Jumat, 16 Desember 2011

[Koran-Digital] Ramadhani Ray: Penyandang Disabilitas Juga Memiliki Hak yang Sama

Penyandang Disabilitas Juga Memiliki Hak yang Sama
Ramadhani Ray, PENYANDANG DISABILITAS, ALUMNUS UNIVERSITAS PADJADJARAN,
BANDUNG, AKTIF DI YAYASAN MITRA NETRA JAKARTA

Kata cacat tentu mengacu ke- pada sesuatu yang rusak dan layak untuk
dibuang. Padahal penyandang disabilitas hanya memerlukan sarana pendukung.

Misalnya, dengan menyediakan komputer yang dilengkapi pe- rangkat lunak
pembaca layar, tunanetra akan dapat bekerja layaknya orang normal.
Peringatan Hari Penyandang Cacat pada 3 Desember telah berlalu. Gemanya
kurang terasa. Padahal mo mentum itu dapat mengingatkan kita mengenai
hak hak penyandang disabilitas di negeri ini yang masih terabaikan.
Bagaimanapun, penyandang disabilitas juga ciptaan Tuhan serta bagian
dari warga negara. Penyandang disabilitas juga memiliki hak yang sama
dalam berbagai hal. Mereka berhak menikmati fasilitas umum, memperoleh
pendidikan, serta memiliki pekerjaan. Tetapi, apakah semua itu sudah
benar-benar dapat dinikmati oleh para penyandang disabilitas? Kita
tengok saja sarana transportasi di negeri ini. Jembatan penyeberangan
yang berundak-undak, atau terlalu curam, tentu sangat sulit dilewati
oleh para pengguna kursi roda. Tombol navigasi lift di gedung-gedung
bertingkat pun masih jarang yang dilengkapi dengan huruf Braille,
sehingga menyulitkan tunanetra untuk menggunakan fasilitas tersebut
secara mandiri. Walhasil, mereka harus bergantung pada orang-orang
normal yang ada di sekeliling mereka. Namun agaknya sebagian besar dari
orang-orang tersebut tak terlalu peduli kepada kesulitan yang dialami
penyandang disabilitas. Kalaupun di dalam hati ingin membantu, terkadang
mereka segan, malu, atau tidak tahu bagaimana cara memperlakukan
penyandang disabilitas.

Dari segi pendidikan, masih banyak penyandang disabilitas yang masih
sulit memperoleh pendidikan. Minimnya jumlah sekolah luar biasa (SLB)
dan tidak siapnya infrastruktur sekolah umum untuk menerima murid
penyandang disabilitas menjadi kendala. Padahal pada dasarnya
siswa-siswi penyandang disabilitas pun dapat mengikuti pelajaran di
sekolah regular bersama siswa normal, serta mengenyam pendidikan hingga
jenjang sarjana.

Sebagai contoh, saat ini penyandang tunanetra telah dapat mengoperasikan
komputer secara mandiri dengan bantuan perangkat lunak pembaca layar.
Dengan demikian, siswa tunanetra tersebut dapat mencatat materi
pelajaran serta menyerahkan tugas kepada guru mereka dalam bentuk print
out. Siswa tunanetra juga menggunakan tape recorder untuk merekam
penjelasan guru atau dosen untuk kemudian disalin kembali ke dalam
catatan, baik dalam bentuk tulisan Braille maupun dokumen di komputer.
Sejauh pengetahuan penulis, SMAN 66 Jakarta, yang telah banyak menerima
siswa tunanetra, memberi pinjaman fasilitas laptop dan tape recorder
kepada siswa tunanetra yang kurang mampu agar dapat mengikuti pelajaran.
Fasilitas tersebut harus dikembalikan kepada sekolah jika mereka lulus,
agar dapat dimanfaatkan kembali oleh adik-adik kelas mereka. Agaknya,
tindakan semacam ini perlu ditiru oleh sekolah-sekolah lain. Di samping
siswa penyandang disabilitas dapat memperoleh pengetahuan dan pergaulan
yang lebih luas, hal ini dapat mendidik siswa-siswa normal agar dapat
berinteraksi dengan teman-teman mereka yang memiliki keterbatasan,
sehingga tumbuh kepedulian dan pengertian dalam diri mereka sejak dini
terhadap penyandang disabilitas.

Setelah menempuh pendidikan, penyandang disabilitas pun membutuhkan
pekerjaan untuk menafkahi diri dan keluarga.
Tetapi masih sangat banyak perusahaan yang enggan menerima karyawan
penyandang disabilitas. Hal ini mungkin karena paradigma masyarakat yang
masih menganggap penyandang disabilitas adalah orang cacat. Kata cacat
tentu mengacu ke pada sesuatu yang rusak dan layak untuk dibuang.
Padahal penyandang disabilitas hanya memerlukan sarana pendukung.
Misalnya, dengan menyediakan komputer yang dilengkapi perangkat lunak
pembaca layar, tunanetra akan dapat bekerja layaknya orang normal.
Tetapi sepertinya masih sangat banyak perusahaan yang enggan
mengeluarkan dana untuk memberikan fasilitas tambahan tersebut.

Stasiun televisi Indosiar memiliki karyawan penyandang disabilitas yang
cukup banyak. Mereka menerima berbagai jenis disabilitas yang
ditempatkan di berbagai divisi, sesuai dengan kemampuan dan kondisi
disabilitas mereka. Beberapa perusahaan lain juga turut berpartisipasi
meski dengan jumlah karyawan disabilitas yang tidak terlalu banyak.
Tetapi, sejauh pengamatan penulis, kesempatan-kesempatan kerja semacam
ini justru lebih banyak dibuka oleh pihak swasta. Lantas, ke mana
pemerintah kita?
Penyandang disabilitas tak hanya menjadi tanggung jawab Kementerian Sosial.
Alangkah baiknya jika departemen-departemen lain juga turut
berpartisipasi dengan membuka kesempatan kerja bagi penyandang
disabilitas. Dengan demikian, karyawan-karyawan di lembaga pemerintah
pun akan terbiasa berinteraksi dengan penyandang disabilitas.

Masyarakat inklusif yang mampu menerima segala bentuk perbedaan tidak
akan terwujud tanpa peran masyarakat itu sendiri. Percuma saja jika
pemerintah hanya berceloteh tanpa melakukan tindakan apa pun. Mulailah
dengan melakukan penyuluhan kepada anggota masyarakat, seperti pendidik
dan pemilik perusahaan, untuk memberi kesempatan kepada penyandang
disabilitas. Berikan pengetahuan kepada mereka mengenai apa yang
sebenarnya dapat dilakukan oleh setiap penyandang disabilitas. Perbaikan
fasilitas umum yang accessible juga sangat diperlukan. Para pejabat
negara yang telah sering bepergian ke luar negeri tentu cukup mengetahui
seperti apa fasilitas umum di mancanegara, yang amat memperhatikan
penyandang disabilitas.
Selain itu, pemerintah perlu memberi pendidikan kepada masyarakat umum
mengenai bagaimana cara memperlakukan penyandang disabilitas. Jika telah
ada iklan layanan masyarakat yang berkaitan dengan program KB, wajib
sekolah, atau pun HIV/AIDS, mengapa iklan serupa tak dibuat untuk
penyandang disabilitas? Sampaikan kepada masyarakat bagaimana cara
membantu warga tunanetra menyeberang jalan, bagaimana cara berinteraksi
jika bertemu dengan pe nyandang tunarungu, dan sebagainya.

Jika pejabat negara mampu mengeluarkan uang miliaran rupiah untuk
berpesta-pora sekadar menikahkan anak-anak mereka, tentu seharusnya
negara ini memiliki cukup dana untuk melakukan perbaikan demi
mensejahterakan rakyatnya.
Pemimpin yang baik tentu akan menjadi contoh untuk rakyatnya. Karena
itu, masyarakat inklusif akan terbentuk jika pemerintah menjadi
lokomotif. Pembukaan UUD '45 menyebutkan bahwa pemerintah berkewajiban
untuk memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa.
Hal ini tentu mengacu kepada seluruh warga negara, tak terkecuali para
penyandang disabilitas. Semoga Konvensi Hak Penyandang Disabilitas yang
telah diratifikasi oleh pemerintah pada 18 Oktober lalu tak hanya
menjadi janji hitam di atas putih, namun juga dapat direalisasi
secepatnya dan sebaik-baiknya.

http://epaper.korantempo.com/PUBLICATIONS/KT/KT/2011/12/17/ArticleHtmls/Penyandang-Disabilitas-Juga-Memiliki-Hak-yang-Sama-17122011010004.shtml?Mode=1

--
"One Touch In BOX"

To post : koran-digital@googlegroups.com
Unsubscribe : koran-digital-unsubscribe@@googlegroups.com

"Ketika berhenti berpikir, Anda akan kehilangan kesempatan"-- Publilius Syrus

Catatan : - Gunakan bahasa yang baik dan santun
- Tolong jangan mengiklan yang tidak perlu
- Hindari ONE-LINER
- POTONG EKOR EMAIL
- DILARANG SARA
- Opini Anda menjadi tanggung jawab Anda sepenuhnya dan atau
Moderator Tidak bertanggung Jawab terhadap opini Anda. -~----------~----~----~----~------~----~------~--~------------------------------------------------------------
"Bersikaplah sopan, tulislah dengan diplomatis, meski dalam deklarasi perang sekalipun seseorang harus mempelajari aturan-aturan kesopanan." -- Otto Von Bismarck.
"Lidah orang berakal dibelakang hatinya, sedangkan hati orang dungu di belakang lidahnya" -Ali bin Abi Talib.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar