Rabu, 14 Desember 2011

[Koran-Digital] Darmaningtyas: Liberalisasi Kalangan Islamis

Liberalisasi Kalangan Islamis
Darmaningtyas, DIREKTUR INSTRAN (INSTITUT STUDI TRANSPORTASI) *)


Salah satu fenomena penting Musim Semi Arab yang berlangsung sampai kini
adalah proses liberalisasi pemikiran yang terjadi di kalangan Islamis.
Dalam sebuah kolom di harian Al-Hayat (11 Desember 2011), pemikir Mesir,
Al-Sayyid Yasin, menyiratkan adanya gerakan ke tengah bandul yang kini
terjadi dalam kancah politik Islam Timur Tengah. "Kalangan
Islam-modernis kini tampak semakin Islamis, sementara kalangan
Islam-fundamentalis—seperti di Partai Nahdlah (Tunisia), Partai
Kebebasan dan Keadilan (Mesir), maupun Partai Keadilan dan Pembangunan
Maroko—justru tampak makin liberal." Beberapa pernyataan kalangan
Islamis Tunisia, Maroko, maupun Mesir setelah menang pemilihan umum
menunjukkan bahwa mereka kini lebih liberal dibanding saat masih menjadi
oposisi atau dipinggirkan oleh kekuasaan. Abdul Ilah bin Kiran, Sekjen
Partai Keadilan dan Pembangunan Maroko, misalnya, mengatakan bahwa
partainya akan memimpin Maroko sebagaimana layaknya partai politik,
bukan sebagai institusi keagamaan. Seakan mengamini sekularisme, dia
menegaskan bahwa tempat wacana dan anjuran keagamaan adalah masjid,
bukan dunia politik. Karena itu, "Kami akan menjalankan politik praktis
sembari tidak mencampuri urusan pribadi warga negara." Upaya menunjukkan
moderasi Islam, kalau bukan liberalisme, juga tampak dari berbagai
pernyataan petinggi Partai Kebangkitan Tunisia maupun Partai Kebebasan
dan Keadilan Mesir. Mereka kini berupaya menghindar atau berkelit dari
isu-isu sensitif yang sangat tipikal di kalangan Islamis, seperti soal
Islamisasi konstitusi, pemaksaan aturan-aturan syariat, maupun
pembatasan kebebasan sipil.

Pertanyaannya: apakah kalangan Islamis kini benar-benar mengalami
liberalisasi di tengah kekalahan partai-partai non-Islamis, atau ini
hanya propaganda politik yang bersifat sementara belaka? Setidaknya ada
dua pandangan dalam melihat gejala ini. Dalam pandangan yang pesimistis,
kalangan Islamis dianggap hanya "berlagak liberal" karena kekuasaan
memang belum benar-benar dalam genggaman mereka. Secara geopolitik pun,
mereka tetap harus ekstrahatihati dalam menghadapi jebakan-jebakan
kekuasaan yang bisa menyalip mereka di tikungan-tikungan terakhir.
Karena iklim global masih kurang bersahabat, mereka justru harus
menunjukkan bahwa kehadiran mereka di tampuk kekuasaan tidak perlu
dikhawatirkan. Moderasi dan

liberalisasi dianggap bukanlah kondisi yang real dan genuine terjadi di
kalangan Islamis.

Sementara itu, kalangan yang optimistis justru menganggap moderasi atau
liberalisasi kalangan Islamis ini merupakan bagian dari pergulatan
internal yang genuine dan respons Islamis yang masuk akal dalam
menghadapi tantangantantangan kekuasaan. Pandangan ini juga menyatakan
bahwa wacana-wacana yang dikembangkan kalangan liberal dalam soal
hubungan agama dan negara serta kebebasan sipil sedikit-banyak telah
merembes dan menembus banteng-benteng pertahanan ideologis kaum Islamis
arus utama, seperti Ikhwanul Muslimin. Dalam konteks ini, wacana-wacana
ekstrem yang berkembang di kalangan Islamis selama ini dianggap hanya
sebagai cara mereka untuk mengadakan dan memobilisasi dukungan populer
dalam menghadapi rezim yang otoriter.
Pandangan kedua ini setidaknya diperkuat beberapa studi tentang
pergolakan di jantung Islamis yang antara lain dilakukan Leonard Binder,
Raymond William Baker, Shadi Hamid, James Piscatori, maupun Graham Fuller.

Studi Binder dalam Islamic Liberalism: A Critique of Development
Ideologies (1988), misalnya, menunjukkan wujud dua jenis liberalisme
Islam yang berkembang di Timur Tengah. Jenis pertama mengakui bahwa
lembaga-lembaga politik liberal, seperti parlemen, pemilihan umum yang
regular, dan pentingnya jaminan kebebasan sipil, dapat dibenarkan
(justifiable) dari sudut pandang Islam. Ia tak hanya tidak bertentangan
dengan teks-teks dasar Islam, tapi juga dapat dilihat sebagai aplikasi
terhadap sebagian semangat Quran dan praktek perpolitikan Islam yang
historis.

Jenis kedua liberalisme Islam justru menegaskan bahwa tegaknya negara
Islam yang liberal bukan hanya mungkin, tapi bahkan sangat diharapkan.
Negara yang Islamis sekaligus menghargai kebebasan warganya tak hanya
dianggap sesuai dengan semangat Islam, tapi juga tidak bertentangan
dengan kaidah-kaidah legal formal Islam yang tidak secara langsung dan
ketat mengatur hubungan antara agama dan politik. Tampaknya, jenis kedua
dari liberalisme Islam inilah yang kini mulai berkecambah dan mengalami
pengarusutamaan di kalangan Islamis Timur Tengah.

Pandangan Binder ini lebih jauh diperkuat penulis buku Islam Without
Fear: Egypt and The New Islamists (2003), Raymond William Baker. Dalam
buku ini, Baker menunjukkan varian-varian baru kalangan Islamis Mesir,
seperti Muhammad alGhazali, Kamal Abu al-Magd, Muhammad Salim al-Awa,
Fahmi Huwaidi, Tareq alBishri, dan juga Yusuf al-Qardawi. Mereka bukan
hanya kalangan Islamis tercerahkan, tapi juga ikut mentransformasi
pemikiran politik Islam secara signifikan ke arah yang lebih liberal.

Kalangan-kalangan Islamis arus utama seperti merekalah yang kini
memainkan peranan penting dalam mengeliminasi wajah garang Islam dalam
kancah politik.

Itu setidaknya tecermin dari buku AlQardawi, seperti Min Fiqh al-Daulah
fi al-Islam (Fikih Kekuasaan dalam Islam) ataupun Thariq al-Bishri dalam
AlMalamih al-Amah li al-Fikr al-Siyasi alIslami (Corak Umum Pemikiran
Politik Islam Modern). Kecenderungan itu lebih jelas lagi dari buku
Fahmi Huwaidi, Demi Islam, Demi Demokrasi (Lil Islam wa li
alDimoqratiyyah), yang sangat menghargai kebebasan sipil dan mampu
menghindarkan bahasa politik Islam dari isu-isu trivial yang khas pada
kalangan Islamis.

Studi-studi Shadi Hamid, James Piscatori, maupun Graham Fuller juga
menunjukkan bahwa akomodasi kalangan Islamis dalam kancah politik
praktis justru akan memoderasi dan membuat mereka lebih ahlan wa sahlan
terhadap pragmatisme. Wacana-wacana mereka yang bersifat ekstrem maupun
eksklusif pelan-pelan akan menjadi lebih inklusif ketika berhadapan
dengan tantangan untuk sukses memerintah, yang nyata-nyata penuh
rintangan baik di tingkat lokal maupun regional.

Ini artinya, kecenderungan liberalisasi setidaknya menandakan bahwa
wacana Islam liberal tidaklah sia-sia dan kini mulai mengalami
perembesan—kalau bukan pengarusutamaan—di kalangan Islamis arus utama
seperti Ikhwanul Muslimin.

Namun apakah negara-negara Arab akan bertransformasi menjadi negara
demokrasi liberal, tentu masih harus ditunggu. Sebab, pembaruan Islam
acap kali tidak berhasil mengangkut semua gerbong umatnya.

Selalu saja ada beberapa segmen yang ketinggalan kereta peradaban,
seperti kaum Salafi Mesir saat ini. Sementara Ikhwani mulai friendly
terhadap ide dan pandangan Islam yang liberal dan bergerak mendekati
model Islamis Turki, kaum Salafi justru kini mengambil dan menempati
posisi kolot Ikhwani. ●

Mereka bukan hanya kalangan Islamis tercerahkan, tapi juga ikut
mentransformasi pemikiran politik Islam secara signifikan ke arah yang
lebih liberal. Kalangan-kalangan Islamis arus utama seperti merekalah
yang kini memainkan peranan penting dalam mengeliminasi wajah garang
Islam dalam kancah politik.

http://epaper.korantempo.com/PUBLICATIONS/KT/KT/2011/12/15/ArticleHtmls/Liberalisasi-Kalangan-Islamis-15122011011007.shtml?Mode=1

--
"One Touch In BOX"

To post : koran-digital@googlegroups.com
Unsubscribe : koran-digital-unsubscribe@@googlegroups.com

"Ketika berhenti berpikir, Anda akan kehilangan kesempatan"-- Publilius Syrus

Catatan : - Gunakan bahasa yang baik dan santun
- Tolong jangan mengiklan yang tidak perlu
- Hindari ONE-LINER
- POTONG EKOR EMAIL
- DILARANG SARA
- Opini Anda menjadi tanggung jawab Anda sepenuhnya dan atau
Moderator Tidak bertanggung Jawab terhadap opini Anda. -~----------~----~----~----~------~----~------~--~------------------------------------------------------------
"Bersikaplah sopan, tulislah dengan diplomatis, meski dalam deklarasi perang sekalipun seseorang harus mempelajari aturan-aturan kesopanan." -- Otto Von Bismarck.
"Lidah orang berakal dibelakang hatinya, sedangkan hati orang dungu di belakang lidahnya" -Ali bin Abi Talib.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar