Selasa, 13 Desember 2011

[Koran-Digital] Bambang Satriya: Quo Vadis Jaksa dan Persamaan Hukum

Quo Vadis Jaksa dan Persamaan Hukum
Bambang Satriya Guru Besar Stiekma dan dosen luar biasa Unmer, Ma-Chung,
dan UIN Malang

TE R D A K WA k a s u s suap Wisma Atlet SEA Games, M Nazaruddin, yang
kini kasusnya sedang disidangkan, beberapa kali menyebut keterlibatan
Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum dan Menpora Andi
Mallarangeng sebagai pihak yang ikut terlibat dalam kasus itu.

Namun, dalam dakwaan untuk Nazaruddin yang disusun oleh jaksa penuntut
umum dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), tidak sekalipun dua nama
itu disebut dalam dakwaannya. Menurut pandangan Wakil Ketua KPK M Jasin,
dalam menyusun surat dakwaan, pihaknya tidak mau asal bisa memasukkan
nama-nama yang disebut terdakwa. Pihaknya lebih mementingkan
pertimbangan alat bukti tentang keterlibatan mereka.

Nazaruddin memang pernah menuding sejumlah kader Partai Demokrat (PD)
menerima uang proyek pembangunan Wisma Atlet SEA GAmes senilai Rp191
miliar itu. Mereka yang disebut Nazaruddin ialah Menpora Andi
Mallarangeng, Ketua Umum DPP PD Anas Urbaningrum, Wakil Bendahara PD
Mirwan Amir, Wakil Sekjen PD Angelina Sondakh, dan Ketua Fraksi PD
Djafar Hafsah.

Memang, jaksa mempunyai hak otoritas dalam menyusun surat dakwaan. Mau
siapa saja yang dituntut, jaksalah yang menentukan. Beberapa orang, yang
oleh publik dinilai atau dipraduga terlibat dalam suatu kasus besar,
belum tentu dimasukkan oleh jaksa dalam
surat dakwaan yang dibuat.

Jaksa bisa beralasan dengan dalih yuridis, bahwa alat bukti yang
mengarah pada mereka tidak cukup kuat atau nihil.

Kedudukan alat bukti secara formal menjadi objek utama yang menentukan
surat dakwaan. Dengan tiadanya alat bukti yang memadai, kecil
kemungkinan jaksa akan memaksakan seseorang atau sejumlah orang yang
'didakwa" oleh publik masuk surat dakwaannya.

Masalahnya, apakah memang sikap atau keputusan jaksa demikian juga
berlaku secara egaliter pada setiap orang yang dituduh melakukan tindak
pidana? Atau apakah sikap jaksa terhadap 'selebritas kekuasaan', yang
diduga dan 'divonis' oleh publik sedang tersangkut tindak pidana,
merupakan sikap yang mengandalkan prinsip kejujuran dan kebenaran?
Itulah sebagian pertanyaan masyarakat yang bercorak sebagai 'gugatan'
terhadap jaksa.

Gugatan itu tak lepas dari perlakuan yang secara umum ditunjukkan oleh
aparat penegak hukum, yang lebih sering mengistimewakan atau
menganakemaskan tertuduh, tersangka, atau terdakwa dari komunitas elite
ketimbang yang berasal dari golongan akar rumput (grass root).

Tontonan jagat peradilan yang karut-marut memang g a m p a n g t e r b a
c a o l e h masyarakat. Buramnya dunia peradilan ini tak lepas dari
perlakuan yang ditunjukkan pilar-pilarnya, di antaranya kejaksaan yang
sarat mengidap baksil seperti virus keasusilaan
dan kriminalisasi.

Logis jika masyarakat semakin sulit diajak memberikan nilai kredibilitas
pada dunia peradilan.
Masyarakat sudah demikian dah demikian d i b u a t t e rh e nyak akibat
ulah kejaksaan yang memeras tersangka, menghami menghamilinya, atau
terbukti terlibat kolaborasi secara kriminalistis dengan penasihat huk u
m u n t u k `merampoknya'. Pencari keadilan yang berstatus tersangka,
yang belum tentu bersalah, diperlakukan sebagai objek jarahan dan
perampokan elitis berbaju hukum.

Sikap masyarakat itu juga tak lepas dari pelanggengan paradigma
konvensional yang diberlakukan oleh aparat, yang menempatkan dirinya
sebagai hukum, sehingga mulai dari suara, sikap, gaya, hingga pola
berperilakunya dikondisikan pada masyarakat atau pencari keadilan untuk
dijadikan sumber referensi supaya dipatuhi dan diikutinya. Paradigma
konvensional itulah yang di antaranya membuat jagat peradilan tak
ubahnya menjadi lahan tersubur bagi praktik korupsi hukum.

Norma yuridis tidak ditegakkan sebagaimana yang digariskan atau
diperintahkan dalam produk peraturan perundang-undangan. Malah
dikorupsi. 'Korupsi yuridis' ini di antaranya dapat terbaca melalui
perlakuan aparat yang bercorak diskriminasi atau pembedaan pemeriksaan
antara seseorang atau sejumlah orang yang bermasalah secara hukum dari
komunitas elit
isme dan `alitisme'.

Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 me nyebutkan setiap warga negara sama
kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan, dan wajib men junjung
tinggi hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada pengecuali an.
Konstitusi mengamanat kan prinsip egaliter, yang memiliki konsekuen si
setiap warga ne gara mem p u n y a i keduduk an sama atau sede rajat di
de pan hukum (equality before the law). Setiap elemen negara berhak
diperlakukan atau dituntut pertanggungjawaban yuridis tanpa dibeda-bedakan.
Dalam jagat peradilan, tak ada yang superior dan inferior, atau tak
dikenal `warga kelas dua'.

Thomas Jefferson pernah berujar singkat, "All men are created equal,"
atau semua manusia berkedudukan sederajat.
Tak boleh ada yang diistimewakan dalam pengaplikasian sistem hukum.
Setiap orang (pejabat atau bukan), yang terindikasi melakukan tindak
pidana, wajib diperiksa sesuai dengan rule of game.

Kata 'setiap' dalam rumusan konstitusi itu menunjukkan perintah kepada
setiap proses hukum atau implementasi criminal justice system agar siapa
pun yang terlibat, baik pejabat tinggi maupun elemen rakyat jelata,
wajib diperlakukan secara egaliter. Siapa pun yang diindikasikan
bersalah atau diduga melakukan tindak pidana (straafbaarfeit)
berdasarkan bukti permulaan wajib diperiksa dengan manajemen rule of
game yang benar dan jujur.

Yang membuat masyarakat atau pencari keadilan tidak memercayai
berlakunya prinsip egaliter ialah tontonan dari sepak terjang aparat
penegak hukum yang tidak bernyali saat dihadapkan dengan tertuduh,
tersangka, atau terdakwa dari elite kekuasaan.

Sebagai buktinya, tidak jarang kita saksikan atmosfer paradoksal dalam
menerapkan sistem hukum. Misalnya ketika sosok elite kekuasaan masih
sedang menjabat, padahal bukti permulaan menunjukkan dirinya terlibat
penyalahgunaan uang negara atau melakukan jenis kejahatan lainnya.

Sosok tersebut tidak hanya sulit d isentuh oleh kekuatan hukum, tetapi
juga mendapatkan perlakuan istimewa atau eksklusif yang bercorak
mendapat perlindungan dari aparat penegak hukum. Mereka bahkan beberapa
kali 'tertangkap basah' oleh pers sedang makan bersama atau bermain golf
atau kegiatan lain yang bercorak 'rekreasi'.

Kasus pelanggaran moralprofetis itulah di antaranya
yang membuat militansi dan independensi jaksa layak diragukan. Padahal,
pemegang kunci utama bekerjanya criminal justice system yang berbasis
kebenaran dan kejujuran di antaranya ialah jaksa. Semakin akrab relasi
aparat jaksa, misalnya, dengan pejabat bermasalah, makin berat pula
untuk memercayai produk kinerjanya.

Sistem yuridis akan mampu menunjukkan dirinya sebagai sistem yang ampuh
untuk menjaga keadaban sosial, ekonomi, politik, dan lain sebagainya,
termasuk konstruksi peradilan, bilamana jaksa mampu menjadikan sistem
ini sebagai instrumen yang memaksa tegaknya prinsip egalitarianisme.
Rudolf Von Jhering dalam Der Zwech Im Recht menyebut bahwa hukum
merupakan keseluruhan peraturan yang memaksa (compulsory rules), yang
berlaku egaliter dalam suatu negara.

Untuk bisa menunjukkan diri sebagai kekuatan memaksa dan egaliter itu,
hanya negara melalui elemen strategis yang didaulatnya (penegak hukum),
yang berkompeten dan mampu mewujudkan dan menyejarahkannya.

Itu artinya, jaksa harus menunjukkan keberanian untuk menjaga integritas
moral dan independensi profesinya. Bukti keberaniannya dapat terbaca
ketika oknum elite kekuasaan, yang terindikasi sebagai pelaku tindak
pidana, tidak dibiarkan menikmati kebebasan atau tidak ditemani sebagai
'sahabat' makan siang, berkaraoke, dan bermain golf bersama.

http://pmlseaepaper.pressmart.com/mediaindonesia/PUBLICATIONS/MI/MI/2011/12/14/ArticleHtmls/Quo-Vadis-Jaksa-dan-Persamaan-Hukum-14122011014013.shtml?Mode=1

--
"One Touch In BOX"

To post : koran-digital@googlegroups.com
Unsubscribe : koran-digital-unsubscribe@@googlegroups.com

"Ketika berhenti berpikir, Anda akan kehilangan kesempatan"-- Publilius Syrus

Catatan : - Gunakan bahasa yang baik dan santun
- Tolong jangan mengiklan yang tidak perlu
- Hindari ONE-LINER
- POTONG EKOR EMAIL
- DILARANG SARA
- Opini Anda menjadi tanggung jawab Anda sepenuhnya dan atau
Moderator Tidak bertanggung Jawab terhadap opini Anda. -~----------~----~----~----~------~----~------~--~------------------------------------------------------------
"Bersikaplah sopan, tulislah dengan diplomatis, meski dalam deklarasi perang sekalipun seseorang harus mempelajari aturan-aturan kesopanan." -- Otto Von Bismarck.
"Lidah orang berakal dibelakang hatinya, sedangkan hati orang dungu di belakang lidahnya" -Ali bin Abi Talib.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar