Kamis, 15 Desember 2011

[Koran-Digital] Effnu Subiyanto: Nunun dan Misteri Kekuatan Besar

Nunun dan Misteri Kekuatan Besar
Effnu Subiyanto, MAHASISWA PROGRAM DOKTOR ILMU EKONOMI FEB UNIVERSITAS
AIRLANGGA

Nunun Nurbaetie akhirnya N dapat dipulangkan ke Tanah Air pada Sabtu, 10
Desember lalu. Tersangka mahkota kasus cek pelawat dalam pemilihan
Deputi Gubernur Senior BI ini ditangkap oleh Royal Police Thailand pada
Rabu, 7 Desember 2011, karena kasus pemalsuan paspor.
Tertangkapnya Nunun mengkonfirmasi kembali apakah memang benar ada
kekuatan misterius besar seperti diungkapkan oleh Ketua KPK ketika itu,
Busyro Muqoddas.

Ketika lebih dari 100 negara di dunia mengikrarkan diri dalam United
Nations Global Compact (UNGC) 1999 yang dideklarasikan sendiri oleh
Sekretaris Jenderal PBB Kofi Annan (Heslin & Ochoa, 2008), prinsip yang
ke-10 jelas menyebutkan komitmen memerangi korupsi tanpa pandang bulu.

Jadi, sebetulnya kekuatan besar misterius yang disangkakan oleh Busyro
Muqoddas tidak ada dan tidak mendasar. Kekuatan besar itu tidak akan ada
artinya dibanding kekuatan sistem dan struktural lebih dari 100 negara
berpengaruh di dunia. Deskripsi yang lebih tepat dari kalimat Busyro
adalah KPK sedang memainkan setting untuk tujuan tertentu.
Selebritas hukum Sepak terjang KPK akhir-akhir ini memang patut diawasi
oleh publik. Ketika kekuasaan demikian besar dipikul di pundak lembaga
superbody ini, penyalahgunaan kewenangan potensial terjadi.
Pengalaman selalu membuktikan bahwa excessive power akan menciptakan
abuse of power (Chomsky, 2007). Dalih pencarian alat bukti yang belum
ada kerap dilontarkan untuk menutupi aksi tebang pilih.

Itulah sebabnya, KPK akhir-akhir ini hanya mampu memberantas kasus-kasus
yang belum memiliki dampak besar. Sepanjang eksistensinya di republik
ini, KPK baru memenjarakan 40 orang anggota DPR, 8 mantan menteri,
seorang mantan gubernur BI, 4 deputi gubernur BI, 7 gubernur, 6
komisioner KPU, KY, dan KPPU, 3 dubes, 2 konjen, 2 advokat, 50 pejabat
eselon I dan II, 26 bupati, 30 anggota DPRD, dan 40 pejabat BUMN/ BUMD.
Kebanyakan adalah kasus remeh-temeh dan tidak sebanding dengan level
keahlian KPK.

Baru-baru ini pada 9 Desember, bertepatan dengan momentum Hari
Anti-Korupsi, KPK menjatuhkan vonis tersangka kepada Wa Ode Nurhayati.
Politikus whistle blower asal FPAN yang juga anggota Badan Anggaran ini
disangka melanggar pasal 5, pasal 11, dan pasal 12 Undang-Undang Nomor
31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dengan ancaman
maksimal 20 tahun penjara. Vonis ini adalah ironi tersendiri karena Wa
Ode sudah demikian kooperatif ketika membuka aib anggaran ke publik.
Akan semakin banyak orang enggan menjadi whistle blower ketika hukum
sama sekali tidak berpihak kepada mereka. Sebaliknya, kasus megaskandal
BLBI, Century, Wisma Atlet, Kemenakertrans, dan cek pelawat BI kini
hampir tidak menunjukkan kemajuan berarti.

Persoalannya, dalam penyelesaian hukum, bahkan ahli hukum senior atau
institusi KPK yang luar biasa itu sampai detik ini tidak mampu membuat
time table penyelesaian perkara. Fakta ini menjadi grey area sistem
hukum dan merupakan

diskresi luar biasa atas kepastian hukum yang sudah remuk ini.

Ini tentu saja keuntungan besar bagi pemain-pemain hukum, mereka bisa
saja melakukan "manajemen" hukum untuk tujuan tertentu atau kepentingan
popularitas. Sangat seringnya polemik hukum ditayangkan live di media
elektronik akan membuat tersangka, penyidik, pembela menjadi selebritas
hukum. Gayus, misalnya

menjadi terkenal karena penyelesaian kasusnya yang berbelit-belit.

Pengacara Nazaruddin malah harus di-booking jauh-jauh hari untuk
melayani acara live.

Hukum itu sendiri kini sama misterinya dengan pernyataan Busyro,
"kekuatan besar" karena akan menjadi amunisi untuk "kepentingan besar".
Jika lepas dua-duanya, setidak-tidaknya menjadi selebritas besar yang
akan menaikkan pamor electoral vote-nya.

pada 19 Desember, tampaknya akan meninggalkan kesan bagus kepada publik.
Penangkapan Nunun yang diagendakan oleh Samad akhirnya dipercepat oleh
Busyro.
Pertanyaannya, apakah memang harus demikian untuk mempercepat
penyelesaian perkara. Harus ditawarkan dulu kepada orang lain sebagai
alternatif agar kerja KPK bisa serius? Perlukah KPK harus disituasikan
dalam arena kompetisi terus-menerus?
Jika mental para penyidik KPK sudah demikian, tugas Abraham Samad tentu
luar biasa berat. Di samping tumpukan perkara menggunung, menjanjikan
penyelesaian perkara hanya setahun, Samad juga harus melakukan
re-engineering mental pimpinan dan seluruh staf KPK yang sudah
terkooptasi politik praktis. Seriuslah KPK, jauhi publikasi, hindari lip
service. Rakyat benarbenar menunggu ditegakkannya hukum dengan
sungguh-sungguh.
Sampai kapan bangsa ini terhindar dari korupsi? Perlukah generasi muda
mati membakar diri seperti Sondang Hutagalung karena frustrasi terhadap
keadilan? Vonis ini adalah ironi tersendiri, karena Wa Ode sudah
demikian kooperatif ketika membuka aib anggaran ke publik. Akan semakin
banyak orang enggan menjadi whistle blower ketika hukum sama sekali
tidak berpihak kepada mereka.

http://epaper.korantempo.com/PUBLICATIONS/KT/KT/2011/12/16/ArticleHtmls/Nunun-dan-Misteri-Kekuatan-Besar-16122011012013.shtml?Mode=1

--
"One Touch In BOX"

To post : koran-digital@googlegroups.com
Unsubscribe : koran-digital-unsubscribe@@googlegroups.com

"Ketika berhenti berpikir, Anda akan kehilangan kesempatan"-- Publilius Syrus

Catatan : - Gunakan bahasa yang baik dan santun
- Tolong jangan mengiklan yang tidak perlu
- Hindari ONE-LINER
- POTONG EKOR EMAIL
- DILARANG SARA
- Opini Anda menjadi tanggung jawab Anda sepenuhnya dan atau
Moderator Tidak bertanggung Jawab terhadap opini Anda. -~----------~----~----~----~------~----~------~--~------------------------------------------------------------
"Bersikaplah sopan, tulislah dengan diplomatis, meski dalam deklarasi perang sekalipun seseorang harus mempelajari aturan-aturan kesopanan." -- Otto Von Bismarck.
"Lidah orang berakal dibelakang hatinya, sedangkan hati orang dungu di belakang lidahnya" -Ali bin Abi Talib.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar