Kamis, 15 Desember 2011

[Koran-Digital] KHUDORI: Kelangkaan Pangan ala Spekulan Wall Street

Kelangkaan Pangan ala Spekulan Wall Street PDF Print
Friday, 16 December 2011
Dua abad lalu, saat penduduk belum semiliar jiwa, Thomas Malthus tahun
1798 mengingatkan bahwa bumi tidak akan mampu memberi makan. Per 31
Oktober lalu, bumi telah dihuni 7 miliar jiwa, tapi mereka masih bisa makan.

Sepertinya dugaan Malthus meleset sehingga pendeta dan matematikawan itu
jadi olok-olok.Apakah "batas Malthus" dibuang ke tempat sampah? Sudut
pandang Malthus tidak berbeda dari pandangan Adam Smith di jilid pertama
The Wealth of Nations. "Tidak seorang pun yang berakal sehat meragukan
jumlah penduduk harus berada dalam batasansumberdaya.

Kapasitas masyarakat dalam meningkatkan sumber daya dari batas itu juga
sangat terbatas,"kata Tim Dyson,profesor kependudukan di London School
of Economics, Inggris. Pertumbuhan populasi masih tinggi dan harapan
hidup membaik.Pada 1914,penduduk dunia 1,6 miliar dan pada 2025
diperkirakan jadi 8 miliar. Tahun 1900, bayi lelaki dan perempuan bisa
hidup hingga usia 46–48 tahun.

Kemajuan ilmu pengetahuan, pelayanan kesehatan, dan kualitas pangan
membuat harapan hidup mencapai 70 tahun.Di sisi lain, luas lahan
pertanian kian sempit, terdesak keperluan nonpertanian. Bagaimana
meningkatkan produksi pangan saat pestisida mencemari sungai, danau, dan
air? Bisakah produksi digenjot saat terjadi erosi genetika intensif,
salinitas mencemari sawah,lahan rusak, dan hanya tersedia sedikit air
irigasi?

Bisakah mendongkrak produksi pangan saat perubahan iklim dan cuaca
semakin sulit diprediksi sehingga pola tanam kacau-balau? Untuk bisa
memberi makan 9,5 juta miliar pada 2050,dunia harus meningkatkan
produksi pangan sebesar 70% (FAO, 2011). Jika tidak, akan terjadi
kelaparan massal. Bukankah saat ini ada sekitar semiliar manusia dengan
perut lapar saat pergi ke tempat tidur?

Kelaparan masif ini sering kali dimanipulasi secara sesat dengan
mengatakan terjadi kelangkaan pangan di planet bernama bumi. Dunia saat
ini telah menghasilkan makanan yang bisa memberi makan 1,5 kali jumlah
penduduk bumi. Sejumlah studi menunjukkan praktik-praktik pertanian
berkelanjutan bahkan bisa memberi makan 10 miliar jiwa, populasi puncak
planet ini (http://www.foodfirst.org/en/n ode/1778).

Suplai pangan yang melimpah itu tidak mengalir pada yang memerlukan,
tapi menuju kepada mereka yang berduit. Kemiskinan membuat warga di
negara-negara miskin tak bisa mengakses pangan, terutama ketika harga
pangan melambung tinggi. Argumen harga pangan melambung karena lonjakan
permintaan dari China dan India,

dua negara berpenduduk besar, telah misleading alias tidak benar.
Sementara argumen lain mengenai tekanan pasar dari sisi pasokan tidak
mampu menjelaskan volatilitas ekstrem dan lonjakan harga di pasar pangan
global dalam beberapa tahun terakhir, terutama tahun 2007–2008.

Bahan Spekulasi

Volatilitas ekstrem dan lonjakan harga pangan adalah hasil dari fenomena
baru: penimbunan besar-besaran produk derivatif komoditas pangan.
Menurut Executive Director Food First Eric Holt Gimenez (2011), ini
produk keuangan khusus yang dikreasi lembaga keuangan kuat. Dimotori
Wall Street, para investor institusional, baik bank investasi, hedge
fund, reksa dana, dana pensiun maupun hibah universitas, berebut menimbun.

Cara kerjanya, pertama, investor institusional mengubah komoditas pangan
jadi aset spekulatif. Keuntungan spekulatif, bukan permintaan riil, jadi
pembimbing harga pangan. Kedua, investor kuat melobi dan menyuap anggota
parlemen guna menderegulasi pasar keuangan dengan membebaskan mereka
dari tanggung jawab publik. Ketiga, investor institusional menimbun
produk derivatif dengan memperjualbelikan secara berulang-ulang sehingga
menciptakan kelangkaan pangan (semu) di pasar berjangka.

Hasil dari serangkaian ini adalah harga meroket karena investor
institusional telah menciptakan kejutan permintaan sehingga terjadi
kelangkaanbuatan( semu) yangsangat besar di pasar pangan global. Hal itu
terjadi pada rentang 2007–2008 saat krisis pangan mencapai puncak dan
berulang pada 2010.Pada periode itu harga sejumlah pangan pokok seperti
beras,gandum,dan jagung naik dua-tiga kali lipat.Kejutan permintaan itu
menciptakan ratusan juta barisan warga miskin baru.

Sebaliknya,korporasi multinasional menangguk keuntungan besar lewat
spekulasi. Misal, pada 2008 spekulasi berkontribusi pada sepertiga
(USD1,5 miliar) laba Goldman Sachs (The Wall Street Journal,
19/11/2008). Volatilitas ekstrem dan lonjakan harga pangan akibat
spekulasi memiliki ramifikasi rumit karena spekulan bukan perusahaan
guram, tapi korporasi transnasional (TNCs) yang kekuatan kapitalnya jauh
melampaui entitas sebuah negara.

Misalnya, per Maret 2008, dua korporasi (Morgan Stanley dan Goldman
Sachs) di pasar komoditas menguasai 1,5 dari 11 miliar bushelkontrak
berjangka jagung di Chicago Board of Trade (The Brock Report, 2008).
Kedua perusahaan mendominasi pasar melalui penguasaan commodity index
funds––gabungan dari 24 komoditas pertanian dan nonpertanian dalam satu
instrumen investasi yang sering disebut "perjudian" harga (Suppan, 2009).

Pada 2006–2008, perusahaanperusahaan yang tidak diatur (unregulated
funds) ini mengontrol 33% dari seluruh kontrak berjangka komoditas
pertanian (Christopher,2008). Ketika tenang,spekulan nyaman membiakkan
investasi di pasar finansial: uang, modal, dan utang. Saat bergejolak,
mereka berhamburan dari sarang membawa portofolio investasi.Mereka
mencari tempat yang lebih aman untuk mengeramkan investasi, salah
satunya di pasar komoditas.

Menurut Bank of International Settlements,investasi di pasar komoditas
(di luar emas dan logam mulia) pada 2002 baru USD770 miliar, naik USD7
triliun pada Juni 2007, dan meledak jadi USD12,6 triliun pada Juni 2008.
Sampai saat ini belum ada aturan ketat yang membatasi gerak perusahaan
untuk berspekulasi di pasar komoditas.Tanpa aturan ketat, spekulasi di
pasar komoditas akan membuat harga pangan tidak stabil karena kelangkaan
semu.Para pemrotes Occupy Wall Street tidak salah menduduki Wall Street
karena penggerak pasar keuangan itu menciptakan malapetaka.●

KHUDORI
Anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat,
Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI)

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/452085/

--
"One Touch In BOX"

To post : koran-digital@googlegroups.com
Unsubscribe : koran-digital-unsubscribe@@googlegroups.com

"Ketika berhenti berpikir, Anda akan kehilangan kesempatan"-- Publilius Syrus

Catatan : - Gunakan bahasa yang baik dan santun
- Tolong jangan mengiklan yang tidak perlu
- Hindari ONE-LINER
- POTONG EKOR EMAIL
- DILARANG SARA
- Opini Anda menjadi tanggung jawab Anda sepenuhnya dan atau
Moderator Tidak bertanggung Jawab terhadap opini Anda. -~----------~----~----~----~------~----~------~--~------------------------------------------------------------
"Bersikaplah sopan, tulislah dengan diplomatis, meski dalam deklarasi perang sekalipun seseorang harus mempelajari aturan-aturan kesopanan." -- Otto Von Bismarck.
"Lidah orang berakal dibelakang hatinya, sedangkan hati orang dungu di belakang lidahnya" -Ali bin Abi Talib.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar