Selasa, 13 Desember 2011

[Koran-Digital] MUDJI SUTRISNO: Dilema: Simalakama

Dilema: Simalakama PDF Print
Wednesday, 14 December 2011
Pengertian "dilema" ada pada situasi ketika orang harus melakukan
pilihan sikap atau putusan (utamanya moral: yang menyangkut baik
buruknya seseorang dan menentukan kualitas pribadinya) di mana tindakan
memilih yang satu sama sulitnya dengan pilihan tindakan keduanya.

Dilema menaruh situasi "bingung memilih" lantaran akibat-akibat
pilihannya sama parah atau sama bobot. Pepatah kita menyatakan dengan
gemilang soal dilema ini,"buah simalakama: memilih yang satu bapak mati,
memilih yang kedua si ibu mati." Dilema ini mengisyaratkan keadaan
pilihan putusan hidup yang tidak mudah lantaran ada dua syarat yang
harus dipenuhi. Pertama,orangnya mesti paham apa itu nilai.

Dalam arti ini,nilai, adalah "apa yang dipandang berharga dalam hidup
ini dan layak dihayati untuk kesejahteraannya dan sesamanya". Nilai
hanya akan tampil keluar dalam wujud nyata aksi atau tindakan. Maka
diskusi mengenai nilai adalah wacana abstrak karena seharusnya tidak
diwacanakan, tetapi dilakukan dan dihayati dalam hidup. Kedua,berada
dalam situasi dilematis; simalakama, orang diandaikan menjalaninya dalam
tahap-tahap menimbang cermat dengan budi dan hati (baca nurani) lalu
mengambil putusannya dan kemudian mengevaluasi setelahnya.

Di sinilah "dilema" mengandaikan penghayatan hidup ini sebagai sebuah
"proses'. Situasi dilematis sebenarnya mengungkapkan bahwa pilihan moral
hidup manusia itu secara nyata tidak bisa dikalkulasi secara
hitunghitungan matematis.Timbangannya bukanlah hitam dan putih namun
"abu-abu". Apa artinya? Maksudnya, realitas hidup nyata kita
sesungguhnya adalah "abu-abu".

Kenyataan ini mesti diterima dahulu untuk bisa menemukan jalan keluar
dilematis.Ketika realitas itu abu-abu maka tugas setiap adalah setiap
kali dalam aksinya berusaha semakin membuat lebih banyak putihnya dan
semakin mengurangi hitamnya dalam keabu-abuan kenyataan moral nyata kita.

Bila hitam menjadi metafora 'yang jahat' dan putih menjadi metafora
'yang baik' maka usaha tiap orang Indonesia dalam kenyataan keabu-abuan
sehari-hari mestinya mengusahakan lebih banyak 'yang putih' agar
abu-abunya hidup menjadi lebih putih. Di sini, personifikasi dan
metafora yang jahat diungkapkan dalam setan atau si jahat.

Memilih

Mengapa kejahatan terus ada di dunia ini kendati tidak kurang-kurang
agama dan kata bijak diajarkan? Jawab lugasnya, karena adanya si jahat
yang merusak tatanan cipta yang oleh Tuhan atau Allah dalam keyakinan
agama dimaksud untuk membahagiakan ciptaan-Nya, manusia, asal ia
menuruti jalan dan petunjuk benar dari Allah.

Bila ia menuruti si jahat maka ia akan tersesat. Barangkali inilah
sebabnya, teks suci mau menjelaskan dengan bahasa narasi sumber dan asal
kejahatan yaitu masuknya "setan atau si jahat" yang sudah merusak sejak
awal di taman penciptaan. Barangkali itu pula Freud yang menemukan
psikoanalisa atau analisa ketidaksadaran manusia merangkumkan dua gerak
kebudayaan yang satu sama lain bertentangan.

Yang satu adalah budaya cinta kehidupan dengan motor sumbernya yaitu
eros.Sedang yang kedua adalah death culture: budaya thanatos yang
destruktif merusak kehidupan. Inikah personifikasi sang perawat hidup
dalam Wisnu? Dan sang perusak hidup dan ciptaan dalam Syiwa? Lalu,
ketika dua energi eros dan thanatos yang menggerakkan kebudayaan yang
satu menumbuhkannya dan yang kedua mematikannya, kita dalam membahas
situasi dilema di atas menjadi lebih mudah dicerahkan dan menemukan
pemahaman mendalamnya.

Apa itu? Yaitu memilih adalah sebuah proses. Ia bukan jalan pintas atau
instan.Memilih adalah juga bukan lompatan mendadak apalagi dalam proses
berkeputusan dalam berbangsa dan bernegara yang majemuk suku, agama,
identitas unik masingmasing. Karena itu, dalam pilihan dengan pertaruhan
hidup-matinya sebuah bangsa, terletak persoalan penting untuk
pilihan-pilihan dilematis yaitu "tanggung jawab".

Bila belum lama ini, sebuah proses pemilihan seleksi dan pemilihan ketua
KPK atau sederet panitia seleksi untuk anggota- anggota yang mestinya
penuh tanggung jawab mengemban amanah bangsa dan suara rakyat yang
merupakan suara Tuhan, pertanyaan kritis gugatan kita adalah: atas nama
siapakahAnda, wakil-wakil rakyat, melakukan proses pemilihan? Atas nama
"nilai" sebagai yang baik untuk bangsa ataukah kepentingan Anda sendiri
berikut agenda-agenda yang dipolitisasi yang ujung-ujungnya pasti akan
cepat tertemukan dan tercium?

Apakah Anda pembawa budaya mati atau pembawa budaya hidup untuk
sejahteranya bangsa ini? Ketika simalakama berada di depan Anda antara
memakan buahnya Anda ditendang dari partai dan tidak memakan buahnya
Anda akan kalah dan tak mampu memenuhi hasrat kekuasaan untuk
menang,maka di situ pulalah, saat-saat ini kita jadi belajar.Dua
pelajaran pentingnya yaitu yang kesatu, bahwa proses memilih dalam
situasi dilematis mengandaikan kematangan pertimbangan budi dan nurani
para wakil ini.

Dan kedua pengandaian kemampuan menanggungjawabi pilihannya sebagai
"proses kultural": menimbang apa yang baik, apa yang benar, dan apa yang
indah dalam kehidupan berbangsa ini lalu tidak memberi celah sekecil apa
pun untuk si jahat masuk dan merusaknya. Oleh karena itu deskripsi nyata
saat pemilihan ketua KPK mutakhir manakala dalam pemilihan untuk calon
pemimpin KPK suara 55 samasama ditempati oleh Bambang Widjojanto dan
Abraham Samad.

Namun ketika proses pemilihan dilakukan untuk memilih ketua KPK, angka
suara Abraham Samad mutlak 55 beda jauh separuh dengan Bambang
Widjojanto. Sebuah contoh nyata di depan kita antara proses
politik.Pertanyaannya: dilematiskah? Kemudian nomor urutan kategorisasi
dari yang diunggulkan oleh Panitia Seleksi Calon Pemimpin KPK (yang sama
sekali tidak diambil pertimbangannya oleh para wakil rakyat ini) hanya
menandai saja dan menegaskan "garis merah tebal"

bahwa pada ujungnya proses pemilihan direduksi hanya jadi proses politis
dengan kepentingan politis alias kekuasaan. Kita buktikan dengan edar
waktu ke depan gaduh riuh politik kuasa yang menang kalah untuk
kepentingan partai.Lalu di mana pertanggungan jawab amanah pemilu
titipan suara rakyat yang diwakilkan pada pundak Anda-Anda? ●

MUDJI SUTRISNO SJ
Budayawan.

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/451612/

--
"One Touch In BOX"

To post : koran-digital@googlegroups.com
Unsubscribe : koran-digital-unsubscribe@@googlegroups.com

"Ketika berhenti berpikir, Anda akan kehilangan kesempatan"-- Publilius Syrus

Catatan : - Gunakan bahasa yang baik dan santun
- Tolong jangan mengiklan yang tidak perlu
- Hindari ONE-LINER
- POTONG EKOR EMAIL
- DILARANG SARA
- Opini Anda menjadi tanggung jawab Anda sepenuhnya dan atau
Moderator Tidak bertanggung Jawab terhadap opini Anda. -~----------~----~----~----~------~----~------~--~------------------------------------------------------------
"Bersikaplah sopan, tulislah dengan diplomatis, meski dalam deklarasi perang sekalipun seseorang harus mempelajari aturan-aturan kesopanan." -- Otto Von Bismarck.
"Lidah orang berakal dibelakang hatinya, sedangkan hati orang dungu di belakang lidahnya" -Ali bin Abi Talib.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar