Kamis, 08 Desember 2011

[Koran-Digital] EDITORIAL Utang Jangan Jadi Beban

Pemerintah harus mewaspadai utang luar negeri.

Kemampuan kita membayar utang perlu dilihat lantaran kenaikannya yang
signifikan.

Utang luar negeri itu telah mencapai Rp 1.754,9 triliun. Bila tidak
segera mencari solusi, bukan tidak mungkin negara ini sampai pada
keadaan tak mampu membayar utang.

Dibandingkan dengan produk domestik bruto (PDB), utang luar negeri
Indonesia sebesar 27,3 persen. Proporsi ini memang sudah jauh menurun.
Pada 2006, rasio utang luar negeri terhadap PDB masih 39 persen. Hanya,
pemerintah tak boleh terkecoh oleh angka ini. Soalnya, jika dilihat dari
parameter keseimbangan primer (pendapatan negara dikurangi belanja dalam
anggaran pendapatan dan belanja negara di luar pembayaran cicilan bunga
utang bunga), keadaannya mengkhawatirkan.

Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Arif Budimanta, sudah berkali-kali
mengingatkan pemerintah soal itu. Keseimbangan primer anjlok 7.000
persen dari Rp 50,79 triliun pada 2005 menjadi hanya Rp 0,73 triliun
pada tahun ini. Sebaliknya, pembayaran bunga utang lima tahun terakhir
melonjak 200 persen dari Rp 65,2 triliun menjadi Rp 116,4 triliun pada
2011. Jika melihat angka-angka ini, kita patut khawatir pada suatu titik
pemerintah benar-benar tak punya cukup dana untuk membayar utang.

Itu sebabnya, pemerintah harus segera memperbaiki manajemen utang luar
negeri. Prinsip gali lubang tutup lubang jelas tidak cocok lagi
diterapkan karena hanya menimbulkan beban baru yang lebih besar. Apalagi
percepatan pembayaran utang yang diambil pemerintah dalam beberapa tahun
terakhir juga tak banyak mengurangi beban utang kita.

Mengalihkan pembiayaan pembangunan ke utang dalam negeri merupakan
terobosan yang lain. Tapi pilihan ini juga tidak memberikan solusi yang
tepat, karena beban bunga pinjaman dalam negeri jauh lebih tinggi
dibanding bunga utang luar negeri.

Resep yang paling manjur tentu dengan memperbaiki struktur APBN,
terutama di sisi belanja. Kita perlu mengurangi subsidi bahan bakar
minyak. Bayangkan, anggaran subsidi BBM tahun ini naik Rp 31 triliun
menjadi Rp 129,7 triliun. Tahun depan subsidi jelas akan naik lagi
karena penjualan mobil diperkirakan akan mencapai 1 juta unit.

Orang tentu bertanya-tanya, sampai kapan pemerintah bertahan tidak
menaikkan harga BBM. Melihat dampaknya terhadap anggaran, kebijakan
populis ini sungguh tidak masuk akal. Utang yang memiliki biaya dana
(cost of fund) tinggi justru digunakan untuk membiayai kegiatan
konsumtif. Jika pemerintah berani menaikkan harga BBM, beban subsidi ini
bisa dialihkan ke anggaran infrastruktur. Dengan demikian, utang
berbiaya tinggi itu bisa dimanfaatkan untuk kegiatan produktif.

Lain halnya bila pemerintah mampu mendongkrak pertumbuhan ekonomi lewat
berbagai cara, seperti perbaikan iklim investasi dan pengurangan ekonomi
biaya tinggi. Tapi, selama pertumbuhan yang luar biasa itu tak terjadi,
utang luar negeri malah menjadi beban.

http://epaper.korantempo.com/PUBLICATIONS/KT/KT/2011/12/09/ArticleHtmls/EDITORIAL-Utang-Jangan-Jadi-Beban-09122011003021.shtml?Mode=1

--
"One Touch In BOX"

To post : koran-digital@googlegroups.com
Unsubscribe : koran-digital-unsubscribe@@googlegroups.com

"Ketika berhenti berpikir, Anda akan kehilangan kesempatan"-- Publilius Syrus

Catatan : - Gunakan bahasa yang baik dan santun
- Tolong jangan mengiklan yang tidak perlu
- Hindari ONE-LINER
- POTONG EKOR EMAIL
- DILARANG SARA
- Opini Anda menjadi tanggung jawab Anda sepenuhnya dan atau
Moderator Tidak bertanggung Jawab terhadap opini Anda. -~----------~----~----~----~------~----~------~--~------------------------------------------------------------
"Bersikaplah sopan, tulislah dengan diplomatis, meski dalam deklarasi perang sekalipun seseorang harus mempelajari aturan-aturan kesopanan." -- Otto Von Bismarck.
"Lidah orang berakal dibelakang hatinya, sedangkan hati orang dungu di belakang lidahnya" -Ali bin Abi Talib.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar