Kamis, 15 Desember 2011

[Koran-Digital] Toeti Adhitama : Asal Usul dalam Masalah Kebangsaan

PETIK setangkai bunga dari taman. Cabut kelopaknya satu demi satu,
sambil berucap: Jawa, non-Jawa, Jawa, nonJawa, Jawa, non-Jawa... dan
seterusnya. Kelopak terakhir yang tertinggal menentukan siapa yang
terpilih.

Begitulah ibaratnya cara berpikir masyarakat umum ketika menduga-duga
siapa yang akan terpilih menjadi Presiden pada 2014. Waktu masih
merentang lebih dari dua tahun untuk memilih di antara calon-calon yang
disodorkan partai-partai politik. Namun, popular votes pada akhirnya
akan menyerahkan pada setiap pemilih untuk menentukan. Sampai saat ini
suasana hati masyarakat masih main tebak-tebakan. Tidak jelas benar apa
yang mereka jadikan pegangan. Umumnya mereka ikut arus. Lewat media
massa, mereka mengikuti kalangan cerdik pandai menganalisis kriteria
pemimpin yang ideal, sebab-musababnya dan berbagai alasan lain.

Sudah tentu pikiran rakyat umum pada waktu ini tidak terfokus ke sana
semata. Mereka mungkin saja ikut sedikitsedikit urun rembuk, tetapi
tanpa semangat yang membara seperti yang dirasakan partai-partai
politik. Sayangnya, partai-partai politik pun belum banyak membeberkan
platform partai dan ihwal tokoh-tokoh yang mereka tawarkan. Rakyat
sebenarnya ingin tahu dan peduli. Di lain pihak, apakah

dalam penentuan pilihan masih ada masalah asal usul dalam persoalan
kebangsaan?
Pencerahan Amien Rais dalam Rakernas PAN minggu lalu menyatakan Hatta
Rajasa sudah berperilaku seperti orang Solo. Ungkapan itu tentu
dimaksudkan sebagai komplimen, mengingat sebagian masyarakat Indonesia
masih memiliki sentimen primordial terhadap tokoh luar Jawa untuk
menduduki jabatan presiden. Primordialisme menunjukkan sikap sempit yang
mengindikasikan kemunduran dalam usaha membangun rasa kebangsaan dan
demokrasi Indonesia.

Rasanya sejak revolusi hingga menjelang masa Orde Baru tidak ada
primordialisme yang sampai mengganggu pemupukan rasa kebangsaan dan
kebersamaan. Kita tidak memikirkan pembedaan atas dasar ras dan suku.
Suku-suku membaur untuk tugas dan kewajiban yang sama. Banyak tokoh yang
bukan pribumi berjuang berdampingan dengan yang pribumi, dengan hak dan
kewajiban sama.
Kita ingat ada perwira tinggi Angkatan Laut, tokoh-tokoh bisnis dan
kalangan intelektual keturunan China yang dihormati lingkungan mereka;
tidak kurang dari rasa hormat mereka bagi orang-orang pribumi. Tidak
harus ada organisasi khusus untuk membangkitkan rasa kebangsaan dan
kebersamaan. Semua berkembang secara naluriah dan alamiah, seiring
dengan pertumbuhan kita sebagai suatu bangsa. Akan tetapi, mengapa
akhir-akhir ini persoalan SARA muncul kembali? Perlu telaah lebih mendalam.

Ada gangguan dalam usaha kita membina persatuan dan kesatuan. Yakni,
apakah para pemimpin harus dari sipil atau militer, mudah-mudahan tidak
ada persoalan lagi. Kepemimpinan bukan lagi didasari apakah mereka
pernah memanggul senjata atau tidak. Tidak ada lagi yang disebut dari
angkatan '45.

Asumsinya, mereka memiliki bobot jasa yang sama di bidang
masing-masing--militer, bisnis, profesional, dan lain-lain.

Kalau masih ada yang mengganjal, rasanya malah persoalan
kesukuan/kedaerahan dan rasialisme.

Namun bila orang-orang dewasa di antara 240 juta penduduk ditanya satu
per satu: manusia dengan kriteria terpenting apa yang patut menjadi
pemimpin masa depan? Mereka tidak akan menyinggung SARA.

Mayoritas mungkin akan menjawab, mereka menginginkan negarawan yang peka
akan kehidupan bisnis dan ekonomi, tanpa mengabaikan kehi

dupan sosial-politik dan budaya masyarakatnya. Ekonomi dan bisnis
disebut yang pertama karena ekonomi menjadi panglima di mana-mana. Kalau
tidak peka dalam masalah ini, kita akan menjadi ajang injakan panglima
yang memimpin pasar global.

Kecenderungan mengutamakan

politik sebagai panglima, serta menomorduakan bisnis dan ekonomi,
membuat kita menjadi pasar murah bagi negara-negara lain. Argumen itu
dengan asumsi bahwa tidak akan terjadi politik transaksional.

Yang juga dituntut dari pemimpin masa depan ialah sikap dan sifat
negarawan-tokoh yang mahir menjalankan pemerintahan dan menyusun
kebijakan-kebijakan yang prorakyat agar kesejahteraan dinikmati bersama
dan merata.
Bila pemimpin masa depan memenuhi kriteria itu, apakah kita masih
memedulikan asal usul mereka, sipil atau militer, Jawa atau non-Jawa,
pribumi atau bukan pribumi?
Menciptakan surga bersama Ada sepenggal adegan sinetron lama, Bukan
Cinta Sesaat, yang tak mudah dilupakan.
Seorang perempuan China berkata kira-kira seperti ini kepada perempuan
pribumi saingannya dalam cinta, "Saya ingin menyerahkan anak yang saya
kandung ini padamu supaya dia terlahir dan hidup sebagai pribumi...."

Seorang perempuan China lain mengatakan, "Indonesia itu surga." Akan
tetapi, dia dan keluarganya terpaksa meninggalkan Tanah Air menjelang
reformasi dulu karena ada kerusuhan anti-China. Mereka sering rindu
untuk pulang. Mereka kemudian hidup dalam dilema.

Ketika anak-anak itu masih duduk di SD di Indonesia, sang ibu pernah
mengatakan betapa bahagia bercampur sedih ketika melihat anak-anak itu
begitu gembira bermain dengan siapa saja di sekolah. Sang ibu sedih
karena tidak lama lagi, setelah anak-anak itu besar, mereka akan
merasakan perilaku yang berbeda karena mereka bukan pribumi.

Paparan tersebut menegaskan diskriminasi rasial masih dirasakan di bumi
Indonesia. Ini juga salah satu PR penting bagi pemimpin masa depan:
menghapuskan diskriminasi dalam berbagai bentuk; apakah karena ras, suku
atau kedaerahan, agama maupun gender. Ada usaha-usaha dari banyak pihak
dan organisasi yang khusus dibentuk untuk meneguhkan ide pluralisme dan
multikulturalisme. Sebab proses nation building, yang dulu dengan gigih
dipelopori Bung Karno, merupakan proses yang tidak pernah selesai.

Dalam kaitan itu, antara lain patut disebut Yayasan Nabil yang berdiri
sejak 30 September 2006 dengan tujuan ikut serta dalam proses nation
building.

Pendirinya, Eddie Lembong, 75, berpendapat bahwa satusatunya cara
menyelesaikan masalah rasialisme di Indonesia ialah dengan mengikutsertakan

semua warga dalam segenap kehidupan berbangsa dan bernegara. Untuk itu,
mungkin perlu tindakan strategis yang terarah.

Seperti yang kita saksikan dan rasakan, reformasi merupakan proses yang
juga tidak boleh berhenti sebelum kita menemukan sistem yang tepat untuk
membangun bangsa dan menyejahterakan seluruh rakyat.

Gerakan restorasi antara lain bertujuan mengadakan koreksi dan
penyempurnaan reformasi di mana pun diperlukan.

Di bidang politik dan hukum, misalnya, organisasi kemasyarakatan ini
menyebarluaskan paham nasionalisme modern; menolak etnonasionalisme yang
dangkal dan sempit.

Di bidang ekonomi, mendukung paham affi rmative action menuju
pemberdayaan dan menjembatani potensi modal swasta dalam negeri guna
membangun ekonomi di daerah-daerah otonomi provinsi. Dalam bidang
budaya, mengusahakan cross cultural fertilization. Dalam biang sosial,
mendorong lahirnya kesadaran membangun masyarakat beradab, maju, adil,
makmur, dan sejahtera. Di bidang pendidikan, mendorong pelaksanaan
pendidikan tepat guna dan bermartabat serta menciptakan manusia unggul
melalui pengembangan pola pemikiran berlandaskan ilmu dan
penelitian-penelitian berkualitas. Kedengaran utopis? Namun, itu bisa
saja terwujud bila ada semangat kebangsaan dan kebersamaan, tanpa ada
persoalan asal usul.

Salah satu PR penting bagi pemimpin masa depan: menghapuskan
diskriminasi dalam berbagai bentuk; apakah karena ras, suku atau
kedaerahan, agama maupun gender."

http://pmlseaepaper.pressmart.com/mediaindonesia/PUBLICATIONS/MI/MI/2011/12/16/ArticleHtmls/Asal-Usul-dalam-Masalah-Kebangsaan-16122011022024.shtml?Mode=1


--
"One Touch In BOX"

To post : koran-digital@googlegroups.com
Unsubscribe : koran-digital-unsubscribe@@googlegroups.com

"Ketika berhenti berpikir, Anda akan kehilangan kesempatan"-- Publilius Syrus

Catatan : - Gunakan bahasa yang baik dan santun
- Tolong jangan mengiklan yang tidak perlu
- Hindari ONE-LINER
- POTONG EKOR EMAIL
- DILARANG SARA
- Opini Anda menjadi tanggung jawab Anda sepenuhnya dan atau
Moderator Tidak bertanggung Jawab terhadap opini Anda. -~----------~----~----~----~------~----~------~--~------------------------------------------------------------
"Bersikaplah sopan, tulislah dengan diplomatis, meski dalam deklarasi perang sekalipun seseorang harus mempelajari aturan-aturan kesopanan." -- Otto Von Bismarck.
"Lidah orang berakal dibelakang hatinya, sedangkan hati orang dungu di belakang lidahnya" -Ali bin Abi Talib.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar