Rabu, 21 Desember 2011

[Koran-Digital] Agus Suman: Birokrasi Penghambat Ekonomi

Birokrasi Penghambat Ekonomi
Agus Suman Guru Besar Ilmu Ekonomi Universitas Brawijaya

BUKAN rahasia umum lagi bahwa klenik seputar birokrasi selama ini masih
menyajikan problema yang sistemis. Pun yang paling anyar tentu saja
menyangkut korupsi para generasi muda di kalangan birokrasi.

Diindikasikan telah terjadi regenerasi koruptor di kalangan PNS. Jumlah
PNS sendiri di negeri ini secara keseluruhan mencapai 4,64 juta orang,
dan 1,5 jutanya ialah para PNS muda.

Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) telah menemukan
sekitar 1.800 rekening gendut bernilai puluhan hingga ratusan miliar
rupiah yang dimiliki pegawai negeri sipil.

PPATK sebelumnya juga menyatakan setidaknya ada beberapa PNS golongan
III B yang mempunyai harta mencapai belasan miliar rupiah karena
mengerjakan proyek fiktif.

Selain itu, sekitar 10 orang diduga mirip dengan perilaku Gayus,
memiliki dengan rekening mencapai puluhan miliar rupiah.

Para pemilik rekening itu ialah mereka yang berusia 28-38 tahun, atau
bila dalam kepangkatan ialah pegawai golongan II A hingga IV A. Sangat
tidak logis karena pada kenyataannya gaji pegawai tersebut ditambah
dengan remunerasi, sehingga jumlah maksimalnya sebesar Rp12 juta/bulan.
Maka itu, rekening fantastis para abdi negara itu mengindikasikan telah
terjadi tindak pidana pencucian uang negara.

Bila dibedah secara mendalam, sebenarnya hal itu tidaklah terlalu
mengherankan, karena banyak kasus sebelumnya
selalu bertautan erat dengan para birokrat, termasuk di daerah. Seperti,
cukong dalam setiap proyek pemerintah, rekayasa fisik maupun nonfisik,
honorarium, dan seabrek penyimpangan perilaku para pelayan masyarakat
tersebut.
Moralitas perusak ekonomi Dalam konteks ekonomi, perilaku para birokrat
tersebut dapat berdampak pada terganggunya aktivitas produktif, atau
pencapaian kinerja ekonomi yang seharusnya dapat dicapai. Dengan begitu,
rapuhnya kelembagaan di tingkat birokrasi yang notabene sebagai
eksekutor kegiatan ekonomi dapat berdampak rembetan (multiplier effect)
yang buruk dan selalu mengalami pembusukan akut.

Dalam permasalahan yang demikian, sebenarnya fenomena yang muncul ialah
perilaku oportunistis dan rasionalitas yang terbatas (bounded
rationality). Inilah fenomena yang harus direduksi, bahkan dialienasi.

Perilaku oportunistis muncul dari para aktor dalam rantai ekonomi yang
berorientasi memanipulasi regulasi dan bersifat koruptif. Hal tersebut
melekat erat pada birokrasi, baik pusat maupun daerah.
Adapun rasionalitas yang terbatas merupakan suatu sebab hingga mewujud
melalui ketidaksempurnaan dalam setiap desain regulasi.

Yang perlu diketahui, perilaku menyimpang pelaku ekonomi dapat
menimbulkan kegagalan secara besar-besaran. Dapat dikatakan, sejatinya
telah terjadi ekonomi biaya tinggi (high cost economy).
Implikasinya, perekonomi an menjadi penuh dengan ketidakpastian
(uncertainty), termasuk juga eksekusi kebijakannya.

Bila dilihat, beragam modus PNS dalam menilap uang haram tersebut ialah
melalui pemindahbukuan APBD ke rekening pribadi untuk mendapatkan
bunganya, bahkan ke rekening istri, anak, dan koleganya. Jelas terjadi
penyalahgunaan uang negara karena tidak ada aturan yang membenarkannya.

Akibatnya, hal itu diduga sebagai salah satu penyebab sulitnya
penyerapan anggaran karena uang hanya ngendon di rekening pribadi,
kemudian dikembalikan ke rekening resmi setelah menjelang tutup tahun.

Realisasi penyerapan anggaran hingga akhir November 2011 bisa menjadi
acuannya.
Di antaranya belanja pegawai, yang baru terserap 83,3% dari pagu
anggaran Rp182,87 triliun. Adapun belanja barang baru sebesar 53,1% dari
pagu anggaran yang berjumlah Rp142,82 triliun, dan belanja modal juga
yang hanya 40,7%, yang pagu anggarannya Rp140,95 triliun (Republika,
8/12/2011).

Modus lain ialah memin dahkan sisa anggaran belanja atau sisa lebih
penggunaan anggaran (silpa) institusi ke rekening pribadi. Padahal,
Kemenkeu memperkirakan total Silpa tahun ini berkisar Rp20 triliun-Rp30
triliun. Dampak yang dapat terjadi dari penyimpangan ini ialah kebijakan
yang seharusnya dimaksimalkan untuk kesejahteraan dan kepentingan publik
harus tergerus akibat moral hazard para birokrat yang me mentingkan
kepentingan sendiri (self-interest), baik bagi individu maupun komunalnya.

Terbukti, data empiris menunjukkan bahwa perilaku menyimpang para
birokrat di daerah berdampak pada pelayanan pub pak pada pelayanan
publik yang buruk. Baru sekitar 10% dari 524 daerah yang terdiri dari 33
provinsi, 398 kabupaten, dan 93 kota yang mampu melakukan yang terbaik
dalam pelayanan publik.

Dari sisa dana APBD, hanya berkisar 30% yang baru digunakan untuk
belanja layanan publik. Adapun penyerapan uang negara untuk gaji dan tun
jangan di beberapa daerah bisa mencapai 70% dari APBD. Ada yang
mengatakan, 3% PNS menikmati 60% uang negara (Jawa Pos, 7/12/2011).
Langkah strategis Bila diseli sik, beragam praktik korupsi birokrasi
selama ini dapat dien dus ber dasarkan empat ben tuk (W Ri awan Tjandra,
Kompas, 8 / 1 2 / 2 0 11 ) .
Pertama, para pejabat biasanya menurunkan biaya agen/re kanan di bawah s
t a n d a r t e r tentu (cost-re ducing corrup tion). Kedua, para
pejabat menaikkan angka biaya pelayanan (cost enhancing corruption).

Ketiga, para pejabat meminta jatah tertentu yang bersifat ilegal dari
rekanan (benefit-enhancing corruption). Keempat, pejabat biasanya
memotong biaya dari rekanan (benefit-reducing cor ruption).

Kasus terse but menanda kan bahwa birokrasi kita memang be nar-benar ber
masalah, d a n benar b e n a r menjadi penghambat pertumbuhan ekonomi.
Selain itu juga terletak pada per spektif individu yang berkapasitas
rendah, selain tentu saja bermoral busuk. Maka, di sini akan sangat
penting arti sebuah pembangunan kapasitas (capacity building) pada
sebuah birokrasi.

Reformasi kelembagaan dalam tataran birokrasi mutlak diperlukan. Hal itu
sebagai wujud dalam reformasi administrasi (administrative reform), di
samping juga reformasi sistem hukum (legal system reform) dan politik
(political reform). Reformasi ini sebagai langkah dalam memengaruhi
kinerja kegiatan ekonomi dalam konteks akar masalah kelembagaan,
khususnya di level birokrasi.

Hal penting juga seputar kontrol dan pengawasan, seperti memaksimalkan
instrumen laporan harta kekayaan penyelenggaraan negara (LHKPN) yang
sejauh ini masih sekadar bersifat formalitas. Selain itu juga Badan
Pengawasan Daerah (Bawasda) yang bertugas mengawasi keuangan daerah,
yang selama ini selalu mati kutu karena strukturnya yang berada di bawah
kewenangan kepala daerah. Nyatanya, banyak kepala daerah tak rela
keuangan daerah mereka diobokobok untuk ditindaklanjuti atas hasil audit.

Meski demikian, kasus rekening gendut PNS patut menjadi renungan bagi
para penyelenggara negara, bahwa persoalan birokrasi merupakan persoalan
serius agar kegiatan ekonomi dapat berjalan dengan baik.
Juga tidak sekadar melakukan reformasi birokrasi dan desain regulasi,
tapi yang terpenting ialah menetralkan birokrasi dari `racun' moral
busuk para birokrat.

http://pmlseaepaper.pressmart.com/mediaindonesia/PUBLICATIONS/MI/MI/2011/12/22/ArticleHtmls/Birokrasi-Penghambat-Ekonomi-22122011014016.shtml?Mode=1

--
"One Touch In BOX"

To post : koran-digital@googlegroups.com
Unsubscribe : koran-digital-unsubscribe@@googlegroups.com

"Ketika berhenti berpikir, Anda akan kehilangan kesempatan"-- Publilius Syrus

Catatan : - Gunakan bahasa yang baik dan santun
- Tolong jangan mengiklan yang tidak perlu
- Hindari ONE-LINER
- POTONG EKOR EMAIL
- DILARANG SARA
- Opini Anda menjadi tanggung jawab Anda sepenuhnya dan atau
Moderator Tidak bertanggung Jawab terhadap opini Anda. -~----------~----~----~----~------~----~------~--~------------------------------------------------------------
"Bersikaplah sopan, tulislah dengan diplomatis, meski dalam deklarasi perang sekalipun seseorang harus mempelajari aturan-aturan kesopanan." -- Otto Von Bismarck.
"Lidah orang berakal dibelakang hatinya, sedangkan hati orang dungu di belakang lidahnya" -Ali bin Abi Talib.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar