Senin, 12 Desember 2011

[Koran-Digital] M Bashori Muchsin: PNS Muda dan Berhala Uang

PNS Muda dan Berhala Uang
M Bashori Muchsin Direktur Program Pascasarjana Universitas Islam Malang

PUSAT Pelaporan dan Analisis Tran saksi Keuangan (PPATK) mengungkap 10
pegawai negeri sipil (PNS) muda yang memiliki rekening miliaran rupiah.
Untuk PNS golongan IIIB sampai IV, rekening itu dinilai tak wajar.
Wakil Kepala PPATK Agus Santoso menjelaskan para PNS muda itu sangat
potensial bisa `menggiring' uang masuk ke rekening mereka. Mereka duduk
di kursi strategis di lingkungan pemerintahan, seperti menjadi bendahara.

Ketidakwajaran PNS muda itu terlihat dari angka di rekening yang tak
sejalan dengan pendapatan yang diperolehnya.
Sebagai contoh, misalnya gaji satu bulan seorang pegawai katakanlah Rp3
juta. Namun, dia bisa mengisi rekeningnya tiap bulan sebesar Rp10 juta
atau Rp25 juta. Kondisi itu paradoksal dan itu tentulah meninggalkan
pertanyaan tidak wajar, dari mana dan bagaimana PNS muda itu bisa
mendapatkannya?
Modus operandi penimbunan uang oleh PNS muda itu terjadi di setiap akhir
anggaran atau tutup tahun. Ditengarai, kalau akhir tahun, banyak
bendahara (PNS muda) itu yang bisa me mindahkan dana proyek ke rekening
pribadi mereka.

Pemindahan rekening, se lain sebagai wujud gambaran birokrasi dan
diskresi yang anomali atau `sakit', menunjukkan adanya keinginan besar
dari PNS tersebut untuk `mempermainkan' uang yang hak pengelolaan
uangnya dipercayakan kepada mereka.

PNS muda berani mempermainkan atau mengorup uang negara (baik bersumber
dari APBD maupun APBN), di antaranya selain karena sistem birokrasi yang
lembek, rapuhnya mentalitas, dan kecenderungan pembenaran dan akselerasi
keserakahan menjadi borjuis muda, juga masih kuatnya model
pencengkeraman dari segelintir elite birokrasi yang menjadikan PNS muda
sebagai objek yang dimainkan dalam lingkaran setan yang mereka langgengkan.

Dalam lingkaran setan yang bertali temali dengan akar keserakahan atau
nafsu borjuisme itu, PNS muda terperosok dalam pembenaran modus operandi
bercorak `penganibalan' atau penjarahan hak kekayaan rakyat. Model
demikian itu tak beda dengan ide permisifisme yang dipasarkan atau
disemaikan Nicollo Machiavelli bertajuk `het doel heiling de middelen'
(cara apa pun halal dilakukan, asalkan tujuan tercapai).

Nabi Muhammad SAW juga berpesan, "Jika tidak ingin hancur, janganlah
menyembah emas, janganlah menyembah dinar, dan janganlah menyembah
kemegahan (kekuasaan/ keningratan)."

Pesan tersebut mengisyaratkan didikan eksoteris (menyentuh ke
nilai-nilai keberagamaan) agar manusia atau PNS muda dalam hidupnya tak
berkiblat pada emas, uang, dan gaya hidup (status sosial, kemegahan, dan
kedudukan), tetapi tetap berkiblat pada spiritualitas profetis,
menyerahkan total jati dirinya kepada-Nya.

PNS muda diingatkan beliau agar `berahi' dan ambisi yang
diimplementasikan atau disejarahkan tidak dibiarkan larut dalam
keterjajahan `mazhab' kapitalistis, gaya hidup dan kedudukan yang
berpola menghalalkan segala macam cara demi borjuisme. Dalam hidup ini,
PNS muda diingatkan agar tak tergelincir dalam memberhalakan kekayaan,
mengultuskan kemegahan, dan diperbudak lebih-lebih oleh kekuasaan.

Kekuasaan memang menjadi magnet yang bisa membuat PNS muda yang
mengendarainya silau memujanya atau menjadikannya sebatas sebagai
`keranjang' mengail keuntungan sebesar-besarnya. Kekuasaan bisa
menggiring PNS muda sebagai jalan mengamankan beragam kompilasi deviasi
struktural atau malapraktik birokrasi dengan cara mengorbankan hak-hak
rakyat.

Memang menjadi sangat fatalistis dan ironis jika yang terlena dalam
pemberhalaan itu ialah elite-elite strategis seperti PNS muda. Pasalnya
mereka sebenarnya dipercaya menjadi penyejahtera dan pembebas.
Mau siapa lagi yang bisa mem bumikan kesejahteraan, kalau PNS muda sudah
tergelincir menjadi bagian dari mesin korupsi birokrasi atau birokrasi
anomalistis?
Manusia paling hina di muka bumi dan di hadapan Tuhan ialah manusia yang
sebenarnya bisa menjaga kecerdasan nurani dan kebeningan moralnya,
tetapi menyerahkan kepintaran kecerdasan nurani, dan kebeningan moralnya
itu ke dalam tirani yang dibuatnya sendiri.

Manusia atau PNS muda yang tergelincir demikian itu jelas akan hancur,
ibarat pepatah siapa menabur angin, akan menuai badai. Badai kehancuran
keberdayaan ekonomi dan pemerataan kesejahteraan sulit dibendung,
prahara kemiskinan yang mengundang lahirnya ekstremitas dan perlawanan
masif tak akan gampang dicegah tatkala PNS muda yang seharusnya jadi
penggali kebenaran (mujtahid), penegak atau pejuang kebenaran (mujahid),
dan pembaru (mujadid) justru menyukai kecongkakan atau berbagai pola
pengorupsiannya.

Mereka (PNS muda) memilih jalan yang secara materiil menguntungkan dan
membuat mereka bisa menempati hierarkis elite kekuasaan yang lebih
tinggi, tetapi apa yang diperolehnya justru menjerumuskan posisi mereka
dalam pakem inferiorisme moral dan kehancuran citra diri, korps, serta
jati diri negara. Mereka menjatuhkan diri dalam opsi `menghalalkan'
jurus menihilkan amanat atau mengorupsi elan moral dan sakralitas
jabatannya.

Komunitas PNS muda memang dapat terbaca dalam keseharian bahwa mereka
sering kali asyik terlena dalam buaian romantisme kekuasaan dan
perburuan kekayaan yang diberhalakan, yang boleh jadi targetnya mengisi
pundi-pundi kekayaan diri, kelompok, dan kekuatan eksklusif yang
memayungi dan membesarkan mereka. Mereka terus jadi pemburu dan
pengembang kriminalisasi dan bukan pembaru profetis dan pembumi
nilai-nilai pembebasan berbasis penyejahteraan.
Mereka berani menerima risiko yang terburuk sekalipun, seperti dipenjara
atau dimasukkan ke tahanan, asalkan ambisi mereka terpenuhi.

Kekayaan yang diburu PNS muda melalui kendaraan kursi atau jabatan yang
diamanatkan kepada mereka sudah terbukti hanya menghadirkan beragam
petaka di Bumi Pertiwi ini, minimal petaka di lingkaran institusi dan
`zona amanat kerakyatan' mereka, padahal seharusnya mereka berkewajiban
memproduksi atmosfer yang menyejahterakan dan memanusiakan rakyat.

Kalau sosok birokrasi atau pengemban profesi dari PNS muda masih atau
semakin banyak mengisi jagat negeri ini, berbagai jenis petaka ekologis
hingga struktural tidak akan pernah sepi dari Republik ini. Masyarakat
yang menjadi korban bencana alam, misalnya, atau tragedi kemiskinan
bukannya diperlakukan seba gai proyek pemanusiaan manusia atau panggilan
amanat struktural mereka, melainkan s dibiarkan dan diperlakukan d
setengah hati dalam ranah aplikasi gerakan manajemen pemedulian mereka.

Stigmatisasi sebagai the biggest moslem community in the world
barangkali tak lagi layak melekat dalam diri manusia atau PNS muda
Indonesia jika perilaku ke depan masih memberhalakan kekuasaan (jabatan)
dan menyerahkan keberdayaan intelektualitas, serta integritas moral
mereka kepada ambisi mendulang sebanyakbanyaknya. Bukti pemberhalaan
kekuasaan ialah perlakuan terhadap jabatan (profesi) yang dijadikan
sebagai sumber membangun kemegahan diri, kroni, dan kerabat-kerabat.

Idealnya kekuasaan atau jabatan di lingkaran birokrasi adalah amanat
berbasis kerakyatan, dan bukan jalan memproduksi khianat yang
dimenangkan dan dilanggengkannya. Sayangnya, kekuasaan yang diamanatkan
masyarakat lewat negara justru ditempatkan sebagai segmentasi
`industrialisasi' untuk memproduksi banyak bencana atau melahirkan
petaka terus-menerus (mulai bencana individual, struktural, dan alam).
Jika model kekuasaan demikian diberikan tempat berdaulat dan mengabsolut
oleh PNS muda, ke depan penderitaan masyarakat pun akan terus berlanjut
dan berlapis-lapis. Dalam ranah demikian, kehadiran negara yang
direpresentasi dalam diri PNS muda tak lebih hanya sebagai penindas bagi
rakyatnya, dan bukan pembebas, pemberdaya, dan pencerah.

http://pmlseaepaper.pressmart.com/mediaindonesia/PUBLICATIONS/MI/MI/2011/12/13/ArticleHtmls/PNS-Muda-dan-Berhala-Uang-13122011014003.shtml?Mode=1

--
"One Touch In BOX"

To post : koran-digital@googlegroups.com
Unsubscribe : koran-digital-unsubscribe@@googlegroups.com

"Ketika berhenti berpikir, Anda akan kehilangan kesempatan"-- Publilius Syrus

Catatan : - Gunakan bahasa yang baik dan santun
- Tolong jangan mengiklan yang tidak perlu
- Hindari ONE-LINER
- POTONG EKOR EMAIL
- DILARANG SARA
- Opini Anda menjadi tanggung jawab Anda sepenuhnya dan atau
Moderator Tidak bertanggung Jawab terhadap opini Anda. -~----------~----~----~----~------~----~------~--~------------------------------------------------------------
"Bersikaplah sopan, tulislah dengan diplomatis, meski dalam deklarasi perang sekalipun seseorang harus mempelajari aturan-aturan kesopanan." -- Otto Von Bismarck.
"Lidah orang berakal dibelakang hatinya, sedangkan hati orang dungu di belakang lidahnya" -Ali bin Abi Talib.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar