Minggu, 18 Desember 2011

[Koran-Digital] J.J. Rizal: Senjakala Tuinstad Menteng

Senjakala Tuinstad Menteng
J.J. Rizal, PENELITI SEJARAH

Kalau ada yang bilang "a city without old building is like people
without remembrance," berani sumpah, itulah Jakarta.

Bagaimana tidak kalau saben-saben terdengar ada saja bangunan bersejarah
yang dilenyapkan. Belum tiga bulan setelah satu gedung tua di Cikini
yang berkaitan erat dengan sejarah proklamasi dihancurkan, sudah santer
lagi penghancuran salah satu bangunan khas Menteng dari 1930-an yang
sohor dengan sebutan "rumah cantik".

Bangunan-bangunan tua di Jakarta bukan tanpa payung hukum sebagai
warisan sejarah. Ada rupa-rupa peraturan. Sebut saja mulai Monument
Ordonantie 1931 sampai Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1992 tentang benda
cagar budaya. Bahkan untuk kawasan Menteng diperkuat lagi dengan
Keputusan Gubernur Kepala Daerah DKI Jakarta Nomor D.IV6098/d/33/1975,
yang disempurnakan lagi melalui Peraturan Daerah DKI Jakarta Nomor 9
Tahun 1999 tentang pelestarian dan pemanfaatan lingkungan dan bangunan
cagar budaya. Tapi semua tinggal di atas kertas.

"Menteng is lost,"begitu kata Adolf Heuken sebagai kronikus Jakarta,
yang lama tinggal di Menteng, pada 2001.

Heuken melihat budaya korup Pemerintah Kota DKI Jakarta membuat orang
kaya baru dan kaum menak politik bersama arsitek-arsitek dekaden leluasa
merajalela bikin bopeng wajah historis Menteng sebagai tuinstad atau
kota taman.

Para antikuarian hitam ikut ambil untung dengan jadi penadah (kalau
perlu mencuri) bagian-bagian antik rumahrumah lama Menteng yang mulai
dirobohkan atau sengaja diabaikan sampai waktunya dibangun istana-istana
kaum aristokrasi uang dan menak politik.

Adalah benar Menteng digagas para arsitek terdidik pada awal abad ke-20
sebagai permukiman modern pertama di Hindia Belanda. Tapi keterlibatan
P.A.J. Moojen (18791955) sebagai arsitek yang juga anggota Gemeenteraad
atau Dewan Kotapraja Batavia membuat Menteng mengarah pada permukiman
modern yang bukan hanya arsitekturnya ramah pada budaya lokal, tapi juga
bagaimana menempatkan suasana tropis berlingkungan hijau sebagai nilai
terpenting.

Moojen sebagai anggota Commissie van toesich op het beheer van het Land
Menteng, yang ditugasi merencanakan dan membangun Nieuw Gondangdia—nama
awal Menteng—sebagai tuinstad atau kota taman di atas tanah seluas 500
hektare. Untuk mengembangkan Nieuw Gondangdia pada 1912, Moojen
mendirikan dan menjadi Direktur NV de Bouwploeg.

Moojen mendirikan bangunan kantor yang dirancangnya sangat manis untuk
tempat bekerja para arsitek membantu mengembangkan pemikiran tentang
tuinstad Menteng sebagai terusan suasana Weltevreden atau sekitar Gambir
yang sangat dipengaruhi kota khas Jawa.

Tidak jauh dari kantor de Bouwploeg, yang sejak 1985 sampai sekarang
dipakai sebagai Masjid Cut Meutiah, Moojen juga membangun Bataviasche
Kunstkringgebouw.

Gedung inilah yang pada masa Orde Baru sohor sebagai gedung Imigrasi dan
pada 1997 ditukar-guling dengan tanah-rumah di Kemayoran

untuk dijadikan Museum Ibu Tien Soeharto. Lantas, bersama jatuhnya
Soeharto, niat itu pun lenyap dan terdengarlah sayembara serta
pelaksanaan pemugaran Kunstkringgebouw oleh pemerintah DKI Jakarta. Saat
itu banyak harapan bahwa karakter historis Kunstkringgebouw sebagai
tempat pameran seni dan temu intelektual akan dihidupkan kembali. Tapi,
ironis, setelah selesai, malah dijadikan Buddha Bar. Kabarnya itu bisa
terjadi karena keterlibatan putri dua menak politik.

Protes pun terjadi, tapi bukan pada ketersinggungan betapa telah terjadi
pelecehan atas warisan sekaligus identitas sejarah Jakarta, melainkan
pada perasaan keterlanggaran salah satu agama. Lantas Buddha Bar pun
berganti nama menjadi Bistro Boulevard.

Pencantuman nama "boulevard" memang mengingatkan pada gedung Kunstkringge

bouw itu, yang dirancang Moojen terletak pada ujung boulevard utama
daerah Nieuw Gondangdia. Tapi, ironisnya, juga melupakan nilai historis
Kunstkringgebouw, yang jelas-jelas merupakan bangunan bersejarah yang
dianggap sebagai karya pembuka arsitektur modern Indonesia.

"Moojen adalah pelopor gaya indische bouwstijl, yang baru dan dengan itu
menduduki tempat sebagai arsitek sungguhan pertama di Hindia
Belanda,"begitu H.P. Berlage sebagai mahaguru arsitek paling masyhur dan
berpengaruh di Belanda memuji Moojen. Bahkan, ketika pada 1923, Berlage
berkunjung ke Batavia, kesannya tentang cap Moojen di Menteng semakin
positif."Gaya bangunan vila modern dengan iklim tropis memberi kesan
baik,"Berlage menegaskan. Pada 1918, Moojen memang sudah meninggalkan
pengerjaan Menteng kepada sederetan nama arsitek baru, seperti F.J.
Kubatz, F.J.L. Ghijsels, J.F. van Haytema, dan H.van Essen, tapi
konsepnya terus direalisasi.

Ketika kuasa militeristik Jepang datang pada 1942, Menteng sudah
menjelma menjadi tuinstad alias kota taman dengan kekayaan arsitekturnya
yang sohor punya wajah khas tiada duanya di Asia. Bahkan, setelah
Indonesia merdeka dan Jakarta resmi menjadi ibu kota, saat semangat
anti-Belanda menguat dalam bentuk penghancuran yang berbau kolonial,
Sukarno malah meminta Menteng dipertahankan. Kaveling-kaveling di
Menteng yang masih kosong pun diisi dalam gaya pra-Perang Dunia II oleh
arsitek Han Groenewegen.

Tapi, bersama dijatuhkannya Sukarno dan bangkitnya Soeharto, pelan-pelan
Menteng sebagai city planning pertama Ibu Kota Jakarta mulai digerogoti
oleh kaum aristokrasi uang yang sohor disebut orang kaya baru dan me nak
politik penderita hongerodeem atau busung lapar sejarah. Mereka tidak
mengerti old is gold, tapi old is odd. Dalam konteks Menteng, sama
sekali tiada pemahaman saving the past for our future, karena mereka
lebih melihatnya sebagai investasi politik di masa depan yang
menjanjikan jika dapat berada di lingkaran terdekat kekuasaan Orde Baru.

Saat itu "Prabu"Soeharto sebagai penguasa Orde Baru memang tengah
membangun "keraton"di Jalan Cendana dan segera saja para abdinya
berlomba-lomba memasuki kawasan negara gung Menteng. Apalagi pada
1970-an itu juga ada oil boom, yang membuat para elite mandi uang.

Maka bukan hanya para elite kekuasaan, tapi orang kaya baru pun
berbondong-bondong memasuki kawasan Menteng. Sejak itulah apa yang
diceritakan Firman Lubis sebagai Anak Menteng dalam sebuah
kenang-kenangannya, Jakarta 1960-an, bahwa daerah mainnya itu masih
relatif bersih dan sepi, mulai berganti dengan keriuhan lalu lintas.

Firman terutama menekankan bagaimana jejak Menteng sebagai tuinstad
dengan rumah ramah lingkungan pelanpelan menghilang. Banyak rumah
peninggalan zaman kolonial dirombak, direnovasi, bahkan dihancurkan
diganti dengan rumah-rumah berarsitektur "aneh-aneh"dan norak.

Tindakan ini menandai era baru Menteng yang mulai dikuasai orang kaya
baru dan para menak politik baru yang kaya tapi berselera rendah, juga
arogan karena rumahnya dibangun tanpa meninggalkan secuil tanah pun
untuk pekarangan. Hilang pula ikon-ikon penting Menteng, seperti toko
Li, Oranje Nassau Apotheek, Lapangan Voetbalbond Indische Omstreken, dan
gedung apartemen unik di ujung Jalan Sutan Sjahrir yang sangat penting
untuk sejarah arsitektur. Menjamur pembangunan gedung modern yang
terlalu tinggi dan besar di Menteng dan sekitarnya.

Menteng dalam masa senjakala. Is Menteng lost? Ya, jika pemerintah dan
warga Jakarta diam tanpa kepedulian dan keterlibatan menolak kota taman,
tuinstad Menteng yang historis sebagai identitas diubah menjadi
dierentuin alias kebun binatang utama tempat para binatang politik dan
binatang ekonomi mempertontonkan peradaban rendah mereka.

http://epaper.korantempo.com/PUBLICATIONS/KT/KT/2011/12/19/ArticleHtmls/Senjakala-Tuinstad-Menteng-19122011012014.shtml?Mode=1

--
"One Touch In BOX"

To post : koran-digital@googlegroups.com
Unsubscribe : koran-digital-unsubscribe@@googlegroups.com

"Ketika berhenti berpikir, Anda akan kehilangan kesempatan"-- Publilius Syrus

Catatan : - Gunakan bahasa yang baik dan santun
- Tolong jangan mengiklan yang tidak perlu
- Hindari ONE-LINER
- POTONG EKOR EMAIL
- DILARANG SARA
- Opini Anda menjadi tanggung jawab Anda sepenuhnya dan atau
Moderator Tidak bertanggung Jawab terhadap opini Anda. -~----------~----~----~----~------~----~------~--~------------------------------------------------------------
"Bersikaplah sopan, tulislah dengan diplomatis, meski dalam deklarasi perang sekalipun seseorang harus mempelajari aturan-aturan kesopanan." -- Otto Von Bismarck.
"Lidah orang berakal dibelakang hatinya, sedangkan hati orang dungu di belakang lidahnya" -Ali bin Abi Talib.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar