Senin, 12 Desember 2011

[Koran-Digital] Joss Wibisono: Rawagede: Menguak Cara Den Haag Berhitung

Rawagede: Menguak Cara Den Haag Berhitung
Joss Wibisono, REDAKTUR SENIOR SIARAN INDONESIA RADIO NEDERLAND DI
HILVERSUM

Setelah permintaan maaf dan santunan ganti rugi kasus Rawagede, tibalah
saatnya kita bertanya: mengapa Belanda baru melakukannya sekarang, 64
tahun setelah kejadian? Mengapa tidak dulu-dulu? Di sini ucapan
Liesbesth Zegveld, pengacara sembilan orang yang menggugat negara
Belanda, bermakna penting karena menyiratkan jawabannya.

Kepada pers Belanda, Zegveld dengan jitu menguraikan hitung-hitungan
politis dan ekonomis Den Haag. Pertama-tama dia menganggap pemerintah
Belanda sebenarnya senang atas keputusan pengadilan yang memenangkan
para penggugat. Jumlah mereka sembilan, tetapi dua meninggal sebelum
vonis, dan satu lagi (anak korban) ditolak. Tinggallah enam orang ahli
waris, dan itu adalah jumlah yang mudah diatasi.

Makanya, vonis pengadilan cepat-cepat diterima, Den Haag tidak naik
banding dan juga cepat mencapai schikking alias berdamai dengannya
sebagai wakil para penggugat.

Liesbeth tidak mau menggunakan kata "murah"karena, baginya, hal itu
"tidak cocok"untuk konteks ini. Tapi sebenarnya itulah yang terjadi, Den
Haag tidak perlu merogoh kocek dalam-dalam tapi tetap bisa memohon maaf.
Dan karena permintaan maaf itu, pamor serta gengsi Belanda naik di
pentas internasional. Terkikislah nodanoda masa lampau yang mencorengi
ambisi Belanda menjadi markas besar pelbagai badan arbitrase internasional.

Kita tahu, selain Mahkamah Internasional yang antara lain memutuskan
Sipadan-Ligitan sebagai wilayah Malaysia, di Den Haag masih ada pelbagai
lembaga peradilan internasional lain. Mahkamah Pidana Internasional ICC,
Tribunal Yugoslavia, dan Tribunal Sierra Leone, misalnya.

Tentunya Den Haag lebih pantas menjadi tuan rumah pelbagai lembaga
internasional itu kalau bersih dari noda masa lampau.

Situs Tempo.co memberitakan, masih ada 76 kasus kejahatan perang Belanda
yang potensial bisa dibawa ke pengadilan.

Salah satunya adalah kasus Raymond Westerling, kapten keturunan
Belanda-Turki yang dianggap bertanggung jawab atas pembunuhan 40 ribu
orang di Sulawesi Selatan. Tapi pada situs yang sama juga ada berita
betapa sulit mengumpulkan

korban yang berhasil selamat. Sampai sekarang baru delapan orang yang
berhasil didata.

Di sinilah duduk masalahnya. Kelak, dalam kasus Westerling, Belanda bisa
saja kembali kalah di pengadilan. Lagi-lagi Den Haag akan harus meminta
maaf dan membayar santunan ganti rugi. Tapi berapa orang yang
benar-benar akan menerima santunan ganti rugi? Dari hari ke hari jumlah
mereka makin sedikit, sehingga bisa-bisa Den Haag kelak akan harus
meminta maaf saja, tanpa perlu membayar santunan, karena memang sudah
tidak ada lagi korbannya. Permintaan maaf yang gratis, betapa ini sebuah
prospek yang sangat menarik bagi Belanda.

Cara berhitung seperti ini baru diterapkan dalam masa jabatan Uri
Rosenthal, menteri luar negeri sekarang yang berasal dari partai
konservatif VVD. Sebelumnya, di bawah Maxime Verhagen, seorang tokoh
partai Kristen demokrat CDA, yang terjadi justru teguran kepada Koos van
Dam. Sebagai duta besar di Jakarta,Van Dam, yang hadir pada peringatan
di Balongsari, Desember 2008, sebenarnya sudah menyampaikan permohonan
maaf. Mungkin ketakutan ditagih santunan (yang lazimnya memang
menindaklanjuti ucapan maaf), Menlu Verhagen memarahi Van Dam. Tentu
bisa kita pertanyakan kualitas iman Verhagen sebagai seorang politikus
partai agama. Soal jumlah saksi dan korban yang makin sedikit ini juga
berlaku di Belanda. Sebab, di Belanda, kita tentunya bicara tentang para
pelaku, yaitu para veteran yang juga makin sedikit jumlahnya. Salah
satunya, secara anonim dan lewat seorang dokter, sempat muncul di
televisi Belanda, dalam acara Altijd Wat (Ada-ada Saja) disiarkan akhir
Oktober lalu oleh televisi NCRV. Kepada dokter yang juga veteran dan
pernah bertugas di Indonesia, dia mengaku melakukan penembakan di
Rawagede seminggu sebelum 9 Desember 1947, dan menurut dia korban tewas
mencapai 120 orang. Konon kabarnya, veteran ini sekarang sakit keras.

Bisa jadi dia adalah pelaku terakhir pembantaian Rawagede yang masih hidup.

Yang lain sudah meninggal, termasuk pemimpin tertinggi para veteran
Belanda: Pangeran Bernhard, ayahanda Ratu Beatrix. Ketika Bernhard masih
hidup, sulit dibayangkan pemerintah Belanda akan bertindak seperti
sekarang. Pengungkapan kejahatan perang di Indonesia sebenarnya sudah
terjadi pada 1969 ketika dalam acara Achter het Nieuws (Di Balik Berita)
disiarkan oleh televisi VARA.

Empat puluh tahun lebih tidak diambil tindakan apa-apa terhadap para
veteran ini. Lobi mereka memang sangat kuat. Dan aksi mereka juga tak
kenal lelah. Salah satunya, pada awal 1990-an, mereka berhasil

memaksa sejarawan Loe de Jong yang menulis sejarah Belanda selama Perang
Dunia Kedua supaya tidak menggunakan istilah oorlog misdaden (kejahatan
perang) bagi tindakan tentara Belanda di Indonesia dalam buku sejarah
Belanda.

Tapi para veteran ini pun lekang oleh masa. Sejak Pangeran Bernhard
tutup usia pada Desember 2004, mereka pun kehilangan pengaruh.
Keperkasaan mereka patah, lobi mereka mereda. Tidaklah mengherankan
kalau pada 2005 Menteri Luar Negeri Ben Bot berani menyatakan Belanda
secara moral mengakui 17 Agustus 1945 sebagai kemerdekaan Indonesia. Ben
Bot adalah Menlu Belanda pertama yang hadir pada peringatan detik-detik
proklamasi dan peringatan banjir darah di Balongsari.

Sekarang kita berharap Belanda akan benar-benar mengakui 17 Agustus 1945.
Yang mungkin tak kita ketahui adalah bahwa keputusan pengadilan Den Haag
pada 14 September itu didasarkan pada dalil bahwa banjir darah Rawagede
berlangsung ketika Indonesia masih merupakan wilayah Belanda. Bagi
pengadilan, Indonesia baru merdeka pada 27 Desember 1949. Tidaklah
mengherankan kalau pengadilan berpendapat negara tidak boleh tidak
sewenang-wenang terhadap warganya.
Dan walaupun warga itu adalah penduduk Rawagede, negara mereka bukanlah
Indonesia, melainkan Belanda.

http://epaper.korantempo.com/PUBLICATIONS/KT/KT/2011/12/13/ArticleHtmls/Rawagede-Menguak-Cara-Den-Haag-Berhitung-13122011011008.shtml?Mode=1

--
"One Touch In BOX"

To post : koran-digital@googlegroups.com
Unsubscribe : koran-digital-unsubscribe@@googlegroups.com

"Ketika berhenti berpikir, Anda akan kehilangan kesempatan"-- Publilius Syrus

Catatan : - Gunakan bahasa yang baik dan santun
- Tolong jangan mengiklan yang tidak perlu
- Hindari ONE-LINER
- POTONG EKOR EMAIL
- DILARANG SARA
- Opini Anda menjadi tanggung jawab Anda sepenuhnya dan atau
Moderator Tidak bertanggung Jawab terhadap opini Anda. -~----------~----~----~----~------~----~------~--~------------------------------------------------------------
"Bersikaplah sopan, tulislah dengan diplomatis, meski dalam deklarasi perang sekalipun seseorang harus mempelajari aturan-aturan kesopanan." -- Otto Von Bismarck.
"Lidah orang berakal dibelakang hatinya, sedangkan hati orang dungu di belakang lidahnya" -Ali bin Abi Talib.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar