Minggu, 11 Desember 2011

[Koran-Digital] Syamsir Alam : Mengubah Kebijakan UN Kelulusan Meningkat?

Mengubah Kebijakan UN Kelulusan Meningkat?
Syamsir Alam Pengajar pada Program Penelitian dan Evaluasi, FPS UHAMKA, Jakarta

UJIAN nasional (UN) bagi siswa-siswa sekolah dasar dan menengah sudah di ambang pintu. Dalam beberapa minggu ke depan ini, sekolahsekolah sudah harus menyetorkan nilai siswa/sekolah (NS) semester terakhir ke BSNP/ Puspendik, yang kelak akan dijadikan sebagai bagian dari informasi untuk menentukan kelulusan siswa. Sebagaimana tahun sebelumnya, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tampaknya masih tetap akan memberlakukan penggabungan dua nilai sebagai metode untuk menentukan kelulusan individu siswa yang rincian teknisnya adalah nilai sekolah (NS) diberi bobot sebesar 40%, sedangkan nilai UN, bobotnya sebesar 60%.

Hasil UN 2010/11, dengan perubahan kebijakan kelulusan itu, menunjukkan perbaikan yang lebih bermakna apabila dibandingkan dengan hasil UN tahun-tahun sebelumnya. Jika, sebagai misal, Provinsi DI Yogyakarta dan DKI Jakarta pada UN tahap 1, tahun 2009/10 hanya mampu meluluskan siswa SMP dan SMA sekitar 73%, pada UN tahun 2010/11 lalu, angka itu meningkat dengan sangat menakjubkan. Angka kelulusan siswa SMP dan SMA di Provinsi DKI Jakarta pada 2010/11 hampir mendekati sempurna, yaitu lebih dari 99%.

Meskipun, dengan perubahan kebijakan penentuan kelulusan itu, di beberapa daerah masih ditemukan sejumlah SMA dan SMP yang tingkat kelulusannya 0%, secara nasional hasil UN tahun 2010/11 menunjukkan perbaikan dan peningkatan dengan sangat signifi kan.

Dikatakan menakjubkan sebab hanya dengan mengubah kebijakan tentang penentuan kelulusan (menggabungkan NS dan UN), seluruh jajaran Kementerian Pendidikan (termasuk Dispendik dan Kakanwil Pendidikan Depag) sudah mampu membuat lompatan prestasi yang sangat fantastis.

Hasil itu secara jujur bisa dikatakan jauh melebihi pencapaian yang dapat diupayakan/di

kerjakan institusi pendidikan di negara-negara maju sekalipun.
NAEP (National Assessment of Educational Progress) yang praktik (survei) penilaiannya sudah berumur puluhan tahun, hasilnya sampai hari ini masih terus menuai banyak kritik karena baru sekitar 60%70% dari negara-negara bagian yang berpartisipasi mampu mencapai standar pencapaian nasional yang ditetapkan.
Begitu juga pada survei PISA, sejumlah negara OECD dan non-OECD yang berpartisipasi pada penilaian sains, matematika, dan reading masih harus bekerja keras dalam jangka yang sangat panjang untuk dapat memperbaiki prestasi/ pencapaian akademik siswasiswanya.
Kenapa angka kelulusan meningkat?
Di balik kesuksesan UN tahun ini, kita tetap harus mengkritisi hasilnya. Kita harus dapat mengajukan pertanyaan kritis kepada pengelola kebijakan dan pelaksana pendidikan, apakah peningkatan angka kelulusan itu juga sudah mencerminkan peningkatan/perbaikan kualitas pembelajaran siswa (student learning)? Jawaban atas pertanyaan kritis itu memang tidak mudah. Dari hasil pengamatan, kita dapat menyimpulkan sementara bahwa meningkatnya angka kelulusan siswa SMP dan SMA pada UN 2010/11 itu merupakan akibat langsung dari perubahan kebijakan dalam menentukan kelulusan siswa.

Sejak kementerian pendidikan (dengan dukungan Komisi Pendidikan DPR) memutuskan bahwa NS harus dipertimbangkan dalam penentuan kelulusan siswa pada ujian akhir nasional, yang bobotnya kemudian ditetapkan sebesar 40% dan selebihnya 60% merupakan hasil UN, banyak pihak yang semakin skeptis terhadap keseriusan kementerian pendidikan dan parlemen dalam mengelola dan mengawal mutu pendidikan nasional. Keputusan untuk menggabungkan hasil ujian sekolah (NS) dan UN itu merupakan kebijakan dadakan (snappy judgement), dan bukan didasarkan pada hasil penelitian dan kajian mendalam terhadap kebijakan dan implementasi UN selama ini. Kebijakan itu sepertinya hanya didorong `syahwat' untuk dapat meningkatkan angka kelulusan secara cepat dan instan, namun, masih absen dari niat (intention) untuk melakukan pembenahan dan peningkatan kualitas penilaian pada tingkat sekolah dan nasional yang lebih komprehensif dan terukur.

Meningkatnya angka kelu lusan siswa pada UN tahun 2010/11 lalu diduga akibat tertolong oleh nilai sekolah, diindikasikan sudah terjadi inflasi nilai sekolah (NS). Atas dasar itu, Puspendik/BNSP seharusnya pada UN 2011/12 ini mulai melakukan proses moderasi terhadap NS yang dikirim/diajukan sekolah (melalui disdik kabupaten/kota), sehingga hasil NS yang kelak akan digunakan sebagai komponen penilaian dalam penentuan kelulusan bisa lebih rasional, proporsional, dan menggambarkan kompetensi siswa sebenarnya.

Diskrepansi NS dan UN itu mungkin bagi sebagian orang masih dianggap konsep abstrak.
Namun, jika diperhatikan hasil pengolahan data NS dan UN yang dilakukan Puspendik, Balitbang, Kemendikbud (2011) kita mungkin akan lebih mudah memahaminya. Untuk tujuan ini, penulis secara kebetulan mengambil hasil pengolahan data NS dan UN, SMA negeri dan swasta, Propinsi Bangka Belitung (Babel), dan kurva statistik hasil NS dan UN, mata pelajaran IPA, SMPN di Jakarta.

Pada tabel, kita dapat melihat dengan sangat jelas perbedaan hasil penilaian yang diberikan guru/ sekolah terhadap siswa nya (NS) dan hasil peroleh a n siswa p a d a UN. Pada NS, nilai rata rata SMA di Provinsi Babel sebagaimana yang terlihat pada Tabel 1, mencapai angka 48,04, dengan standar deviasinya hanya 2.64. Artinya kemampuan siswa SMA Provinsi Babel untuk seluruh materi UN relatif homogen. Nilai terendah siswa (provinsi) untuk enam mata pelajaran tergolong cukup baik, yaitu di atas 6,20. sebaliknya, pada UN, nilai rata-rata provinsi itu hanya bertengger pada angka 43,57, dengan standar deviasi berada b pada angka 6,34, yang artinya a kemampuan siswa SMA di Babel variasinya masih cukup lebar.

Kesimpulan ini diperkuat lagi dengan hasil perolehan nilai terendah/tertinggi untuk seluruh mata pelajaran yang diujikan pada UN, yaitu bahasa Indonesia (2,20/9,60), bahasa Inggris (2,00/10,00), matematika (1,25/10,00), fisika (1,75/10,00), kimia (3,00/9,75), dan biologi (2,25/10,00). Rentak nilainya masih sangat lebar. Temuan serupa, menurut laporan hasil analisis UN Puspendik, Balitbang, Kemendikbud (2011) juga terjadi pada provinsi provinsi lainnya. Sebagaimana dikemukakan, hasil NS pada hampir semua mata ujian, kurvanya selalu menunjukkan kejuling an positif (lihat gambar), yang artinya nilai siswa yang berasal dari sekolah (NS) akan terus cen derung tinggi.
Sebaliknya, ha sil siswa pada UN, kurvanya menunjukkan ke julingan (skewness) negatif atau nilainya rendah. Jika tidak dikritisi, hasil kelulusan siswa pada ujian nasional (school leaving examination) akan dapat menyesatkan (misleading). Dan apabila Puspendik/BNSP membiarkan praktik `kejanggalan' itu tetap berlangsung tanpa upaya yang lebih keras dan sungguhsungguh untuk mengoreksinya, masyarakat akan terus terkecoh. Upaya pembenahan Terjadinya inflasi NS tidak selalu diindikasikan adanya rekayasa nilai yang dilakukan pihak sekolah. Meskipun sebagian guru ada yang mengakui karena berbagai alasan dan pertimbangan mereka terpaksa melakukan praktik tidak terpuji itu. Namun, BSNP/Puspendik dituntut untuk dapat terus mengawasi dan mengadvokasi para guru dalam melakukan proses penilaian di sekolah, sehingga hasilnya dapat sesuai dengan kaidah, prinsip, dan standar ilmu pengukuran pendidikan.

Berpikir positif harus selalu dikedepankan dalam mengurai persoalan kemerosotan kualitas pendidikan sehingga solusi yang ditemukan bisa lebih bermakna dan berjangka panjang, bukan sekadar piece meal solution. Selain upaya pengkajian terhadap UU Sisdiknas 2003, berbagai peraturan pemerintah (PP) dan kebijakan menteri (kepmen), masyarakat hendaknya harus tetap bersikap kritis terhadap berbagai kebijakan yang dikeluarkan lembaga-lembaga penjamin mutu pendidikan, termasuk BSNP, Lembaga Akreditasi Sekolah/Madrasah, pengawas, dan kepala sekolah. Sinkronisasi (alignment) kerja antarlembaga penjaminan mutu di muka seharusnya dapat terus ditingkatkan dan dampaknya terhadap kualitas hasil pembelajaran siswa (student learning) juga harus dapat dilihat dan diukur.

Dari laporan analisis terhadap data dan informasi hasil UN, PISA, TIMSS, dan survei RSBI (2010) dapat disimpulkan sementara bahwa praktik pembelajaran dan penilaian di ruang kelas/sekolah tidak bisa lagi dipandang dan disimpulkan taken for granted akan berjalan dengan baik hanya karena guru-guru pengajar itu merupakan lulusan IKIP/LPTK. Saat ini, untuk dapat menjadi guru yang efektif hanya dengan berbekalkan ijazah IKIP/ LPTK rasanya sangat jauh dari memadai. Apalagi kinerja IKIP/ LPTK sering dipertanyakan/ diragukan karena mutunya.

http://pmlseaepaper.pressmart.com/mediaindonesia/PUBLICATIONS/MI/MI/2011/12/12/ArticleHtmls/Mengubah-Kebijakan-UN-Kelulusan-Meningkat-12122011030012.shtml?Mode=1

Tidak ada komentar:

Posting Komentar