Kamis, 08 Desember 2011

[Koran-Digital] Dursasana, Pengabdi Nafsu Duniawi

HEDONISME belakangan ini sempat hangat diperbincangkan. Padahal, sesungguhnya penganut aliran tersebut di negeri ini tak terbilang, sudah lama, dan akut. Mulai dari kalangan rakyat biasa hingga kelas elite dan petinggi negara.

Pertanyaannya, salahkah mereka? Hidup adalah pilihan, demikian kata orang. Jadi, dari sudut pandang itu, menjadi hedonis tentu tidak bisa dikatakan salah. Tetapi baru bisa divonis keliru jika hedonisme itu ditempuh atau digapai dengan cara dan upaya tidak wajar atau melanggar hukum.

Lantas, kalau dipahami dari perspektif budaya kita yang berasaskan rasa, layak direnungkan, pantaskah berhedonisme? Patutkah bermewah-mewah di saat masih banyak saudara kita yang keleleran? Dalam kearifan cerita wayang, hidup hedonisme dicontohkan secara vulgar oleh Dursasana. Dia adalah salah satu dari seratus putra-putri Destarastra dengan Dewi Gendari.

Mereka adalah keluarga Kurawa.

Banyak dalang wayang kulit menyebut nama Dursasana berasal dari kata dur yang berarti goroh atau tidak jujur dan sasana yang artinya tempat. Jadi, secara harfi ah Dursasana diartikan sebagai gudangnya ketidakjujuran. Ia juga disebut Duhsasana, yang dalam bahasa

Sanskerta berarti sulit dikuasai atau dikendalikan.

Dari arti etimologi itu, jelas namanya telah mencerminkan watak dan karakternya. Jadi, tidak aneh bila selama hidupnya Dursasana hanya mengabdi pada kenikmatan duniawi.
Perilaku konsumtif, berfoyafoya, pamer pangkat dan kedudukan, serta bermewahmewah adalah kesehariannya.
Kelakuannya pun kasar, ugalugalan, dan gemar melecehkan orang.

Sebagai contoh, dalam lakon Pandawa Dhadu, Dursasana melakukan kekerasan dan pelecehan seksual terhadap Dewi Drupadi, istri Raja Amarta, Puntadewa. Ia menyeret serta menjambak Drupadi dan kemudian melucuti pakaiannya. Tapi gelora menelanjangi itu gagal karena Drupadi mendapat pertolongan Bethara Darma.

Saking marahnya, sambil mengembeng Drupadi menyumpah, tidak akan menggelung rambutnya kembali sebelum keramas darah Dursasana. Nazarnya itu akhirnya kesampaian pada hari-hari akhir perang Baratayuda. Yakni, ketika Dursasana dihancurkan Werkudara dengan gada rujakpolo dan darahnya kemudian digunakan Drupadi untuk `mencuci' rambutnya.

Bermartabat rendah Tabiat Dursasana Tabiat Dursasana itu sudah tampak sejak kecil. Ketika singgasana Kerajaan Astina masih digenggam pamannya, Prabu Pandu Dewanata, Dursasana sudah kurang ajar dan gandrung kemewahan.

Sikap bongak dan kacak serta nafsu bersenang-senangnya menjadijadi setelah Pandu mangkat dan kekuasaan Astina berada di tangan ayahnya, Destarastra. Hal itu berlanjut selama kakaknya, Duryudana, berkuasa.

Sebagai sentana dalem, Dursasana memiliki wilayah tempat tinggal sendiri, yakni Banjarjunut. Dalam kehidupan sehari-hari, ia getol mememper-memperkan diri seperti Werkudara, adik sepupunya.

Tetapi dalam praktik hidupnya, ia bertolak belakang dengan Werkudara, anak Pandu dengan Dewi Kunthi itu. Kalau Dursasana dan saudara kandungnya (Kurawa) memburu kenikmatan duniawi, Werkudara dan saudaranya (Pandawa) ngudi (mencari) kesempurnaan hidup.

Karena itu, Dursasana tidak pernah bersentuhan dengan laku prihatin dan olah kepribadian. Dalam serat WulangReh karya Paku Buwana IV, watak yang ada pada diri Dursasana itulah yang disebut dengan adigang, adigung, adiguna, selalu menyombongkan kekuasaan, kekayaan, dan kepandaian.

Rasanya begitu sulit memahami bahwa Dursasana itu sesungguhnya berdarah Barata dan cucu Begawan Abiyasa, tokoh sangat sederhana dan berbudi luhur. Malah, dalam pakeliran, Dursasana selalu ‘berumah’ di kelir sebelah kiri. Filosofi nya, itu berkelindan dengan pribadi yang bermartabat rendah.

Jadi, muliakah kita berhedonisme? Itu memang pilihan, dan tentunya berpulang pada diri kita masingmasing. (Ono Sarwono/H-1)



http://pmlseaepaper.pressmart.com/mediaindonesia/PUBLICATIONS/MI/MI/2011/12/09/ArticleHtmls/Dursasana-Pengabdi-Nafsu-Duniawi-09122011014020.shtml?Mode=1

Tidak ada komentar:

Posting Komentar