Kamis, 08 Desember 2011

[Koran-Digital] BAHTIAR EFFENDY: PAN dan Kelanjutan Reformasi

PAN dan Kelanjutan Reformasi PDF Print
Friday, 09 December 2011
Ketika reformasi digulirkan pada 1998, yang berujung dengan berhentinya
Presiden Soeharto dari kekuasaan yang digenggamnya selama tiga dasawarsa
lebih, banyak orang berharap bahwa kehidupan sosial, ekonomi, dan
politik Indonesia akan berubah.

Harapan itu,untuk sebagian, telah terpenuhi. Sampai tingkat tertentu
Indonesia telah berubah. Seandainya tidak bisa disebut berubah,
sekurang-kurangnya selama 13 tahun terakhir situasi negeri ini sudah
berbeda. Relaksasi dan liberalisasi politik merupakan bagian terpenting
dari situasi yang berbeda atau berubah itu.

Jika pada masa pemerintahan Orde Baru kehidupan politik boleh dikatakan
bersifat berpusat pada negara (state-centered), sejak Reformasi 1998 hal
itu berganti—tertransformasikan menjadi berpusat pada rakyat
(society-centered).Ini dalam artian bahwa kehendak rakyat untuk
berhimpun di dalam lembaga atau kekuatan politik tak lagi dihalang-halangi.

Begitu juga halnya dengan soal keinginan untuk mengekspresikan aspirasi
dan kepentingan. Demikian liberalnya kehidupan politik itu, khususnya
pada masa-masa awal reformasi, sampai-sampai muncul partai politik dalam
jumlah yang sangat banyak. Enam bulan setelah Soeharto mundur, tercatat
ada 181 partai politik. Beberapa tahun kemudian, sebagaimana terdaftar
pada Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, jumlah itu bertambah
mencapai angka 200-an.

Demokratisasi politik menjadi semakin kokoh ketika pemilihan umum
dilakukan secara langsung,bebas,dan rahasia— dalam pengertian yang
sebenarnya.Dalam skala masif rakyat tak lagi merasa takut dan
terintimidasi. Melengkapi itu semua,pemilihan presiden, gubernur,
bupati/walikota akhirnya juga dilakukan secara langsung.

Sayangnya prosedur-prosedur kehidupan kenegaraan yang demokratis dan
terbuka itu belum sepenuhnya membuahkan sesuatu yang menjadi makna atau
saripati dari pemerintahan. Inti dari didirikannya sebuah negara adalah
untuk menjaga keamanan warga dan menyejahterakan kehidupan mereka.

Hakikat dari digulirkannya reformasi pada 1998 adalah untuk mengubah
praktik-praktik ekonomi politik yang menghalangi percepatan pencapaian
dua tujuan ganda tersebut. Dalam kerangka itu, dapat dipahami jika masih
muncul suara-suara yang mengingatkan kita untuk kembali kepada apa yang
menjadi api dari Reformasi 1998.

Kata-kata yang sering didengar bahwa reformasi telah
"dibajak","diselewengkan"," gagal",dan sebagainya pada dasarnya
merupakan ekspresi bahwa memang masih banyak hal yang belum bisa dicapai.

Posisi PAN

Partai Amanat Nasional (PAN) merupakan kekuatan terdepan di dalam
menggelorakan Reformasi 1998. Setidaknya, melalui tokoh-tokohnya, para
pendiri kekuatan politik ini, reformasi berhasil menuntaskan kesediaan
Presiden Soeharto untuk mundur.Tidak ada tokoh yang paling memberi bobot
gerakan ketika itu kecuali Amien Rais yang kemudian memimpin PAN.

Dalam konteks itu, yaitu konteks kepioniran pengguliran reformasi,adalah
wajar jika masyarakat menuntut PAN untuk bertanggung jawab atas belum
terwujudnya reformasi yang bermakna.Memang,PAN bisa menepis tuntutan itu
dengan mengatakan bahwa kehidupan pascareformasi tidak secara dominan
diarahkan dan dikendalikan oleh dirinya.

Dengan kata lain, bukan PAN yang mendominasi jagat elektoral Indonesia.
Tidak seperti yang diharapkan banyak pengamat, pada Pemilu 1999 PAN
memperoleh 7,4%. Perolehan sebesar itu menempatkan PAN pada posisi
tengah kekuatan elektoral politik di Tanah Air—bersamasama dengan PKB
dan PPP.

Kenyataan ini tidak hanya mengejutkan banyak pihak, tetapi juga pimpinan
PAN sendiri. Meski demikian, posisi tengah tersebut dapat dimanfaatkan
dengan sangat baik oleh PAN. Melalui kepemimpinan Amien Rais, yang juga
ketua MPR, PAN tetap mempertahankan simbol kepioniran
reformatif—termasuk dalam mengoreksi kepemimpinan eksekutif di bawah
Presiden Abdurrahman Wahid.

Akan tetapi, kinerja PAN yang cukup baik di parlemen itu—dengan Hatta
Rajasa,AM Fatwa, Patrialis Akbar, Afni Achmad, dan lain-lain sebagai
penggeraknya—tidak berpengaruh positif bagi kenaikan perolehan suara
partai. Pada Pemilu 2004, perolehan suara PAN justru turun drastis (6,4%).

Memang, karena peta dukungan yang menyebar ke luar Jawa di mana
"harga"kursi relatif "murah",jumlah kursi PAN di DPR untuk periode
2004–2009 jauh lebih banyak daripada pe-riode 1999–2004 (34 berbanding
52). Ketika Sutrisno Bachir menggantikan Amien Rais sebagai ketua umum
PAN pada 2005,ia bermodifikasi sedikit di dalam menjalankan roda
kepemimpinan partai.

Dalam pandangannya, kekuatan elektoral PAN akan dapat ditingkatkan jika
partai melebarkan sayap dukungan kepada kalangan lain yang bukan
pendukung inti partai.Ketikapartaididirikan, pendukung utamanya adalah
Muhammadiyah, masyarakat terdidik dan urban. Untuk keperluan
diversifikasi dukungan itulah Sutrisno Bachir berhubungan dengan
kalangan Nahdlatul Ulama dan masyarakat "bawah".

Dalam konteks politik yang berdasarkan pada prinsip "satu orang satu
suara", pembilahan atau strata sosial-ekonomi menjadi tidak begitu
penting dalam hal pengindentifikasian karakter pendukung partai.
Sutrisno Bachir telah berusaha.

Kendati apa yang dilakukan tidak mendatangkan hasil yang diinginkan,
setidaknya perolehan PAN tidak melorot drastis sebagaimana yang dialami
oleh partai-partai tengah yang lain seperti PPP dan PKB. Kekuatan
elektoral PAN turun sedikit dalam hal perolehan suara dibandingkan
pemilu sebelumnya (6,01%).Tapi jumlah kursi berkurang,menjadi 46.

Kepemimpinan Hatta Rajasa

Kini kepemimpinan PAN berada di tangan Hatta Rajasa, salah seorang kader
partai dengan sumber daya politik yang sangat besar: pengalaman dan
kewenangan. Sejak awal berdirinya partai, Hatta merupakan kader yang
terus-menerus memegang posisi penting. Hal ini bukan hanya menandai
kefasihan dia terhadap situasi politik Indonesia pasca-Orde Baru, tetapi
juga menunjukkan keluwesan dia dalam berpolitik, baik terhadap
konstituen PAN maupun kolegakolega politik yang lain.

Posisi-posisi penting yang pernah dan sedang didudukinya, baik di dalam
partai, parlemen maupun birokrasi,menjadikan dirinya sebagai pribadi
politik dengan kewenangan yang diperhitungkan.Akankah semua itu berarti
banyak bagi peningkatan kekuatan elektoral PAN pada Pemilu 2014?

Jawaban yang pasti hanya bisa diberikan ketika Pemilu 2014 itu sendiri
usai. Yang jelas adalah bahwa dewasa ini partai politik sedang tidak
menjadi komoditas favorit bagi publik. Berbagai survei menunjukkan
naiknya kekecewaan dan ketidakpercayaan publik terhadap partai politik.
Dalam kerangka itu, tantangan partai politik menjadi sangat besar.

Tak terkecuali PAN, mereka dituntut untuk merebut kembali kepercayaan
rakyat, memenangi kembali hati dan nurani mereka. Tanpa itu,jangan
diharap dukungan rakyat pada Pemilu 2014 akan mengalir. Konteks
tantangan yang dihadapi pada dasarnya bersumber dari cita-cita reformasi
yang belum tercapai. Bahkan dalam pandangan sebagian anggota masyarakat,
reformasi telah diselewengkan.

Karena itu, sebagai partai yang berdiri di garis terdepan reformasi,PAN
dituntut untuk mengembalikan jalur. Jalur politik dan pemerintahan yang
bertujuan untuk menciptakan keamanan, ketenangan, dan kenyamanan rakyat
di satu pihak serta kesejahteraan sosial-ekonomi mereka di pihak lain.
Masa dua tahun hingga Pemilu 2014 digelar bukanlah masa yang lama.

Persiapan yang sungguh-sungguh harus segera dilakukan meski sekadar
untuk mempertahankan posisi tengah dalam hal dukungan elektoral.
Keinginan untuk memperoleh kenaikan suara secara signifikan bukan
merupakan hal yang harus diperbincangkan. Sebaliknya, soal itu harus
segera dicerminkan dalam tindakan yang konkret.

Amien Rais telah memulai dan sampai tingkat tertentu menempatkan PAN
pada posisi yang diperhitungkan dalam percaturan politik Indonesia.
Sutrisno Bachir sudah berusaha untuk melakukan diversifikasi dukungan
bagi PAN. Tugas Hatta Rajasa adalah mengonsolidasikan berbagai
sumberdaya yang ada untuk mengembalikan semangat berpolitik yang
reformis di satu pihak dan meningkatkan kekuatan elektoral PAN di pihak
lain.● BAHTIAR EFFENDY Guru Besar Ilmu Politik UIN Jakarta

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/450276/

--
"One Touch In BOX"

To post : koran-digital@googlegroups.com
Unsubscribe : koran-digital-unsubscribe@@googlegroups.com

"Ketika berhenti berpikir, Anda akan kehilangan kesempatan"-- Publilius Syrus

Catatan : - Gunakan bahasa yang baik dan santun
- Tolong jangan mengiklan yang tidak perlu
- Hindari ONE-LINER
- POTONG EKOR EMAIL
- DILARANG SARA
- Opini Anda menjadi tanggung jawab Anda sepenuhnya dan atau
Moderator Tidak bertanggung Jawab terhadap opini Anda. -~----------~----~----~----~------~----~------~--~------------------------------------------------------------
"Bersikaplah sopan, tulislah dengan diplomatis, meski dalam deklarasi perang sekalipun seseorang harus mempelajari aturan-aturan kesopanan." -- Otto Von Bismarck.
"Lidah orang berakal dibelakang hatinya, sedangkan hati orang dungu di belakang lidahnya" -Ali bin Abi Talib.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar