Sabtu, 10 Desember 2011

[Koran-Digital] Firmanzah: Rethinking Indonesia's Development Path (1)

Firmanzah
Rethinking Indonesia's Development Path (1)


Minggu, 4 Desember 2011 21:16 WIB

Berbagai proyeksi ekonomi Indonesia di masa mendatang yang dikeluarkan
baik pengamat maupun lembaga-lembaga pengkajian menunjukkan kabar yang
cukup menggembirakan. Pertumbuhan ekonomi Indonesia diprediksi akan
tetap tumbuh di atas 5 persen, bahkan sebagian memproyeksikan di atas 6
persen di tahun 2012. IMF menunjukkan pertumbuhan ekonomi Indonesia 2012
akan berada pada titik 6,5 persen, sedangkan World Bank memprediksikan
ekonomi Indonesia 2012 tumbuh sebesar 6,3 persen .

Proyeksi pertumbuhan ini tentunya lebih besar dari pertumbuhan ekonomi
dunia yang berada pada level 4-4,5 persen akibat kemerosotan
negara-negara maju, khususnya zona Eropa. Bahkan lembaga kerja sama
ekonomi dan pembangunan (OECD) memprediksi pertumbuhan ekonomi Indonesia
untuk periode 2012-2016 mencapai 6,6 persen dan merupakan pertumbuhan
tertinggi di antara negara ASEAN lainnya pada periode yang sama
(pertumbuhan ASEAN diprediksikan OECD pada angka 5,6 persen).

Tahun 2012, OECD memprediksi pertumbuhan ekonomi Indonesia berada pada
level 6,6 persen. Kabar yang menggembirakan ini tentunya bukanlah tanpa
tantangan dan memerlukan kehati-hatian mengingat petumbuhan ekonomi
hanya merupakan salah satu indikator yang dijadikan acuan disamping
indikator lainnya. Pertumbuhan ekonomi tidak serta-merta menjadi rujukan
utama dalam pembangunan nasional karena berpotensi bias tanpa adanya
penelusuran lebih dalam terkait pertumbuhan itu sendiri. Misalnya sumber
pertumbuhan dari mana saja? Bagaimana distribusi pertumbuhan
antar-wilayah? Apakah pertumbuhan tersebut berkontribusi pada ekonomi
riil? Dan masih banyak pertanyaan lainnya yang memerlukan kajian lebih
dalam.

BPS beberapa waktu lalu mengumumkan pertumbuhan ekonomi Indonesia sejak
tahun 2001 ini didorong oleh sektor non-tradable, seperti keuangan dan
jasa lainnya. Sektor non-tradable ini dalam kurun waktu 10 tahun tumbuh
lebih tinggi dari pertumbuhan ekonomi nasional. Tahun 2010, pertumbuhan
sektor non-tradable mencapai titik 8,9 persen, sementara sektor tradable
hanya tumbuh 2,86 persen (jauh dibawah pertumbuhan nasional yang sebesar
6,1 persen).

Dengan demikian dapat disimpulkan pertumbuhan ekonomi Indonesia yang
selama ini menjadi buah bibir di kalangan ekonom, bahkan pada
forum-forun dunia, dapat disimpulkan sementara sebagai akibat dari
pergerakan arus modal yang masuk ke negara-negara Asia Pasifik, termasuk
Indonesia. Itu sebabnya pertumbuhan ekonomi yang menggembirakan tidak
hanya dicapai oleh Indonesia, tetapi juga negara-negara lainnya seperti
Malaysia, Thailand, Vietnam, dan negara Asia lainnya. Derasnya arus
modal ke negara-negara Asia Pasifik sebagai reaksi dari para pemegang
modal untuk mengalihkan dananya ke daerah-daerah yang dipandang relatif
aman. Hal ini tentunya bisa menghentikan euforia atas kabar perbaikan
ekonomi Indonesia yang dijelaskan sebelumnya.

Persoalan lain yang dihadapi Indonesia dengan potret perumbuhan di atas
yakni kelambanan sektor riil sebagai akibat dari tidak adanya instrumen
kebijakan yang diarahkan untuk dapat memaksimalkan arus modal yang masuk
ke sektor riil sehingga pertumbuhan sektor tradable jauh dibawah
pertumbuhan ekonomi nasional. Hal ini kemudian menjelaskan mengapa
peringkat Indeks Pembangunan Manusia 2011 di Indonesia menjadi turun.

Sektor tradable, seperti sektor pertanian, kelautan, perikanan,
industri, pertambangan, merupakan sektor strategis yang tidak banyak
mengalami kemajuan jika merujuk dari pertumbuhan di sektor ini.
Sementara data penyerapan tenaga kerja dan distribusi pekerjaan penduduk
Indonesia terbesar pada sektor ini. Hal ini juga menjadi jawaban dari
terkonsentrasinya kekuatan ekonomi pada sekelompok elit ekonomi
berpotensi menciptakan kesenjangan dan ketergantungan ekonomi nasional.

Persoalan kesenjangan terjadi karena konsentrasi yang begitu tinggi
kepemilikan aset, pendapatan dan akses terhadap ekonomi dan keuangan
suatu negara. Ketika kesenjangan pendapatan tidak dapat diselesaikan,
kondisi ini akan sangat rawan munculnya sejumlah persoalan sosial dan
keamanan. Gerakan Occupy Wall Street (OWS) di Amerika Serikat dan
merambah ke sejumlah negara Eropa merupakan salah satu bukti dimana
kesenjangan pendapatan antara kaya-miskin dapat memunculkan persoalan
sosial.

Persoalan kedua muncul dengan adanya konsentrasi tinggi aset dan
kekayaan adalah ketergantungan ekonomi nasional kepada elit ekonomi
nasional. Hal serupa juga ditemukan di Amerika Serikat dan sejumlah
negara Eropa dalam proses bail-out sejumlah korporasi yang salah kelola
(mismanagement). Sejumlah korporasi besar di Amerika Serikat, seperti
AIG dan General Motors, terpaksa di-bail-out untuk menghindari gelombang
PHK karyawan.

Hal ini dilakukan mengingat dampak negatif akibat size perusahaan
tersebut yang sangat vital bagi perekonomian dan kondisi politik di
Amerika Serikat. Hal ini tentunya juga berpotensi mengancam ekonomi
Indonesia tanpa kecermatan dan kejelian untuk mengarahkan pertumbuhan
ekonomi ke sektor riil yang yang menjadi sektor dengan penyerapan tenaga
kerja terbesar dan tentunya terkait dengan kualitas hidup masyarakat
secara lebih luas.

Kesenjangan (disparitas) pendapatan di Indonesia perlu menjadi perhatian
bagi semua pengambil kebijakan nasional. Kelompok miskin dan hampir
miskin di Indonesia masih sangat besar. Mereka sangat rentan terhadap
gejolak peningkatan harga kebutuhan dasar (sandang, pangan dan papan).
Selain itu juga, persoalan disparitas regional antara kawasan Barat
Indonesia (Jawa dan Sumatera) dengan Timur Indonesia (Kalimantan,
Sulawesi, Bali, NTT, Maluku dan Papua) juga masih tinggi. Kontribusi
Jawa dan Sumatera terhadap GDP Nasional sebesar 80 persen.

Berdasarkan paparan di atas, maka pembangunan ekonomi Indonesia ke depan
perlu diarahkan pada penguatan struktur ekonomi nasional, mereduksi
disparitas antar penduduk (rumah tangga), dan antar wilayah. Pembangunan
ekonomi nasional harus didudukkan pada penguatan ekonomi domestik,
integrasi ekonomi nasional menjadi kemutlakan yang perlu segera
dilakukan meyambut ASEAN Economic Community 2015.

Indikator pembangunan Indonesia perlu diperluas untuk menangkap realita
perkembangan pembangunan di seluruh wilayah Indonesia. Untuk itu
Fakultas Ekonomi Unoversitas Indonesia pada 13 Desember 2011 mendatang
akan memberi keterangan pers atas beberapa indikator pembanguna yang
perlu dilakukan dalam upaya memotret kenyataan yang terjadi di
Indonesia, selain penggunaaan indikator tradisional selama ini
(pertumbuhan, inflasi, nilai tukar, dan sebagainya). Alasan alasan
lainnya akan disajikan pada tulisan edisi berikutnya.

Prof. Firmanzah, PhD, Guru Besar dan Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis
University Indonesia

http://www.metrotvnews.com/read/analisdetail/2011/12/04/226/Rethinking-Indonesia-s-Development-Path-1-

--
"One Touch In BOX"

To post : koran-digital@googlegroups.com
Unsubscribe : koran-digital-unsubscribe@@googlegroups.com

"Ketika berhenti berpikir, Anda akan kehilangan kesempatan"-- Publilius Syrus

Catatan : - Gunakan bahasa yang baik dan santun
- Tolong jangan mengiklan yang tidak perlu
- Hindari ONE-LINER
- POTONG EKOR EMAIL
- DILARANG SARA
- Opini Anda menjadi tanggung jawab Anda sepenuhnya dan atau
Moderator Tidak bertanggung Jawab terhadap opini Anda. -~----------~----~----~----~------~----~------~--~------------------------------------------------------------
"Bersikaplah sopan, tulislah dengan diplomatis, meski dalam deklarasi perang sekalipun seseorang harus mempelajari aturan-aturan kesopanan." -- Otto Von Bismarck.
"Lidah orang berakal dibelakang hatinya, sedangkan hati orang dungu di belakang lidahnya" -Ali bin Abi Talib.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar