Minggu, 11 Desember 2011

[Koran-Digital] Sonny Harry: Fakta dan Logika Kependudukan Indonesia

Fakta dan Logika Kependudukan Indonesia
Sonny Harry B Harmadi Kepala Lembaga Demografi FEUI dan Ketua Umum
Koalisi Kependudukan

DALAM suatu ke sempatan diskusi dengan seorang kepala daerah, saya
bertanya apa saja yang ada di pikirannya tentang pembangunan. Selama
kurang lebih 1 jam berdiskusi, sang kepala daerah tidak pernah
menyebutkan isu kependudukan.
Mungkin hal ini juga lazim bagi sebagian pembuat kebijakan di negeri
ini. Politik dan ekonomi menjadi `panglima' pembangunan. Padahal, aspek
kependudukan harusnya justru menjadi pijakan dasar pembangunan.

Pembangunan seharusnya berwawasan kependudukan, dengan mengintegrasikan
berbagai variabel kependudukan ke dalam perencanaan pembangunan. Apa pun
sektor pembangunan, pasti terkait dengan penduduk. Satu hal yang perlu
diperhatikan bahwa indikator-indikator kependudukan seharusnya tidak
hanya menjadi target pembangunan saja, tetapi juga sebagai asumsi dalam
perencanaan pembangunan, termasuk penyusunan anggaran. Perencanaan dan
anggaran pembangunan perlu didasarkan pada asumsi situasi kependudukan,
mencakup jumlah, struktur, maupun persebaran. Tantangan pembangunan
Indonesia dengan struktur penduduk yang saat ini didominasi usia
produktif (15-64 tahun), tentu berbeda dengan 30 tahun yang lalu
(didominasi penduduk usia muda, di bawah 15 tahun).
Persebaran penduduk yang berbeda antardaerah tentunya juga akan
berdampak pada indeks kemahalan pembangunan daerah.
Situasi kependudukan Indonesia Dalam tiga abad, jumlah penduduk
Indonesia naik empat kali lipat. Pada abad ke-17 (tahun 1600-an), jumlah
penduduk yang tinggal di Indonesia diperkirakan hanya sekitar 10 juta
jiwa. Pada awal abad ke-20, naik menjadi 40 juta jiwa. Dengan penduduk
tahun 2010 sebanyak 237,6 juta jiwa (Sensus Penduduk 2010, BPS),
Indonesia berada di posisi keempat dunia dalam hal jumlah penduduk.
Rata-rata laju pertumbuhan penduduk per tahun selama periode 2000-2010
mencapai angka 1,49%. Apakah angka ini tinggi? Jawabannya jelas tinggi.
Karena, pada saat yang bersamaan, laju pertumbuhan penduduk dunia hanya
sekitar 1,2% dan rata-rata laju pertumbuhan penduduk negara berkembang
hanya 1,4%.
Tingginya angka kelahiran juga tecermin dari jumlah bayi yang lahir
setiap hari secara rata-rata mencapai sekitar 12 ribu.

Mungkin di antara kita pernah terpikir bahwa Indonesia masih luas
wilayahnya, dan daya tampung lingkungan masih sangat memadai, sehingga
lonjakan penduduk tidak perlu dikhawatirkan.
Namun faktanya, kepadatan penduduk Indonesia per kilometer persegi
justru jauh lebih tinggi daripada tingkat kepadatan penduduk dunia.
Data Badan Kependudukan Dunia (UNFPA) tahun 2010 mencatat bahwa
rata-rata kepadatan penduduk dunia hanya 51 jiwa per km2, padahal
Indonesia sudah mencapai angka 122 jiwa per km2.
Bahkan, jika dibandingkan dengan negara-negara berkembang pun (sebesar
68 jiwa per km2), Indonesia masih jauh lebih tinggi.

Hal lain yang menarik untuk dicermati ialah adanya kaitan antara
persebaran penduduk antarpulau dan peranan ekonomi. Hampir 58% penduduk
Indonesia tinggal di Pulau Jawa, dan kontribusi Jawa terhadap
perekonomian nasional juga sekitar 60%. Sumatra yang dihuni sekitar 21%
penduduk Indonesia memberikan kontribusi ekonomi sekitar 21% juga
terhadap perekonomian nasional.

Begitu pula kontribusi Papua terhadap p e re k o n o m i a n nasional
sekitar 1,28%. Terdapat 1,24% penduduk I n d o n e s i a y a n g tinggal
di wilayah tersebut. Ini menjadi sinyal bahwa persebaran penduduk
antarpulau terkait dengan distribusi ekonomi.

Penduduk dan teknologi Fakta laju pertumbuhan penduduk yang tinggi
ternyata dianggap tidak terlalu mengkhawatirkan bagi sebagian kalangan.
Ketika Thomas Robert Malthus mengungkapkan kemungkinan bahaya kelaparan
akibat penduduk tumbuh menurut deret ukur dan pangan hanya tumbuh
menurut deret hitung, ramalan tersebut tidak terbukti.

Ini ditengarai sebagai bukti bahwa teknologi akan mampu mengatasi
pesatnya pertambahan penduduk. Tetapi, hal ini belum tentu berlaku. Apa
alasannya? Pertama, pada saat itu teknologi belum berkembang dan dunia
baru mulai memasuki masa industriali sasi (awal abad ke-19). Peru bahan
kondisi dari tanpa teknologi modern, beralih ke kehidupan dengan
teknologi modern, menciptakan tambahan produktivitas yang sangat
signifikan pada saat itu. Dengan l e v e l t e k n o l o g i yang saat
ini sudah tinggi, tambahan produktivitas yang dihasilkan oleh teknologi
dapat menjadi lebih rendah.

K e d u a , p e r k e m b a n g a n teknologi justru dapat menciptakan
'hantaman baru' bagi planet bumi, jika tidak diantisipasi dengan baik.

Setiap konsumsi teknologi oleh penduduk, tidak hanya menghasilkan
manfaat bagi kehidupan, tetapi juga menimbulkan beban bagi bumi. Sampah
produk teknologi telah membanjiri bumi. Bayangkan saja dengan jumlah 7
miliar penduduk dunia, betapa besar dampak sampah dari produk teknologi,
tanpa antisipasi daur ulang. Belum lagi penggunaan lahan, air, mineral,
minyak dan gas bumi, serta sumber daya alam lainnya secara masif untuk
pemenuhan kebutuhan penduduk yang jumlahnya besar.

Ketiga, inovasi dan kapabilitas teknologi di setiap negara tidak sama.

Hal ini terkait erat dengan perbedaan kualitas penduduk antarnegara.

Penemuan dan hak paten teknologi didominasi hanya beberapa negara maju.
Ada ketergantungan yang besar dari negara berkembang terhadap negara
maju. Dalam hal teknologi, negara berkembang baru sekadar
memanfaatkannya dan bukan menjadi penemu teknologi.

Harga yang harus dibayar untuk teknologi begitu mahal, dan menciptakan
pertukaran yang tidak seimbang antarnegara.

N e g a r a b e r k e m b a n g menghasilkan bahan baku dengan nilai
tambah rendah, sedangkan negara maju menghasilkan produk berteknologi
dengan nilai tambah yang tinggi.

tecermin dari rendahnya peringkat Indeks Pembangunan Manusia Indonesia
(peringkat 124 dari 187 negara) tidak terlepas dari lemahnya pembangunan
kependudukan, terutama keluarga berencana (KB). Program KB tidak lagi
menjadi prioritas. Persepsi setiap kepala daerah terhadap program KB
beragam.
Hasil Sensus Penduduk 2010 menunjukkan bahwa rata-rata usia kawin
pertama justru cenderung menurun (lebih muda) menjadi sekitar 19 tahun.
Putus sekolah mendorong orang untuk menikah muda.
Semakin muda menikah, semakin besar peluang memiliki banyak anak. Hal
ini akan diperparah oleh kondisi tanpa pelayanan KB. Dampaknya, risiko
kematian ibu, bayi, dan anak juga akan meningkat. Ini dapat berpengaruh
terhadap pencapaian IPM dan Millennium Development Goals (MDGs).

Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) mengungkapkan
bahwa di tahun 2012 akan dialokasikan anggaran sebesar Rp600 miliar
untuk penyediaan alat dan obat kontrasepsi.

Jumlah pasangan usia subur di Indonesia saat ini diperkirakan seki tar
45 juta pasangan.
Berarti, jika dirata-rata, setiap pasangan hanya dianggarkan sekitar
Rp13 ribu saja dalam setahun. Tentunya ini belum memadai. Hal ini
semakin diper parah dengan ren parah dengan ren dahnya alokasi anggaran
KB di tingkat kabupa ten/kota.

Komit men pem bangunan kependuduk an harus tecermin dari komitmen ang
garan. Komitmen pembangunan kependudukan harus ada di setiap jenjang
pemerintahan, mulai pemerintah pusat hingga daerah.

Namun perlu disadari, lemahnya implementasi program KB di daerah akibat
tidak sinkronnya peraturan perundang-undangan yang ada. Undang-Undang No
52 Tahun 2009 tentang perkembangan kependudukan dan pembangunan keluarga
mengamanatkan terbentuknya Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana
Daerah (BKKBD) di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota. Namun, ini
tidak sinkron dengan Peraturan Pemerintah No 41 Tahun 2007 tentang
Organisasi Perangkat Daerah. Dalam PP ini diatur bahwa kependudukan
serumpun dengan pencatatan sipil, dan KB serumpun dengan pemberdayaan
perempuan. Kependudukan dan KB dianggap 2 urusan yang tidak serumpun.
Dampaknya hingga hari ini belum ada daerah yang membentuk BKKBD setelah
dua tahun UU No 52 Tahun 2009 diterbitkan.

Ini memperlemah im plementasi program KB dan kependudukan di daerah.

Antisipasi kependudukan ke depan Ada tiga jenis revolusi yang terkait
penduduk dan perlu diantisipasi se cara saksama. Revolusi pertama ialah
revolusi fertilitas. Keberhasilan program KB mengubah struktur penduduk
Indone sia menurut umur, sekitar 67% penduduk Indonesia berada dalam
kelom pok usia kerja. Se lain itu, jumlah anak yang dimiliki setiap
keluarga turun dras tis, dari 5 hingga 6 anak di tahun 1971 menjadi 2
hingga 3 anak saja di tahun 2010. Perempuan memiliki waktu luang lebih
banyak.

Dampaknya, banyak perempuan masuk ke pasar kerja.

Angka partisipasi angkatan kerja perempuan meningkat.

Namun, diskriminasi di pasar kerja masih terjadi. Pekerja laki-laki
lebih disukai ketimbang pekerja perempuan.

Akhirnya, banyak pekerja perempuan yang tidak dapat terserap di pasar
kerja. Tidak mengherankan, akan terjadi aliran pekerja perempuan ke luar
negeri dalam jumlah yang besar. TKI akan semakin didominasi oleh perempuan.

Tentunya harus ada antisipasi yang memadai dari pemerintah terhadap
fenomena ini.

Revolusi kedua ialah revolusi mortalitas. Keberhasilan pembangunan
kesehatan menyebabkan angka kematian berhasil ditekan, khususnya
kematian bayi dan anak. Hal ini berdampak pada meningkatnya usia harapan
hidup.

Namun, di saat yang bersamaan, berbagai penyakit degeneratif, termasuk
penyakit tidak menular, mulai bermunculan. Penyakit seperti jantung,
stroke, diabetes dan sebagainya membutuhkan biaya pengobatan yang mahal.
Hidup lebih lama, namun dengan risiko biaya kesehatan yang lebih mahal.

Tanpa sistem jaminan sosial yang memadai, hal ini dapat menyebabkan
penduduk menjadi rentan dan mudah miskin.

Revolusi ketiga ialah revolusi mobilitas. Banyaknya low cost carrier
(angkutan murah) dan berkembangnya teknologi informasi serta komunikasi
menyebabkan keputusan orang untuk bermigrasi menjadi cepat dan mudah.
Orang tidak lagi berpikir lama hanya sekadar untuk 'merantau'. Mobilitas
penduduk menjadi sangat cepat, terutama antardaerah.

Di satu sisi, hal ini positif jika dilihat dari sudut pandang manfaat
knowledge spillover dan brain drain. Penduduk lokal akan memperoleh
manfaat dari keberadaan para migran. Namun di sisi lain, migrasi juga
menciptakan potensi benturan sosial, yang jika tidak diantisipasi dapat
merugikan pembangunan di masa depan. Bagaimanapun juga, fenomena migrasi
tidak bisa dibendung, namun dapat diarahkan agar memberikan manfaat
dalam mengatasi ketimpangan pembangunan antardaerah.

Dari sudut pandang administrasi kependudukan, penduduk usia 17 tahun ke
atas atau yang sudah menikah memang memiliki kartu identitas berupa
kartu tanda pengenal (KTP). Namun, perlu dipikirkan bagaimana dengan
penduduk bukan wajib KTP? Mereka tidak memiliki identitas diri yang
dapat dibawa dan dipergunakan sehari-hari.

Bagaimana pula dengan penduduk yang tidak memiliki tempat tinggal agar
memperoleh KTP? Perlu terobosan kebijakan administrasi penduduk untuk
hal ini.

Dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2005-2025 jelas
tertulis bahwa 'Kemajuan suatu bangsa juga diukur berdasarkan indikator
kependuduk an.

Ada kaitan yang erat antara kemajuan suatu bangsa dan laju pertumbuhan
penduduk…'. Ini menunjukkan bahwa pemerintah menyadari pentingnya
kependudukan dalam pembangunan Indonesia.

Namun, mengetahui dan bersikap positif terhadap kependudukan saja
tidaklah cukup.

Harus ada upaya dan tindakan nyata terkait kependudukan.

Bukan sekadar pernyataan keberpihakan, melainkan langkah konkret untuk
membangun kependudukan.

http://pmlseaepaper.pressmart.com/mediaindonesia/PUBLICATIONS/MI/MI/2011/12/12/ArticleHtmls/Fakta-dan-Logika-Kependudukan-Indonesia-12122011021009.shtml?Mode=1


--
"One Touch In BOX"

To post : koran-digital@googlegroups.com
Unsubscribe : koran-digital-unsubscribe@@googlegroups.com

"Ketika berhenti berpikir, Anda akan kehilangan kesempatan"-- Publilius Syrus

Catatan : - Gunakan bahasa yang baik dan santun
- Tolong jangan mengiklan yang tidak perlu
- Hindari ONE-LINER
- POTONG EKOR EMAIL
- DILARANG SARA
- Opini Anda menjadi tanggung jawab Anda sepenuhnya dan atau
Moderator Tidak bertanggung Jawab terhadap opini Anda. -~----------~----~----~----~------~----~------~--~------------------------------------------------------------
"Bersikaplah sopan, tulislah dengan diplomatis, meski dalam deklarasi perang sekalipun seseorang harus mempelajari aturan-aturan kesopanan." -- Otto Von Bismarck.
"Lidah orang berakal dibelakang hatinya, sedangkan hati orang dungu di belakang lidahnya" -Ali bin Abi Talib.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar