Jumat, 16 Desember 2011

[Koran-Digital] Agus Dermawan T:

Satwa Indonesia dalam Stand-Up Comedy
Agus Dermawan T.
KRITIKUS SENI, ESAIS KEBUDAYAAN, PENULIS BUKU SENI

Seorang komedian dalam acara StandS Up Comedy naik panggung. Di depan
mikrofon, di hadapan 240 juta penonton, dengan berusaha melucu, komedian
itu memulai monolognya.

"Saudara-saudaraku, dahulu kita sering mendengar pidato yang
meneriakkan: Jangan pupuskan semangat banteng ketaton! Kepakkan sayap
elang, berkelebatlah di angkasa raya! Penyebutan satwa-satwa itu bisa
kita pahami, lantaran satwa memang punya tempat yang penting dalam jagat
politik, ekonomi, sosial, dan budaya Indonesia. Karena itu, satwa acap
diangkat sebagai subyek yang menandai sebuah simbol.Yang menarik,
saudara-saudara, munculnya karakter positif dan negatif simbolsimbol
satwa ini sangat berkait dengan kurun waktu yang melingkupinya.

Coba simak, pada masa Orde Lama yang sering dientak heroisme melawan
neo-kolonialisme dan imperialisme Barat, kita melihat satwa yang
diposisikan sebagai simbol kehebatan serta keberanian melawan. Dan semua
itu ditempelkan kepada figur-figur istimewa yang layak diberi julukan.
Bung Karno, yang cakap berpidato, disebut sebagai Singa Podium. Adam
Malik, yang bertubuh kecil namun cekatan, dijuluki Si Kancil sejak
diangkat sebagai Ketua Delegasi Perundingan IndonesiaBelanda 1962.
Semangat olahraga Indonesia yang dominan di Asia menyebabkan Indonesia
dijuluki Macan Asia.

Pada zaman Orde Baru, penyair dan dramawan Rendra disebut sebagai Burung
Merak. Sedangkan Soeharto, yang kuat bertahan jadi presiden selama tiga
dekade, disebut Kuda Besi. Kuda dimaknai sebagai hewan yang amat panjang
napasnya. Sedangkan besi dikonotasikan sebagai pemimpin yang memerintah
dengan tangan besi. Namun, seperti saudara lihat, bagai tampak dalam
karikatur karya Schot di majalah Asiaweek edisi 27 Februari 1998, Kuda
Besi ini menjadi kuda pedati kurus yang dikusiri Tuan IMF. Schot memakai
kiasan kuda karena tahu bahwa orang Indonesia suka bermain satwa.

Saudara-saudaraku, ingat enggak, pada 1997 mahasiswa yang tergabung
dalam Front Perlawanan Rakyat (Fropera) dan Serikat Masyarakat NU
Anti-Militerisme (Sekat NU) berdemo di kebun binatang Gembira
Loka,Yogyakarta. Di situ para mahasiswa mendiskusikan penghapusan
dwifungsi ABRI dengan beberapa orang utan. Ketika mahasiswa membeber
poster anti-Soeharto dan spanduk tak percaya terhadap Habibie, para
orang utan itu me longo dan kemudian bertepuk tangan. Keesokan harinya
para mahasiswa datang lagi ke Gembira Loka. Di atas punggung seekor
gajah, mahasiswa membacakan teks "Proklamasi Republik Binatang".

O ya, sejarah Indonesia juga sulit melupakan peristiwa sekelompok
masyarakat yang mempredikati Jaksa Agung Andi Ghalib sebagai chicken
karena tak berani mengusut mantan presiden Soeharto. Andi Ghalib bahkan
diberi hadiah ayam potong oleh sekelompok demonstran."

* "Saudara-saudaraku di gedung yang pengap ini. Satwa memang penghuni
kebun binatang dunia rasa dan pikir orang Indonesia. Itu sebabnya,
lambang negara Indonesia adalah burung garuda, bukan ubi jalar, sapu
ijuk, atau keong racun. Sementara dalam pergumulan budaya yang
berkonteks dengan kehidupan sosial, satwa sering kali dipakai sebagai
lambang perumpamaan, dengan makna yang kadang menyindir atau mengkritik.

Dalam budaya Jawa, ada ungkapan `Kodhok mangongkang jroning leng', yang
artinya katak bernyanyi dalam liang. Ungkapan ini mengiaskan figur yang
ingin terlihat berwibawa dengan menghadirkan kesan seram bagi masyarakat
sekitarnya. Misalnya, pejabat yang selalu diiringi rombongan stafnya ke
mana-mana.

Ada pula ungkapan `Kebo ilang tombok kandhang' atau kerbau hilang tambah
kandang. Maknanya, sudah kehilangan masih harus mengeluarkan biaya lagi,
sehingga kemalangan pun datang bertubitubi. Contohnya, ketidakpercayaan
kepada kepolisian dan kejaksaan menyebabkan pemerintah membentuk KPK
(Komisi Pemberantasan Korupsi). Untuk mengawasi KPK, pemerintah
membentuk Komite Etik KPK, dan seterusnya. Biaya akhirnya menumpuk
bertimpa-timpa.

Ah, saudara-saudara pasti sudah tahu, apabila ada kritik atas sikap dan
sistem itu, para pejabat biasanya bersyak-wasangka sembari gusar dengan
menghadirkan seribu argumentasi. Person-person Dewan Perwakilan Rakyat
militan maju ke depan, dengan tidak menafikan perkelahian. Atas hal ini,
budaya bahasa telah pula menyediakan ungkapan: 'Asu gede menang kerahe',
yang artinya anjing besar hanya hebat dalam berkelahi (melawan yang
kecil). Dan kita tahu, perkelahian itu tak akan menghasilkan buah
positif apa-apa.

Padahal Butir-butir Budaya Melayu Riau dengan baik-baik mengajarkan
lewat pantun satwa berikut ini: 'Kalau suka memelihara itik/Tentulah
banyak dapat telurnya/Kalau suka bersangka baik/Hidup selamat banyak
mujurnya.' Lalu, memasuki dekade kedua pascareformasi, keberadaan satwa
tampak semakin kukuh. Namun, anehnya, satwa-satwa itu semakin hari
semakin buruk sifatnya.

Bila dulu kerbau disanjung sebagai hewan berharga, pada masa sekarang
kerbau dinistakan, bahkan diolok-olok, di Bundaran Hotel Indonesia. Bila
dulu kancil lambang kecekatan pikiran, kini jadi julukan untuk seorang
Gayus Tambunan yang bisa ringan melompati tembok penjara."

* "Saudara-saudara saya penggemar Stand-Up Comedy. Pada era sekarang
koleksi satwa Indonesia bertambah. Cuma tambahannya adalah satwa yang
rendah derajatnya. Catat, setelah garuda, macan, singa, kancil, merak,
kuda, kerbau, orang utan, gajah, sampai itik, tiba-tiba muncul cicak,
buaya, kucing garong, tokek, tikus, dan kecoa. Satwa-satwa lambang
predikat ini lalu jadi inspirasi ratusan karikatur tentang politik satwa
dan satwa berpolitik.

Cicak dan buaya bergabung ketika kepolisian bertikai melawan KPK, dengan
maskot jenderal polisi Susno Duadji. Cicak simbol dari KPK, dan buaya
simbol dari kepolisian. Eksistensi satwa makin menonjol ketika kasus
korupsi Badan Anggaran DPR terungkap, dan KPK mencoba membongkarnya.
Cicak KPK kadang berubah jadi kucing, karena kucing suka
mengendus-endus, dan kalau ada kesempatan, ya, mencuri barang sedikit.
Sementara DPR punya satwa yang beragam.

Ada karikatur lho yang menggambarkan oknum DPR sebagai tikus. Karikatur
lain melukiskan DPR sebagai kucing garong yang tak lelah menakuti dua
ekor cicak KPK. Ada pula karikatur yang menggambarkan DPR sebagai kecoa
ijo. Kelahiran satwa ini diilhami oleh atap hijau gedung DPR yang bila
dihayati memang mirip sayap kecoa. Tokek juga sering muncul untuk
menggambarkan teka-teki politik dan ketidakpastian keputusan. Tak
terasa, pada masa sekarang kita tiba-tiba kehilangan kegagahan banteng,
kecekatan elang, dan keanggunan garuda. Untung kita masih punya....komodo.

Untuk mengakhiri perjumpaan, bolehlah saya sebagai komedian mengusung
ucapan Thomas Carlyle ini: manusia adalah satwa yang menggunakan alat.
Adakah kata-kata sejarawan dan penulis Irlandia abad ke-19 itu merujuk
ke taman margasatwa bangsa Indonesia?" Ratusan juta penonton Stand-Up
Comedy yang berwajah merana itu terdiam. Mereka tidak tahu di mana
lucunya. Karena yang mereka pikirkan: adakah satwa-satwa sontoloyo itu
akan menyerbu rumahnya?

http://epaper.korantempo.com/PUBLICATIONS/KT/KT/2011/12/17/ArticleHtmls/Satwa-Indonesia-dalam-Stand-Up-Comedy-17122011009010.shtml?Mode=1

--
"One Touch In BOX"

To post : koran-digital@googlegroups.com
Unsubscribe : koran-digital-unsubscribe@@googlegroups.com

"Ketika berhenti berpikir, Anda akan kehilangan kesempatan"-- Publilius Syrus

Catatan : - Gunakan bahasa yang baik dan santun
- Tolong jangan mengiklan yang tidak perlu
- Hindari ONE-LINER
- POTONG EKOR EMAIL
- DILARANG SARA
- Opini Anda menjadi tanggung jawab Anda sepenuhnya dan atau
Moderator Tidak bertanggung Jawab terhadap opini Anda. -~----------~----~----~----~------~----~------~--~------------------------------------------------------------
"Bersikaplah sopan, tulislah dengan diplomatis, meski dalam deklarasi perang sekalipun seseorang harus mempelajari aturan-aturan kesopanan." -- Otto Von Bismarck.
"Lidah orang berakal dibelakang hatinya, sedangkan hati orang dungu di belakang lidahnya" -Ali bin Abi Talib.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar