Selasa, 13 Desember 2011

[Koran-Digital] EDITORIAL Interpelasi Pro-Koruptor

Ulah anggota Dewan Perwakilan Rakyat makin keterlaluan. Bukannya
mendukung upaya pengetatan remisi bagi koruptor, mereka malah
mempertanyakan kebijakan ini. Sebagian politikus Senayan bahkan berupaya
menggalang interpelasi terhadap langkah yang bertujuan mempercepat
pemberantasan.

Rencana interpelasi itu digulirkan setelah pekan lalu Komisi III DPR
meminta penjelasan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Amir Syamsuddin
ihwal surat edaran Dirjen Pemasyarakatan mengenai pengetatan pemberian
remisi. Pengetatan ini dilakukan atas perintah Wakil Menteri Hukum Denny
Indrayana. Edaran ini tidak melarang pemberian remisi, melainkan meminta
agar pemberian remisi bagi terpidana kasus korupsi diperketat.

Bagi sebagian anggota Dewan, perintah ini tak berdasarkan hukum. Mereka
berpatokan pada Peraturan Pemerintah No. 28/2006 yang mengatur
syarat-syarat pemberian remisi. Dalam PP ini, misalnya, diatur bahwa
terpidana korupsi berhak mendapat remisi bila berkelakuan baik dan telah
menjalani sepertiga masa hukumannya. Ketentuan inilah yang oleh Wakil
Menteri diminta diperketat.

Anggota Dewan yang menentang keputusan itu berdalih remisi adalah hak
narapidana. Pengetatan pemberian remisi, menurut mereka, melanggar hak
asasi manusia.

Apalagi soal ini sudah diatur dalam peraturan pemerintah tersebut. Tak
lupa, mereka berdalih dengan mengatakan mereka pun mendukung
pemberantasan korupsi selama sesuai dengan hukum. Sejauh ini, hanya
Partai Kebangkitan Bangsa dan Demokrat yang tidak mendukung rencana
interpelasi tersebut.

Logika politikus pro-interpelasi sungguh aneh. Jika benar menyokong
pemberantasan korupsi, mengapa Dewan tidak setuju remisi bagi koruptor
diperketat? Menyamakan perlakuan terhadap koruptor yang merugikan rakyat
banyak dengan perlakuan untuk pelaku kejahatan biasa justru terasa tidak
adil.

Itu sebabnya, pemerintah tak perlu takut terhadap ancaman itu.
Pemerintah justru harus meneruskan aturan pengetatan pemberian remisi
dengan memperkuat dasar hukumnya. Salah satu yang bisa dilakukan,
merevisi PP No. 28/2006, atau bahkan membuat PP baru yang mengatur
remisi khusus bagi koruptor. Aturan baru ini tak melanggar hak asasi
manusia karena tidak menghapus hak terpidana korupsi, melainkan hanya
memperketat aturan pemberiannya.

Pengetatan itu harus dilakukan untuk menambah efek jera bagi para
koruptor. Korupsi adalah kejahatan luar biasa. Dampak korupsi bukan
hanya kerugian negara, tapi juga terampasnya hak-hak publik karena
anggaran untuk kesejahteraan mereka dikorup. Korupsi juga sangat merusak
karena menggerus kepercayaan publik terhadap pemerintah. Ironisnya,
dengan dampak kejahatan yang begitu merusak, para koruptor kebanyakan
dihukum ringan. Catatan Indonesia Corruption Watch menunjukkan,
rata-rata hukuman bagi koruptor di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi cuma
4 tahun 3 bulan dan di bawah 2 tahun di pengadilan umum.

Selama ini kita sulit berharap hakim menghukum berat para koruptor.
Mengubah undang-undang untuk memastikan agar korupsi lebih mudah
diperangi dan pelakunya dihukum seberat-beratnya juga memakan waktu
lama. Lagi pula, upaya itu bakal dijegal DPR. Maka, yang bisa dilakukan
sekarang adalah membuat para koruptor yang sudah dihukum ringan itu
tidak mudah mendapat keringanan lagi.

http://epaper.korantempo.com/PUBLICATIONS/KT/KT/2011/12/14/ArticleHtmls/EDITORIAL-Interpelasi-Pro-Koruptor-14122011003003.shtml?Mode=1

--
"One Touch In BOX"

To post : koran-digital@googlegroups.com
Unsubscribe : koran-digital-unsubscribe@@googlegroups.com

"Ketika berhenti berpikir, Anda akan kehilangan kesempatan"-- Publilius Syrus

Catatan : - Gunakan bahasa yang baik dan santun
- Tolong jangan mengiklan yang tidak perlu
- Hindari ONE-LINER
- POTONG EKOR EMAIL
- DILARANG SARA
- Opini Anda menjadi tanggung jawab Anda sepenuhnya dan atau
Moderator Tidak bertanggung Jawab terhadap opini Anda. -~----------~----~----~----~------~----~------~--~------------------------------------------------------------
"Bersikaplah sopan, tulislah dengan diplomatis, meski dalam deklarasi perang sekalipun seseorang harus mempelajari aturan-aturan kesopanan." -- Otto Von Bismarck.
"Lidah orang berakal dibelakang hatinya, sedangkan hati orang dungu di belakang lidahnya" -Ali bin Abi Talib.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar