Kamis, 15 Desember 2011

[Koran-Digital] Rohmad Hadiwijoyo: Bharatayuda di Kuru Century II

Bharatayuda di Kuru Century II
Rohmad Hadiwijoyo Dalang dan CEO RMI Group

JANJI pimpinan baru Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk menyelesaikan kasus–kasus korupsi skala besar, seperti dugaan dana talangan Bank Century sebesar Rp6,7 triliun, patut diapresiasi.

Namun, jika KPK masih harus menunggu hasil audit forensik untuk dapat mengusut kasus Bank Century, itu merupakan alasan yang mengada–ada atau manipulatif.

Hasil laporan audit BPK sudah fi nal dan mengikat, sedangkan hasil audit forensik BPK sebenarnya diperlukan jika KPK ingin menambah jumlah daftar tersangka bagi siapa pun yang ikut menikmati uang haram dalam kasus tersebut.

Sebetulnya, dari daftar sembilan dosa kasus Century, ada dua dosa utama yang sudah dapat digunakan untuk proses hukum. Yakni pengucuran fasilitas pinjaman jangka pendek (FPJP) dan penyertaan modal sementara (PMS) untuk membayar nasabah Century.

Yang diperlukan ialah keberanian dan leadership untuk segera memutuskan dan mencari solusi yang elegan. Dengan demikian, kasus Century tidak menjadi alat tawar atau bargain dan alat pemukul elite politik untuk menyerang pemerintah.

Banyak pihak yang dirugikan akibat tidak tuntasnya penyelesaian kasus Century. Misalnya, berapa besar kerugian dana BUMN yang tidak terbayar, uang surat utang negara (SUN) dan giro Bank Indonesia, serta dana masyarakat luas.

Yang paling dirugikan dalam kasus itu ini sebetulnya partai penguasa, Demokrat. Ibaratnya, tidak makan nangka tetapi kena

getahnya.

Dengan demikian, pemerintahan SBY akan terus tersandera kalau kasus Century tidak kunjung diselesaikan, baik secara hukum maupun politik. Apalagi opini publik selama ini sudah memvonis seolah­olah Partai Demokratlah yang paling menikmati kucuran Century.

Untuk mencari solusi kasus Century, becerminlah pada kearifan cerita wayang, yakni intrik politik dan perebutan kekuasaan dalam trah keluarga darah Kuru.

Dari sembilan dosa pada pemerintahan Prabu Sentanu, sebetulnya hanya dua dosa fatal yang menyebabkan terjadinya Perang Bharatayuda di Kurusetra. Dua dosa tersebut ialah apa yang dilakukan Dewi Durgandini dan Dewabrata.

Dewi Durgandini memaksakan kehendak, bahwa hanya keturunannyalah yang dapat mewarisi takhta Kerajaan Astina. Adapun dosa yang dilakukan Dewabrata ialah dia sudah berjanji wadat atau tidak kawin, tetapi dia masih nekat mengikuti sayembara memperebutkan putri di Kerajaan Kesipura.
Anak kesembilan Kocap kacarita, Raja Astina Prabu Sentanu beristrikan seorang bidadari bernama Dewi Gangga. Akan tetapi, setiap bayi yang lahir dari perkawinannya itu dibuang ke Sungai Gangga.
Hal itu sudah menjadi `perjanjian' antara Prabu Sentanu dan Dewi Gangga sebelum mereka menikah.

Isi perjanjian itu ialah bila melahirkan anak, anak itu harus dilarung atau dipersembahkan kepada Sungai Gangga. Bayi pertama sampai bayi nomor ke delapan dihanyutkan di sungai tersebut. Prabu Sentanu tidak bisa berbuat apa-apa karena itu sudah menjadi perjanjian.

Namun, akhirnya Prabu Sentanu berubah sikap ketika Dewi Gangga melahirkan anak kesembilan. Ia merebut jabang bayi tersebut dari tangan istrinya agar tidak dibuang ke sungai. Akibatnya, karena ia melanggar sumpahnya sendiri, Dewi Gangga meninggalkannya dan kembali ke Kahyangan. Sentanu sendirian momong anaknya yang kemudian ia beri nama Dewabrata.
Namun, karena keterbatasan nya, Sentanu berkeinginan menikah lagi agar Dewabrata bisa tumbuh menjadi anak yang baik.

Ia ke mudian melamar s e k a r kedaton Kerajaan Wirata yang bernama Dewi Durgandini. Namun, saat itu status Durgandini ialah janda dari Raden Parasara dan sudah memiliki satu anak bernama Abiyasa.

Durgandini berpisah dengan Parasara karena keduanya sudah berbeda prinsip. Parasara, kesatria sekaligus pandita, mempunyai kegemaran keluar masuk hutan untuk bertapa, dan Durgandini tidak menyukai apa yang dilakukan suaminya itu. Mereka kemudian sepakat berpisah, dan anak semata wayangnya, Abiyasa, mengikuti sang ayah dan tinggal di pertapaan Sapta Arga. lakukan kare na Dur gandini tidak ingin De wabrata kelak, yang akan menjadi raja Astina, menggantikan ayahnya, Sentanu.

Secara terbuka Durgandini meminta agar keturunannya bersama Sentanu-lah kelak yang menjadi raja Astina. Ia meminta kerelaan Dewabrata untuk mengalah. Dewabrata pun menyanggupi permintaan ibu tirinya itu.

Untuk membuktikan ketulusan kesanggupannya itu, Dewabrata bersumpah tidak akan menikah selamanya atau disebut sumpah wadat. Sumpah inilah yang menjadi sumber petaka Kerajaan Astina.

Dari perkawinannya dengan Durgandini, Sentanu memiliki dua anak, yakni Citrawirya dan Citragada. Dewabrata pun sangat mencintai kedua adik tirinya tersebut.

Selain dalam kehidupan sehari-hari, kecintaan Dewabrata kepada kedua adiknya itu ia tunjukkan dengan mengi kuti sayembara mempere butkan putri Prabu Darmo Muka di Kerajaan Kesi pura. Ia ingin menjodohkan kedua adiknya itu dengan putri boyongan dalam sayembara itu. Singkat ceri ta, Dewabrata sukses meme nangi sayembara itu. Ia berhak memboyong tiga putri sekali gus, yak ni Dewi Ambika, Dewi Amba, dan Ambalika, ke Astina.

Dua putri, yakni Ambika dan Ambalika, diserahkan kepada kedua adiknya, Citrawirya dan Citragada, sedangkan Dewi Amba dikembalikan ke Prabu Darma Muka karena ternyata ia sudah memiliki pasangan, yakni Citramuka. Namun, karena sudah menjadi putri boyongan, Dewi Amba menolak dikembalikan ke orangtuanya dan ingin dinikahi Dewabrata. Ini menjadi masalah karena Dewabrata sudah bersumpah tidak akan menikah.

Karena Dewabrata tidak mau mengingkari sumpahnya tersebut, ia pun menolak kehendak Amba. Tetapi, Amba tetap berkeras agar Dewabrata bertanggung jawab untuk menikahinya sebagai konsekuensi pemenang sayembara. Amba tidak bisa menerima alasan sumpah itu.

Puncaknya, Dewabrata nyaris kehilangan akal. Ia mengeluarkan anak panah dengan busurnya dan diarahkan ke Amba. Maksudnya untuk menakut-nakuti Amba agar tidak memaksakan kemauannya untuk minta dinikahi. Tetapi di luar kehendaknya, panah itu lepas dan melesat mengenai dada Dewi Amba sehingga mati seketika.

Sebelum mukswa, Dewi Amba menyatakan sumpahnya tidak akan masuk surga kalau tidak bersamaan dengan Dewabrata.

Ia akan menunggu waktunya ketika pecah Perang Bharatayuda. Amba akan menuntut balas lewat senapati perempuan dari Amarta, yakni Dewi Srikandi.

Pada pihak lain, dua adik tiri Dewabrata dikodratkan tidak berumur panjang. Citrawirya dan Citragada meninggal dunia di usia muda. Atas perintah Prabu Sentanu sebelum mangkat, kedua janda anaknya itu, yakni Ambika dan Ambalika, dinikahkan dengan Abiyasa.

Hal itu dilakukan agar ada keturunan dari Kerajaan Astina.

Perkawinan Abiyasa dengan Ambika melahirkan Raden

Pandu yang kelak akan menurunkan para kesatria Pandawa, sedangkan perkawinan Abiyasa dengan Ambalika melahirkan Destarastra yang kelak akan menurunkan Kurawa.

Keturunan Abiyasa, yakni Pandawa dan Kurawa, itulah kelak akan berebut takhta Kerajaan Astina dalam Bharatayuda.
Perang besar itu terjadi di padang Kuru atau tempat lapang yang lazim disebut Kurusetra.
Tiga penyebab Dudutan dari cerita ini ialah bahwa terjadinya perang besar di Kurusetra disebabkan tiga hal. Pertama, ketidakterbukaan antara Prabu Sentanu dan Dewi Gangga dalam perkawinannya, sehingga setiap anak yang lahir selalu dibuang ke Sungai Gangga. Kedua, pemaksaan kehendak yang dilakukan Durgandini, yakni hanya keturunannya yang berhak menjadi raja di Astina. Yang terakhir, sumpah wadat yang dilakukan Dewabrata. Sudah tahu dia tidak akan kawin, tetapi ia mengikuti sayembara memperebutkan putri Kerajaan Kesipura.

Dari tiga permasalahan tersebut ada kemiripan dengan masalah yang dihadapi dalam kasus Bank Century. Pertama, besarnya kerugian uang negara dalam bentuk SUN dan uang BUMN yang ikut tertelan dalam Bank Century. Kedua, berperannya pejabat publik dalam kasus Bank Century, sehingga menjadi beban pemerintah jika diproses secara hukum.

Karena itulah, sebaiknya biarkan terjadi `Perang Bharatayuda' di Kuru Century. Karena dengan perang itulah diharapkan dapat ditemukan kebenaran yang hakiki dan elegan. Semangga.

http://pmlseaepaper.pressmart.com/mediaindonesia/PUBLICATIONS/MI/MI/2011/12/16/ArticleHtmls/Bharatayuda-di-Kuru-Century-II-16122011022016.shtml?Mode=1

Tidak ada komentar:

Posting Komentar