Senin, 12 Desember 2011

[Koran-Digital] AHMAD YANI: Pemilu Liberal vs Pemilu Konstitusional

Pemilu Liberal vs Pemilu Konstitusional PDF Print
Tuesday, 13 December 2011
Jika tidak dikawal dengan baik, pembahasan Rancangan Undang-Undang
tentang Perubahan Undang- Undang (UU) Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu
Anggota DPR,DPD, dan DPRD bisa jadi akan melenceng dari konstitusi.

Hal tersebut karena beberapa gagasan dan rumusan pasal justru
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 Pasal 22E,Pasal 27 ayat 1,Pasal 28D ayat 3,dan Pasal 28I ayat 2.
Beberapagagasanyangmasuk rumusan pasal dimaksud adalah penerapan ambang
batas parlemen (parliamentary threshold/ PT) atau ambang batas suara sah
nasional sebuah partai untuk dapat diikutkan dalam penentuan perolehan
kursi.

Tadinya dalam UU No 10/2008 Pasal 202 ambang batas tersebut hanya
berlaku pada penentuan kursi DPR dan besarnya 2,5% dari suara sah secara
nasional. Sekarang pemerintah menginginkan ambang batas tersebut
dinaikkan menjadi empat% dan berlaku untuk tingkat DPR, DPRD
provinsi,dan DPRD kabupaten/ kota.

Adapun sikap fraksi partai-partai di DPR beragam, mulai dari yang
menginginkan tetap 2,5% hingga dinaikkan menjadi 5%. Masalahnya bukan
seberapa besar PT akan ditetapkan, dan apakah tetap berlaku hanya untuk
penentuan kursi DPR, ataukah diperluas ke kursi DPRD. Namun,konsepsi dan
implementasi PT itu sudah cacat secara konstitusional.

Dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 27
ayat 1 ditegaskan: "Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam
hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu
dengan tidak ada kecualinya". Norma konstitusi ini sejalan dengan Pasal
28D ayat 3: "Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama
dalam pemerintahan".

Dari kedua ayat konstitusi di atas dapat dipahami bahwa semua warga
negara Indonesia mempunyai posisi politik (political standing) dan
posisi hukum (legal standing) yang sama tanpa pengecualian sedikit pun.
Konsekuensinya, semua warga negara wajib menaati hukum dan pemerintahan
negara secara totalitas tanpa ada yang ditinggalkan atau diabaikan
karena kepentingan pribadi.

Semua warga negara juga memiliki peluang dan akses yang sama dalam
memasuki dan memengaruhi pemerintahan, termasuk memperoleh jabatan dan
kedudukan dalam pemerintahan,memberikan aspirasi,kritik,dan dukungan,
serta berkesempatan untuk memilih atau dipilih dalam pemerintahan dan
parlemen.

Dilusi

Penerapan PT, berapa pun besarnya, akan mendilusi atau menghilangkan
kesamaan kedudukan tersebut. Ambang batas parlemen juga mengakibatkan
sebagian warga negara mempunyai peluang yang lebih besar dalam
pemerintahan, termasuk parlemen, sementara peluang yang lain dikurangi
atau dihilangkan. Dengan PT 2,5%, sebanyak 19 juta lebih suara hangus
dalam Pemilu 2009 alias tidak terkonversi menjadi kursi DPR.

Itu kira-kira 18% suara atau beda tipis dengan perolehan suara partai
pemenang pemilu. Artinya, 19 juta warga negara telah dihilangkan
kesamaan kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan, bahkan kesempatannya
memperoleh akses dan pengaruh dalam pemerintahan juga dilenyapkan begitu
saja. Sebanyak itu pula orangorang yang tidak mempunyai wakil rakyat,
padahal mereka telah menggunakan hak pilihnya dengan benar.Yang duduk di
DPR bukanlah orang yang mereka pilih.

Barangkali rendahnya tingkat kepercayaan rakyat kepada DPR RI
disumbangkan oleh disparitas kedudukan warga negara dan keterwakilan
rakyat ini. Para warga yang pilihannya tidak terwakili di parlemen hanya
karena memilih peserta pemilu yang tidak lolos PT jelas dirugikan.
Mereka hakikatnya tidak terwakili (unrepresented). Sebaliknya, ada warga
yang memilih partai politik peserta pemilu yang lolos PT akan mengalami
keterwakilan berlebih (over-represented).

Hal ini karena ketidaklolosan para peserta pemilu tertentu dikonversikan
menjadi tambahan kursi bagi peserta pemilu yang lolos PT tanpa perlu
mendapat tambahan suara sedikit pun. Selama ini beberapa pakar pemilu,
pengamat politik, dan LSM melihat kadar keterwakilan hanya dari jumlah
kursi untuk tiap provinsi dan daerah pemilihan (dapil). Namun, kurang
atau lebihnya kadar keterwakilan juga bisa dilihat dari ada atau
tidaknya PT.

Bila besaran PT dinaikkan sesuai usul pemerintah dan atau partai-partai
tertentu, jumlah suara warga yang hangus akan bertambah hampir dua kali
lipatnya. Ketidaksamaan di mata hukum dan pemerintahan juga semakin
meluas, dan itu artinya semakin jauh dan melenceng dari amanat
konstitusi. Padahal, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 Pasal 28I ayat 2 menegaskan:

"Setiap orang berhak bebas atas perlakuan diskriminatif atas dasar apa
pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang
diskriminatif itu". Alihalih menghilangkan diskriminasi, keberadaan PT
dalam UU Pemilu malah memperbesar diskriminasi.

Watak Liberal

Bila penyelenggaraan pemilu melenceng dari konstitusi, lantas pemilu
seperti apa yang sedang dan akan digelar? Tampaknya, seperti
penyelenggaraan sistem perekonomian negara yang kerap disebut beraliran
neoliberal,penyelenggaraan pemilu juga dikhawatirkan berwatak
liberal.Pemilu liberal berarti pemilu yang bebas sesuai pilihan pasar
politik dan tidak terikat pada empat pilar negara dan bangsa Indonesia
yaitu Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia,Negara
Kesatuan Republik Indonesia, dan Bhinneka Tunggal Ika.

Pemilu liberal bermakna mematikan semua pesaing seolaholah negara ini
miliknya sendiri. Pemilu liberal akan menggerus pelaksanaan Sila Keempat
Pancasila: "Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/ perwakilan". Selain itu, pemilu liberal juga menabrak
pilar Bhineka Tunggal Ika. Soalnya, yang boleh hidup dalam pemilu
liberal hanya yang paling banyak suara, dana, dan kekuatan politiknya.

Padahal, keempat pilar telah memberi hak hidup dan berkembang bagi
setiap aspirasi dan golongan masyarakat yang tumbuh dan berkembang di
Indonesia sepanjang aspirasi dan golongan masyarakat itu tidak
berdasarkan dan menyerukan sesuatu yang bertentangan dengan Pancasila
dan Undang-Undang Dasar. Misalnya,mengajak kepada atheisme, komunisme,
penghinaan agama, separatisme, terorisme, legalisasi kriminalitas, dan
sebagainya.

Jika kita mencermati perkembangan politik di dunia Barat, tampaklah
strategi liberalisasi politik yang dijalankan di sana juga ditiru di
sini.Di Amerika Serikat misalnya, setelah Partai Republik dan Partai
Demokrat menguasai parlemen, kedua partai tersebut menciutkan dapil
Anggota DPR (House of Representatives), menetapkan sistem distrik dan
penentuan kursi berdasarkan prinsip pemenang meraih semua kursi (the
winner takes all).

Dapil disusun sedemikian rupa sehingga hanya kedua partai tersebut yang
menguasai parlemen secara bergantian sejak AS berdiri pada abad ke-18.
Dalam beberapa kali pemilihan wakil partai lain mampu menembus parlemen,
tapi jumlahnya kecil sekali dan tidak signifikan.

Berbagai strategi dan taktik boleh disusun dan dikembangkan agar menang
dalam pemilu, namun pemilu Indonesia seharusnya tetap diselenggarakan
dalam bingkai Pancasila, konstitusi, NKRI, dan Bhineka Tunggal Ika.
Kalau tidak, berbagai ketidakadilan dan instabilitas politik yang
sekarang menimpa negara-negara liberal Barat akan menghantam bangsa kita.●

AHMAD YANI SH MH
Wakil Ketua Fraksi PPP DPR RI/
Anggota Pansus RUU Perubahan UU Pemilu

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/451309/

--
"One Touch In BOX"

To post : koran-digital@googlegroups.com
Unsubscribe : koran-digital-unsubscribe@@googlegroups.com

"Ketika berhenti berpikir, Anda akan kehilangan kesempatan"-- Publilius Syrus

Catatan : - Gunakan bahasa yang baik dan santun
- Tolong jangan mengiklan yang tidak perlu
- Hindari ONE-LINER
- POTONG EKOR EMAIL
- DILARANG SARA
- Opini Anda menjadi tanggung jawab Anda sepenuhnya dan atau
Moderator Tidak bertanggung Jawab terhadap opini Anda. -~----------~----~----~----~------~----~------~--~------------------------------------------------------------
"Bersikaplah sopan, tulislah dengan diplomatis, meski dalam deklarasi perang sekalipun seseorang harus mempelajari aturan-aturan kesopanan." -- Otto Von Bismarck.
"Lidah orang berakal dibelakang hatinya, sedangkan hati orang dungu di belakang lidahnya" -Ali bin Abi Talib.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar