Minggu, 11 Desember 2011

[Koran-Digital] CALAK EDU Never Ending Process

Menikmati dentuman dan deburan ombak sesungguhnya sebuah proses alamiah yang seharusnya bisa dinikmati seluruh awak kapal. Itulah makna sejati pendidikan sebagai sebuah proses yang tiada akhir."

JIKA pendidikan dimaknai sebagai sebuah proses, janganlah kita terlalu banyak berharap akan ada sebuah akhir. Sebagaimana maksim Arab yang mengatakan bahwa menuntut ilmu adalah sebuah proses pencarian seumur hidup (min al-mahdi ila al-lahdi), maka common believes dan energi para pendidik seharusnya lebih berorientasi dan mencintai prosesnya. Namun, karena ada ilmu ukur, pendidikan pun menjadi sumir karena tak jarang para pendidik lebih mengejar hasil (result oriented) tinimbang mencintai prosesnya.

Tujuan, hakikat, dan pemaknaan pendidikan yang serbahasil ini memperlihatkan lemahnya sistem pendidikan yang dibangun sehingga elan dasar pendidikan kita seakan tak pernah bertemu dengan jiwa atau roh yang selalu menjadi batang tubuh pendidikan nasional, yaitu ‘berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab’ (UU No 20/2003 tentang Sisdiknas).

Sangat tidak mungkin rasanya jika pembuktian seluruh agenda pendidikan nasional seperti tertera pada tujuan tersebut diselesaikan oleh sebuah mata rantai yang bernama ujian nasional (UN) sebagai bentuk pertanggungjawabannya. Hampir semua indikator dan tujuan pendidikan nasional merupakan sebuah napas panjang dari sebuah usaha dan proses yang tidak akan pernah berakhir (never ending process), karena hampir semua pilihan kata yang digunakan adalah kata sifat (adjektiva) yang menuntut usaha secara terus-menerus.

Kesadaran terhadap proses pendidikan dan proses belajar-mengajar yang benar harus bersinergi secara positif dengan keyakinan setiap pendidik bahwa untuk menjadikan anak bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, tak cukup hanya dengan, misalnya, mengujinya dengan secarik kertas ujian tentang sifat Tuhan. Proses yang benar ialah upaya untuk memas

tikan bahwa interaksi personal dan interpersonal seorang anak dengan guru, orangtua, dan lingkungannya tumbuh dari pengetahuan yang dia peroleh secara benar, membiasakannya secara terus-menerus dalam konteks budaya sekolah yang sehat, memperoleh keteladanan yang tiada henti dari guru, orangtua, dan lingkungannya, serta adanya kendali moral yang akan tumbuh secara bersamaan dari dalam dan luar diri mereka sendiri.

Jika para pendidik kita memiliki visi yang sama dalam menempatkan proses sebagai unsur paling penting dari sebuah sistem pendidikan, dapat dipastikan para siswa dan orangtua tak akan pernah takut ketika dihadapkan dengan sebuah ujian.

Bahkan dalam jangka panjang, proses pendidikan yang benar, aktif, dan menyenangkan dapat menumbuhkan sekaligus mengembangkan watak anak untuk menjadi manusia yang fl eksibel, terbuka, tegas, toleran,

sportif, setia kawan, berani mengambil risiko, dan memiliki integritas.

Akan sangat sulit rasanya watak dan sifat seperti itu bisa berkembang jika pikiran dan perasaan siswa, guru, serta orangtua selalu diperangkap oleh fakta tentang ujian nasional yang seakan sebagai malaikat pencabut nyawa. Dalam perspektif ilmu pengukuran (measurement) dengan beragam variasi dan fenomenanya, UN sering dinisbahkan kepada hal-hal yang berkaitan dengan kualitas sekolah. Padahal sebagai sebuah metode, UN bisa jadi semata-mata berorientasi untuk melihat akuntabilitas sekolah secara parsial, dan lalai dalam menjaga proses belajar-mengajar yang aktif dan menyenangkan.

Itulah sebabnya mengapa kebijakan soal UN tetap saja kontroversial dilihat dari sudut kebutuhan penumbuhan visi dan filosofi pendidikan secara luas. Dalam konteks high

stakes testing, muasal kesalahan ialah rendahnya kemampuan otoritas pendidikan dalam menerjemahkan filosofi dan visi pendidikan bangsa. Dari sudut fi losofi pendidikan, pembicaraan tentang arti dan nilai (meaning and value) pendidikan seakan selalu berakhir dengan adanya model evaluasi semacam UN. Dialektika antara otoritas pendidikan, sekolah, masyarakat, dan siswa seharusnya mencerminkan visi dan fi losofi pendidikan yang sehat, yang lebih menghargai proses yang benar, aktif, dan menyenangkan. Namun, kebijakan soal UN malah memperpendek visi pendidikan menjadi sekadar tumpukan soal dan membuang lebih banyak waktu untuk melakukan drilling dalam rangka mempersiapkan siswa mereka dalam menghadapi ujian (Jones: 1999).

Fakta berdasarkan hasil riset di banyak negara juga membuktikan bahwa masalah yang sering muncul dengan kebijakan

semacam UN ialah sulitnya menilai indikator keberhasilan setiap sekolah karena hasil tes mengalami banyak perubahan dari tahun ke tahun, terutama jika dikaitkan dengan capaian prestasi siswa (Linn & Haug, 2002). Dari aspek statistik, pola semacam UN juga cenderung tak dapat memenuhi kepuasan seluruh stakeholder pendidikan, mengingat pencatatan tak dapat dijadikan jangkar dalam menilai aspek nonpedagogis yang seharusnya masih menjadi bagian dari tanggung jawab guru dan sekolah terhadap para siswa.

Pendek kata, UN sebenarnya laksana jangkar kapal untuk bersandar, yang dihempaskan ke laut dan membuat kapal tak bisa bergerak maju kecuali bergoyang di tempat. Padahal, jika jangkar dilepas dan mesin dihidupkan, kapal dan seluruh isinya akan tersadar betapa luasnya laut biru dengan gelombang dan ombak yang akan selalu menguji seluruh isi kapal. Menikmati dentuman dan deburan ombak sesungguhnya sebuah proses alamiah yang seharusnya bisa dinikmati seluruh awak kapal.

Itulah makna sejati pendidikan sebagai sebuah proses yang tiada akhir.

http://pmlseaepaper.pressmart.com/mediaindonesia/PUBLICATIONS/MI/MI/2011/12/12/ArticleHtmls/CALAK-EDU-Never-Ending-Process-12122011030032.shtml?Mode=1

Tidak ada komentar:

Posting Komentar