabad-abad lamanya karena ditaksir tak akan pernah selesai.

Tanyalah anak SD, meski tak ada di buku induk sejarah dan PPKN, mereka tahu bagaimana kasus dan skandal-skandal di atas terjadi dan apa artinya bagi mereka. Seakan sebuah pola hidden curruculum, kasus dan skandal-skandal ini tak pernah tuntas dipelajari oleh siapa saja.

Karena, hampir semua orang seperti kehilangan akal sehat dan hati nurani, sehingga proses pendidikan yang berlaku adalah prinsip masa bodoh, masa bodoh, dan masa bodoh.

Sondang menjadi kondang, tapi pemerintah dan masyarakat seperti masa bodoh. Tidak seperti di Aljazair dan Tunisia, peristiwa para-suicide seperti kasus Sondang sontak menimbulkan revolusi jalanan karena masih ada hati nurani. Pembantaian di Mesuji, terlepas dari kontroversinya, seakan tak

bertaji karena peristiwa tersebut selalu dimaknai secara politis dan dibahas dari televisi hingga warung kopi tanpa hati.

Pemimpin bangsa ini, selalu sibuk membentuk komisi, tim pencari fakta, dan jika ditanya mengapa kasus tak kunjung selesai, jawabannya selalu bersembunyi di balik prosedur hukum dan fatamorgana.

Bayangkan, jika setiap masalah tak kunjung diselesaikan, roh dan jiwa setiap peristiwa pasti akan menggantung dan bisa jadi memengaruhi hati dan perasaan para guru, siswa, dan siapa saja yang peduli dan tidak peduli dengan kasus dan skandal di atas. Akhirnya, sifat buruk akan cepat menyebar ke relung pikiran dan rasa setiap orang, sehingga mereka terkadang menjadi gelap mata bahkan tak jarang menghilangkan sikap dan kebersamaan dalam sebuah bangsa.

Karena itu tak mengherankan jika masyarakat, mungkin termasuk guru dan siswa, cenderung reaktif dan anarkistis karena mereka ingin setiap

masalah bisa cepat terselesaikan. Pikiran instan muncul sesungguhnya lebih banyak karena kekecewaan terhadap akumulasi kesulitan hidup, baik karena motif politik, sosial, ekonomi, bahkan agama. Jika ini yang terjadi, sangat berat tugas bidang pendidikan dan kebudayaan di tahun mendatang, 2012.

Jelas kita memerlukan revolusi kurikulum pendidikan dan kebudayaan di tahun 2012, agar jejak gelap kasus dan skandal kehidupan di tahun 2011 bisa dihindari, sehingga pikiran masa bodoh secara perlahanlahan juga bisa dihilangkan.

Saatnya pihak Kemendikbud menyatukan pikiran, kata, dan perbuatan, agar tak terjadi proses pengajaran yang sarat kemunafikan kepada para siswa. Konsekuensi dari semua itu adalah Kemendikbud harus berlapang dada untuk merevisi semua jenis juklak, juknis, dan peraturan yang bertentangan dengan prinsip-prinsip keterbukaan dan kemandirian dalam KTSP.

Jika kita tengok sejarah kurikulum kita, sejak Kurikulum 1950 atau Rencana Pelajaran 1947 bergulir hingga Kurikulum Berbasis Kompetensi (KTSP), itu berarti telah terjadi proses pergantian kurikulum sebanyak delapan kali. Kebiasaan kurikulum selama enam dekade itu adalah menempatkan pemerintah sebagai satu-satunya perumus kurikulum. Komunitas sekolah (baca: guru, kepala sekolah, dan masyarakat) hanya sebagai pelaksana kurikulum, yang wajib membaca dan memahami berlembar-lembar juklak, juknis, dan garis-garis besar program pengajaran dari pusat.

Salah satu kesalahan mendasar mendiknas dalam mengelola urusan kurikulum adalah ketiadaan assessment yang komprehensif tentang daya dukung sarana-prasarana sekolah, serta tingkat kemampuan para guru dalam memahami makna kurikulum. Hal lain yang juga memilukan hati adalah miskin dan lemahnya perangkat

birokrasi dan aparatur yang paham makna kurikulum dalam sebuah proses pendidikan.

Akibat terburuknya adalah pemborosan uang negara yang berlebihan demi sebuah program baru, sosialisasi baru, penataran baru, buku baru, dan sarana pendukung yang juga baru.

Sejarah pendidikan kita amat lemah dalam meyakini dan mendistribusi gagasan baru hingga ke tingkat akhir (selesai).

Inilah yang secara kasatmata kita jumpai dalam praktik kehidupan sosial, politik, dan hukum di Indonesia. Apa yang terjadi di tengah masyarakat sepanjang tahun 2011 sesungguhnya merupakan gambaran konkret tiadanya keterkaitan (alignment) antara kurikulum yang tertulis dengan sistem evaluasi (test) yang dilakukan.

Karena itu, tak mengherakan jika pengaruh buruk pengembangan kurikulum dalam praktik pendidikan kita berimplikasi langsung terhadap respons masyarakat terhadap kehidupan nyata. Believe it or not!

http://pmlseaepaper.pressmart.com/mediaindonesia/PUBLICATIONS/MI/MI/2011/12/26/ArticleHtmls/CALAK-EDU-Masa-Bodoh-meski-Sondang-dan-Mesuji-26122011026025.shtml?Mode=1

Tidak ada komentar:

Posting Komentar