Jumat, 09 Desember 2011

[Koran-Digital] EDITORIAL Setelah Belanda Meminta Maaf

Permintaan maaf pemerintah Belanda kepada korban tragedi Rawagede
kemarin bukan hanya menunjukkan bahwa kejahatan kemanusiaan pada masa
lalu tetap harus dipertanggungjawabkan. Makna lebih penting dari
permintaan maaf itu adalah bahwa tak boleh terjadi lagi kejahatan
serupa, apa pun alasannya. Situasi perang jelas-jelas bukanlah alasan
melakukan kekejaman.

Inilah untuk pertama kali pemerintah Belanda meminta maaf secara resmi
atas apa yang terjadi di Rawagede, Jawa Barat, 64 tahun lalu. Dalam
tragedi ini, 431 orang tewas (versi pemerintah Belanda 150 tewas)
diberondong pasukan Belanda yang mengejar Kapten Lukas Kustaryo, pejuang
kemerdekaan Indonesia. Kegagalan menemukan Lukas membuat pasukan Belanda
mengamuk, dan memerintah semua warga desa berdiri, lalu memberondong
mereka dengan senapan mesin.

Permintaan maaf secara resmi yang disampaikan Duta Besar Belanda untuk
Indonesia, Tjeerd de Zwaan, itu melengkapi putusan Mahkamah Belanda,
September lalu, yang mengabulkan gugatan para korban Rawagede. Dalam
putusannya, Mahkamah mengharuskan pemerintah Belanda membayar kompensasi
kepada sembilan janda korban pembantaian yang masih hidup.

Bagi masyarakat Indonesia, keputusan itu membawa makna penting bukan
hanya karena janda para korban mendapat kompensasi masing-masing Rp 240
juta. Kehilangan nyawa keluarga tak bisa digantikan dengan uang sebesar
apa pun. Namun kompensasi itu menunjukkan keadilan telah ditegakkan.Tak
ada kejahatan yang boleh dilupakan, bahkan kalaupun para korban
memaafkannya.

Maka makna penting dari permintaan maaf pemerintah Belanda itu adalah
bahwa Belanda sesungguhnya mengakui telah melakukan kejahatan
kemanusiaan.Tentu saja pengakuan itu belum pasti terjadi jika Mahkamah
Belanda tidak mengabulkan gugatan para korban Rawagede. Namun eksekusi
permintaan maaf dan kompensasi yang dilakukan dengan cepat itu
menunjukkan pemerintah Belanda serius melaksanakan perintah pengadilan.

Permintaan maaf itu juga menjadi penting untuk mengukuhkan fakta sejarah
yang sempat diingkari oleh Belanda. Sebelum 2005, pemerintah Belanda
tidak mengakui kemerdekaan Indonesia diraih pada 17 Agustus 1945. Bagi
pemerintah Belanda, kemerdekaan Indonesia baru terjadi pada 27 Desember
1949, saat soevereiniteitsoverdracht (penyerahan kedaulatan)
ditandatangani di Istana Dam, Amsterdam.

Dengan permintaan maaf atas tragedi Rawagede itu, pemerintah Belanda
memperteguh pengakuannya bahwa Indonesia sudah berdaulat sejak 17
Agustus 1945.

Ini sekaligus juga berarti pengakuan bahwa pembantaian di Rawagede
terjadi di wilayah kedaulatan Indonesia, bukan aksi polisional (tindakan
polisi untuk mengatasi kerusuhan) seperti yang sebelumnya diklaim oleh
pemerintah Belanda.

Kita menghargai sikap pemerintah Belanda tersebut.

Di sisi lain, momen ini juga membuka peluang bahwa kejadian serupa di
masa lalu tetap bisa diminta pertanggungjawabannya. Salah satunya
peristiwa pembantaian oleh pasukan khusus Belanda pimpinan Raymond
Westerling di Makassar pada periode Desember 1946Februari 1947. Menuntut
tanggung jawab atas pembantaian dengan korban jauh lebih besar daripada
tragedi Rawagede ini bukan berarti mencari-cari kesalahan pada masa
lalu, tapi demi pelurusan sejarah dan pengakuan telah terjadi tragedi
kemanusiaan yang sesungguhnya tak terperikan.

http://epaper.korantempo.com/PUBLICATIONS/KT/KT/2011/12/10/ArticleHtmls/Setelah-Belanda-Meminta-Maaf-10122011003016.shtml?Mode=1

--
"One Touch In BOX"

To post : koran-digital@googlegroups.com
Unsubscribe : koran-digital-unsubscribe@@googlegroups.com

"Ketika berhenti berpikir, Anda akan kehilangan kesempatan"-- Publilius Syrus

Catatan : - Gunakan bahasa yang baik dan santun
- Tolong jangan mengiklan yang tidak perlu
- Hindari ONE-LINER
- POTONG EKOR EMAIL
- DILARANG SARA
- Opini Anda menjadi tanggung jawab Anda sepenuhnya dan atau
Moderator Tidak bertanggung Jawab terhadap opini Anda. -~----------~----~----~----~------~----~------~--~------------------------------------------------------------
"Bersikaplah sopan, tulislah dengan diplomatis, meski dalam deklarasi perang sekalipun seseorang harus mempelajari aturan-aturan kesopanan." -- Otto Von Bismarck.
"Lidah orang berakal dibelakang hatinya, sedangkan hati orang dungu di belakang lidahnya" -Ali bin Abi Talib.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar