Jumat, 09 Desember 2011

[Koran-Digital] Neta S Pane : Sabina

Sabina PDF Print
Sunday, 04 December 2011
Lelaki itu menangis. Inilah untuk pertama kali istrinya melihat sang
suami menangis. Tak ada isak. Tapi air matanya terasa menghujam hulu hati.


Istrinya merasa bersalah sudah menjual lencana emas peninggalan mendiang
ayah sang suami saat menjadi wali kota. Ia terpaksa melakukannya karena
tak ingin melihat kedua anak mereka menangis berkalang lapar. Sepuluh
tahun menikah hidupnya hanya dirundung nestapa.

Sepuluh tahun menikah kemiskinan terus mendera, merenggut mimpi, dan
angan-angan.Membunuh semua kenangan manis.Membuat ia dan suaminya seakan
takberdaya menghadapi hidup. Sepuluh tahun menikah membuatnya semakin
tak mengerti pada perilaku suaminya.Padahal, semasa pacaran dulu, ia
merasa sangat paham dengan kepribadian lelaki tersebut. Bahkan,ia merasa
lelaki itulah cinta sejatinya. Lelaki yang akan menjadi tempatnya
merebahkan kepala di saat duka. Lelaki yang akan mengisi tawanya di saat
bahagia.Lelaki yang menjadi tempatnya menyandarkan masa depan.

Setiap kali menatap mata lelaki itu, ia seakan menemukan samudera yang
luas. Samudera yang membiru,dan bergelora. Ia menemukan gairah hidup,
optimisme, dan cinta membara pada diri lelaki itu.Ia merasa lelaki itu
adalah hidupnya. Ia bagian dari tulang rusuk lelaki itu. Ia sangat
bangga tatkala lelaki itu mempersuntingnyamenjadi istri.Merekasudah
saling kenal sejak kecil.Teman sepermainan. Pasangan ideal yang selalu
dijodoh-jodohkan teman temannya sebagai Emmah Malini dan Rajes Khana
dalam film-film India. Hingga suatu saat lelaki itu mencium bibirnya di
balik pohon kamboja di kuburan dekat perkampungan mereka. Ia sempat
menangis saat itu.

Menangis karena kaget dan merasa dilecehkan.Tapi,lelaki itu dengan tatap
matanya terasa seakan membawa samudera yang membentangkan kedamaian. Ia
hanyut dan larut. Lalu dengan santai lelaki itu menarik hidungnya sambil
menyelipkan bunga kamboja kuning di telinga kanannya. "Aku mencintaimu
Sabina. Hidup matiku untukmu,"bisik lelaki itu lembut di telinganya.
Kemudian kembali mencium bibirnya. Ia bergetar. Rasa takut campur
bahagia menyerang batinya. Tapi, jiwa kewanitaannya begitu nyaman.
Inilah gelombang cinta pertama yang menyerangnya.

Pohon kamboja jadi saksi.Nisan-nisan kuburan jadi saksi.Tawa keduanya
pun jadi saksi.Panah asmara cinta pertama gadis belia dan perjaka muda
terlepas sudah.Mereka mengabadikan momentum ini dengan torehan nama
masing-masing di antara simbol hati di batang kamboja. Masa-masa indah
mereka lalui sepanjang waktu. Kebahagian keduanya kian merekah tatkala
ayah lelaki itu diangkat menjadi wali kota.

Dunia pun seakan menjadi milik mereka berdua. Ia merasa seperti
Cinderela yang mendapatkan pangeran tampan dan kaya. Cinta sucinya
lengkap sudah.Cinta suci yang bertahta harta. Hidup mereka lalui dengan
gelak tawa bahagia. Ia pun menyandarkan harapan dan masa depannya pada
lelaki itu, lelaki yang sangat dicintainya, lelaki yang sangat
mencintainya.Tak ada halangan, meski ia dari keluarga sederhana. Kedua
orang tua lelaki itu merestui.Pernikahan mereka pun lancar bagai
pernikahan pangeran tampan dan putri jelita dari keluarga jelata. Tapi,
hidup punya lain cerita.

Beberapa bulan menikah, ayahnya turun tahta. Lalu reformasi tiba.Tempat
usaha keluarga suaminya diamuk massa. Ludes tak bersisa.Tak lama ayah
suaminya meninggal dunia. Sebagai anak pertama, suaminya tak mau lama
lama berduka.Usaha keluarga kembali dibuka.Ternyata tak mudah.Zaman
berganti sudah. Order semakin payah. Power tak ada. Maklum ayahnya sudah
tiada. Sementara, biaya hidup terus mendera.Tak ada cara.Satu persatu
pusaka sang ayah berpindah.Harta warisan tergerus bagai kampung terkena
bencana. Sementara anaknya terus bertambah dan perlu biaya.

Masa-masa indah punah sudah. Sepuluh tahun pernikahan seperti tak
membawa berkah. Mereka pun harus mengungsi ke kontrakan di pinggir kota.
Tragisnya, suaminya semakin kehilangan gairah.Terjebak dalam jurang
putus asa. Tak tahu harus berbuat apa untuk menghidupi keluarga. Harapan
dan sandaran masa depannya makin tak berdaya. Sampai akhirnya siang
tadi. Pusaka satu satunya, lencana emas ayah sang suami harus dilego ke
Pasar Bekasi. Hidup harus dijalani. Jika tidak, ia, anak-anaknya, dan
suaminya akan mati. Suaminya hanya bisa menangis menyesali diri. Tanpa
bisa mencari solusi. Bulan demi bulan sudah dilalui dengan bantuan kanan
kiri.

Pinjam sana pinjam sini. Dua bulan terakhir ini mereka dihidupi mantan
officeboy sang suami yang menjadi TKI di luar negeri. Beberapa kali
mantan officeboy itu mengabari bahwa di tempatnya bekerja membutuhkan
banyak ahli. "Sebaiknya bapak datang ke sini, bergabung pada kami, siapa
tahu ada rezeki,"tulisnya dalam surat bersampul putih. Sang mantan
officeboy juga mengabari bahwa dirinya sudah menjadi pengawas di proyek
bangunan tinggi.

"Dari pada nganggurdidalamnegeri,ayo ke Abu Dhabi,"ajaknya lagi.
Perempuan itu pun sudah berkali-kali menyuruh suaminya pergi mengadu
rezeki. "Aku sesungguhnya berat hati, tapi hidup kita tetap perlu
solusi. Tolong pikirkan ekonomi kami,"ujar sang istri. Lelaki itu tak
ada reaksi. Ia bagai orang depresi.Tak peduli kanan kiri. Tak peduli
pada anak istri.Perempuan itu mencoba memahami situasi sang suami. Meski
berat tapi dia kuatkan hati. Bersabar menahan diri.Hidup susah seperti
ini sudah ia jalani.

Saat ia kecil, ayahnya pun didera kesulitan ekonomi,saban hari.Tapi ia
tak tega hati melihat anak anaknya menderita seperti ini. Jam makan tak
pernah pasti. Bahkan si sulung terancam tak bisa sekolah lagi. Dengan
menyabarkan diri, diam-diam dia mencari solusi menjadi penyanyi di
berbagai kafe maupun tempat resepsi.Terkadang menjadi agensi jasa dan
asuransi.Akibatnya, dia sering pulang malam hari. Hingga suatu saat
menjelang dini hari, suaminya memaki ketika melihatnya baru kembali.

Inilah pertama kali mereka saling memaki. Ia menangis sejadijadi sampai
pagi. Ia protes dalam hati, kenapa jalan hidupnya sepahit ini. Apakah
sang suami tak menyadari, semua ini dia lakukan sebagai solusi mengatasi
kesulitan ekonomi? Namun akhirnya ia menyadari, sebagai istri memang tak
eloklah kalau pulang dini hari. Ia pun minta maaf pada sang suami.
Dipeluknya lelaki itu berkali-kali. Sudah lama mereka tak berpelukan
seperti ini. Kesulitan ekonomi telah membuat jarak antara mereka sebagai
suami istri. Ia baru menyadari betapa tenangnya jika merebahkan diri di
dada sang suami,apalagi dalam kondisi sesulit ini.

Kembali dipeluknya sang suami. Lelaki itu hanya berdiam diri tanpa
ekspresi. "Mas, ayo dong cari kerja lagi,"rayunya manja. "Kerja apa di
zaman seperti ini,"ketus suaminya. "Apa saja, yang penting halal, di
kantor teman-teman kekatau jadi sopir taksi". "Supir taksi?? Mosok
insinyur luar negeri jadi supir taksi," ketus suaminya lagi. "Ya, ndak
apa-apa toh, yang penting halal, kalo ndak ikut Solihin jadi TKI ke Abu
Bhabi". "Mosok bos minta kerja ke mantan officeboy" "Lho sudah dua bulan
ini, biayahidupkitadari AbuDhabi" "Sudah...sudah, kamu sebagai istri
ndak bakalan ngerti,"ketus sang suami sambil pergi. Perempuan itu hanya
bisa menangis dalam kondisi seperti ini.

Dia tak mau menyakiti hati sang suami. Ia senantiasa mencoba mengerti
dan memahami. Dia begitu mencintai lelaki ini. Cinta pertamanya yang
menjadi cinta sejati,cinta mati. Sesulit apa pun hidup akan dia
hadapi.Hanya, ia tak tega melihat anak anaknya ikut menderita seperti
ini.Tak ada tempatnya mengadu diri. Seperti biasa, setiap kali ada
masalah,perempuan ini lari ke makam ayah sang suami. Ia menangis sejadi
jadi dan bicara sendiri menghumbar duka diri. Seolah pemilik makam
mendengarkan semua ini.

Setelah itu ia membersihkan makam. Dan sebelum pulang, ia mampir ke
pohon kamboja tempat pertama kali ia dicium lelaki itu,tempat namanya
dan nama lelaki itu diabadikan dalam simbol hati. Setiap kali
menyaksikan semua ini hatinya bergetar. Hatinya luluh. Kemarahannya
mencair. Cintanya pada lelaki itu kembali bergelora dan mencengkeram
hatinya kuat,kuat sekali. Lelaki itu masih menangis. Tanpa isak. Hanya
air mata terus meleleh di pipi. Perempuan ini mencoba memandang mata
lelaki itu.

Mata yang dulu menjadi ciri khas lelaki ini. Mata yang selalu
memesonanya sebagai perempuan.Mata yang dulu selalu menebar gelora
samudera cinta. Mata yang kerap membuat perempuan ini hanyut dalam
lamunan rindu. Tapi,semua keindahan itu telah lenyap.Tatapan mata lelaki
itu dirasakannya sudah dilumuri duka.Depresi sang suami telah membunuh
segalanya. "Mas, aku mohon maaf sudah menjual lencana bapak," ujar
perempuan itu sambil memeluk suamimya. Lelaki itu menggeleng.

"Ini bukan salahmu. Aku yang telah gagal mempertahankannya. Lencana emas
itu barang kebanggaan bapak, kebanggaannya sebagai putra daerah yang
pernah memimpin kota ini. Aku telah gagal mempertahankannya,
mempertahankan sisa-sisa kebanggaan bapak". Lelaki itu kembali
menitikkan air mata. Menangis tanpa isak. Istrinya diam, memeluknya
erat-erat. Bekasi sudah gelap ketika perempuan itu tiba di rumah.Ia
dapati anak-anaknya belum mandi. Wajah mereka pucat pasih. Bagai ayam
kehilangan induk.Tak ada tangis.Agaknya anak-anak itu sudah kebal dengan
penderitaan yang mendera.●

Bekasi akhir Syawal 2011
Oleh: Neta S Pane

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/448620/

--
"One Touch In BOX"

To post : koran-digital@googlegroups.com
Unsubscribe : koran-digital-unsubscribe@@googlegroups.com

"Ketika berhenti berpikir, Anda akan kehilangan kesempatan"-- Publilius Syrus

Catatan : - Gunakan bahasa yang baik dan santun
- Tolong jangan mengiklan yang tidak perlu
- Hindari ONE-LINER
- POTONG EKOR EMAIL
- DILARANG SARA
- Opini Anda menjadi tanggung jawab Anda sepenuhnya dan atau
Moderator Tidak bertanggung Jawab terhadap opini Anda. -~----------~----~----~----~------~----~------~--~------------------------------------------------------------
"Bersikaplah sopan, tulislah dengan diplomatis, meski dalam deklarasi perang sekalipun seseorang harus mempelajari aturan-aturan kesopanan." -- Otto Von Bismarck.
"Lidah orang berakal dibelakang hatinya, sedangkan hati orang dungu di belakang lidahnya" -Ali bin Abi Talib.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar