Kamis, 08 Desember 2011

[Koran-Digital] Toeti Adhitama : Kepeloporan yang Bermartabat

Reformasi yang terus bergulir membutuhkan kepeloporan karena kita ditantang waktu.

Sikap kepeloporan demi terciptanya kehidupan sosial-politik bermartabat yang dijanjikan pemimpin baru KPK mudah- mudahan menjadi kenyataan.”

TERPILIHNYA tokoh muda Abraham Sa mad sebagai Ketua KPK dengan jumlah suara luar biasa (43), jika dibandingkan dengan perolehan tokoh lain yang lebih senior, tidak disangka banyak pihak.
Timbul berbagai spekulasi, baik optimistis maupun pesimistis. Namun, dia dengan tegas menunjukkan sikapnya: mundur kalau tidak berhasil pada tahun pertama. Tekad sang pelopor.

Agar bisa terwujud, suatu ideologi memerlukan pemikirpemikir yang secara jujur mampu menginterpretasikan sejarah dan mampu menjamin program mereka sejalan dengan aspirasi masyarakat, tanpa mengabaikan tradisi dan sesuai dengan kepercayaan masyarakat maupun dengan gejala-gejala umum yang berlaku di negeri sendiri dan di dunia. Dalam melaksanakan misi, ada dua visi yang menanti: suatu utopia bila program itu sukses, atau kegalauan bila program itu gagal.

Tentu hal itu perlu pengorganisasian dan pengembangan norma-norma yang dipatuhi para pendukungnya, sebab suatu cita-cita hanya bisa terwujud bila identitas, rancangan, dan jalurnya jelas. Bagi awam, organisasi semacam itu sering tampak terlalu idealistis.
Lebih-lebih bila gerakan ini dirasa akan membawa perubahan yang bisa mengganggu keselarasan dan ketertiban yang selama ini dikenal. Tak pelak, hidup matinya suatu cita-cita bergantung pada kepekaan para pelopor dalam membaca suasana. Juga, keberanian mereka untuk menerobos tentangan dan menghadapi tantangan. Mereka mungkin saja berhasil, tetapi bisa saja gagal karena selain tantangan dari luar, cita-cita itu sendiri membuka forum adu pemikiran di kalangan dalam.

Para pelopor timbul tenggelam sesuai dengan tuntutan.
Namun, mereka akan menjadi sumber inspirasi, bahkan bisa menjadi unsur integrasi, karena merekalah lambang-lambang pengabdian total bagi terwujudnya suatu cita-cita. Andai kata nantinya gagal, cita-cita besar mereka akan dirasa dan dikenang selamanya. Mereka pergi sebagai martir.
Harimau mati meninggalkan belang Dramawan Irlandia, Bernard Shaw (1856-1950), pernah berkata, “Some men see things as they are and say, why? I dream things that never were and say, why not?“ Namun, simak pula kata Abdal Ali Hadidar, seorang sufi, bahwa banyak orang membuat kebajikan, atau bergaul dengan orang-orang bijaksana dengan pengharapan bahwa itulah cara menyempurnakan diri. Mereka bermimpi. Dengan mengatasnamakan agama, banyak tindakan biadab dilakukan.

Untuk berusaha berbuat baik, orang justru berbuat sesuatu yang justru menciptakan kejahatan.

Sufi Hadidar mencoba menyampaikan pendapat, hendaknya manusia waspada terhadap dorongan-dorongan yang tanpa disadari terbukti malah menjerumuskannya.

Misalnya, mungkin saja terpilihnya Abraham Samad dan kelompoknya akan melemahkan posisi KPK, seperti yang dituduhkan sebagian orang; sekalipun Abraham menolaknya dengan tegas. Dengan tegar dia menyatakan, sikap baik Komisi III DPR kepada dirinya dan kelompoknya tentu tidak mengharapkan balas budi; tidak akan mentransformasikan fungsinya dan membuat mereka mengabaikan harapan masyarakat. Kebaikan yang dilakukan orang dengan memilih kelompoknya tidak akan merusak komitmen jajaran baru pimpinan KPK.

Membangun kembali rasa percaya Orde Baru menciptakan stabilitas terpanjang sejak proklamasi kemerdekaan. Selama 32 tahun, kita menyaksikan dan relatif menikmati kemajuan ekonomi secara berangsur dari GNP per kapita per tahun US$68 pada awal kemerdekaan menjadi US$1.000 pada akhir Orde Baru. Namun bukannya tanpa pengorbanan. Demi pembangunan ekonomi, stabilitas dijaga ketat. Demi stabilitas, banyak dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara dibekukan, kalau bukan dimandulkan. Banyak faset kehidupan diabaikan.

Pemerintah waktu itu menjadi sumber perekonomian negara. Di sisi lain, kehidupan politik rakyat mandul. Dengan pikiran dan perasaan membatu, kita mendengar jargon-jargon politik yang ‘lain bunyi lain isi’.

Ungkapan-ungkapan kepedulian bagi sesama, dengan rentetan keputusan dan peraturan yang mendukungnya, menjadi semacam tabir yang menutupi kejadian-kejadian menyimpang. Di bawah sadar kita tahu, kemunafi kan sedang merajalela. Media massa yang berfungsi menjaga nurani bangsa cenderung terkooptasi.

Beruntunglah kita, situasi itu tidak langgeng. Datanglah masa reformasi. Namun, pemandulan pikiran-pikiran modern dan pemangkasan kreativitas yang tumbuh dari bawah dulu telah membuat kita sulit bangkit lagi. Kita sudah terbiasa menunggu tuntunan. Yang mengusik pikiran, apakah tidak ada lagi

gerakan-gerakan orang muda usia 30-45 tahun yang memiliki nyali seperti pada masa revolusi dulu? Sebaliknya, sekarang malah ada tuduhan, mereka sudah terpolusi oleh korupsi dan mandul politik akibat pemandulan massal selama tiga dekade lebih. Itu bukti bahwa golongan muda tidak pernah diberi kesempatan berpikir secara politik.

Bayangkan betapa bahayanya kita menghadapi globalisasi karena kevakuman pemikiran kalangan muda ini; kalangan yang seharusnya mengambil peran utama dalam estafet kepemimpinan.

Gerakan reformasi sedang bergulir. Prosesnya akan lama.

Kita sekarang ibarat sedang masuk ke ‘kawah candradimuka’--yakni ketika masyarakat harus mengalami gemblengan dan pembersihan yang menyakitkan. Semoga saja dari era tersebut, kita bisa muncul menjadi kuat, bersih, dan bermartabat.

Hiruk pikuk yang digambarkan media massa anggaplah sebagai early warning system agar masyarakat siap mental; sekalipun dalam paparannya media massa tidak homogen. Ada yang dengan kasar dan superfi sial menohok langsung sasaran, ada yang halus dan menyindir, ada pula yang melakukan pendekatan ilmiah menda

lam. Dia bekerja sesuai dengan fungsinya, yakni mencerminkan situasi masyarakatnya, meskipun dihujat pejabat dan digugat rakyat.

Kita hendaknya berhati-hati membuat warisan budaya sebagai referensi tingkah laku manusia Indonesia baru. Sriwijaya dan Majapahit memang membuat kita bangga. Satu pertanyaan yang mengusik, mengapa negara kepulauan terluas di dunia ini begitu lama menjadi daerah jajahan? Sikap ‘manut miturut’ tidak selalu benar.

Sikap macam itulah yang membuat kita membiarkan pendudukan oleh yang beragama Hindu, sampai yang beragama Buddha, disusul Islam, lalu Kristen yang dibawa Portugis, Belanda, Inggris, dan seterusnya. Baru pada abad ke-20, berkobar rasa kebangsaan. Tegas, lugas.

Indonesia pun mencatat sejarah Orde Lama, Orde Baru, dan kemudian datang masa reformasi.

Reformasi yang terus bergulir membutuhkan kepeloporan karena kita ditantang waktu.

Sikap kepeloporan demi terciptanya kehidupan sosialpolitik bermartabat yang dijanjikan pemimpin baru KPK mudah-mudahan menjadi kenyataan. Kalau berhasil, salah satu langkah mengatasi korupsi akan membantu menghindarkan kemunduran demokrasi.

http://pmlseaepaper.pressmart.com/mediaindonesia/PUBLICATIONS/MI/MI/2011/12/09/ArticleHtmls/Kepeloporan-yang-Bermartabat-09122011022021.shtml?Mode=1

Tidak ada komentar:

Posting Komentar