Minggu, 11 Desember 2011

[Koran-Digital] EDITORIAL : Rimba Itu Bernama Indonesia

NYAWA manusia tak ada harganya di negeri ini.
N Seorang penganggur yang tergiur telepon pintar BlackBerry bisa dengan
enteng menusuk remaja di tepi jalan raya. Sekelompok mahasiswa yang
merasa helmnya diambil tanpa izin bisa dengan ringan mengeroyok
sesamanya di tengah lapangan sepak bola kampus. Dunia kita seakan-akan
berubah jadi rimba: tak ada hukum, tak ada polisi--tak ada negara! Kedua
tragedi itu terjadi di ibu kota republik ini belum terlalu lama. Di
Pluit, Jakarta Utara, seorang remaja 16 tahun, Christopher Melky
Tanujaya, tewas ditusuk di dekat halte bus Transjakarta. Selang sehari,
Ahmad Yoga Fudholi, mahasiswa 19 tahun, meninggal setelah dipukuli
habis-habisan oleh rekan-rekan sekampusnya di Universitas Al-Azhar
Indonesia di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.

Dua peristiwa kekerasan itu memutarbalikkan akal sehat kita. Hanya
karena perkara sepele, jiwa melayang. Terlebih lagi, kedua pembunuhan
itu terjadi di tempat umum. Ketika kejahatan menampakkan muka dengan
leluasa, dan para begundal tak punya lagi rasa takut, berlebihankah jika
kita bertanya: di mana tanggung jawab negara?
Pembunuhan Christopher dan Yoga merupakan klimaks dari masa-masa penuh
kecemasan di negeri ini.
Kepolisian Daerah Metro Jakarta Raya mencatat, setiap tahun rata-rata
terjadi 70 kasus pembunuhan di Ibu Kota saja.

Korbannya beragam: mulai penjaga kuburan sampai bos pemilik pabrik. Kita
belum lupa, Agustus lalu, seorang mahasiswi Universitas Bina Nusantara,
Livia Pavita Soelistio, 21 tahun, tewas setelah dirampok dan diperkosa
di dalam angkutan kota. Kejadian itu membuat banyak orang waswas
menggunakan transportasi publik.

Mudah dipahami jika sedikit demi sedikit kita mulai kehilangan
kepercayaan pada sistem keamanan yang diselenggarakan negara. Setelah
kasus pembunuhan Livia, angka penjualan pistol kejut listrik (stun gun)
dan penyemprot merica (pepper spray) di pusat pertokoan Glodok meningkat
tajam. Publik ragu terhadap kemampuan pemerintah memberikan rasa aman
dan, karena itu, harus "mengamankan"serta mempersenjatai diri sendiri.

Perkara ini bukan cuma soal sistem keamanan yang gagal.Tak perlu
repot-repot menggelar seminar untuk meninjau kembali sistem kepolisian
kita.Toh, sudah lama aparatur keamanan memperkenalkan model polisi
masyarakat atau community oriented policing. Cuma, tampaknya rencana itu
baru bergaung sebatas cita-cita.

Hal yang lebih mendasar adalah alpanya kesadaran para penyelenggara
negara bahwa keamanan merupakan bagian dari hak asasi warga negara.
Keamanan bukan hanya untuk mereka yang sanggup membayar.
Pada saat kita ketakutan untuk sekadar keluar malam atau naik angkutan
umum, dan harus bepergian dengan stun gun di dalam tas, ketika itulah
peran negara hilang dari tata kehidupan sosial kita yang paling sederhana.

Tentu kerja cepat polisi menangkap pembunuh Christopher,Yoga, Livia, dan
korban pembunuhan lain patut diacungi jempol. Tapi, lebih dari itu,
tindakan pencegahan pasti jauh lebih mustahak. Tindakan itu tentu
membutuhkan perencanaan yang menyeluruh dan melibatkan para pemangku
keamanan. Jangan pula ada alasan kekurangan dana sebagai kendala, karena
nyawa warga negara sesungguhnya merupakan sesuatu yang tak bisa
disetarakan dengan harga apa pun.

http://epaper.korantempo.com/PUBLICATIONS/KT/KT/2011/12/12/ArticleHtmls/Rimba-Itu-Bernama-Indonesia-12122011003014.shtml?Mode=1

--
"One Touch In BOX"

To post : koran-digital@googlegroups.com
Unsubscribe : koran-digital-unsubscribe@@googlegroups.com

"Ketika berhenti berpikir, Anda akan kehilangan kesempatan"-- Publilius Syrus

Catatan : - Gunakan bahasa yang baik dan santun
- Tolong jangan mengiklan yang tidak perlu
- Hindari ONE-LINER
- POTONG EKOR EMAIL
- DILARANG SARA
- Opini Anda menjadi tanggung jawab Anda sepenuhnya dan atau
Moderator Tidak bertanggung Jawab terhadap opini Anda. -~----------~----~----~----~------~----~------~--~------------------------------------------------------------
"Bersikaplah sopan, tulislah dengan diplomatis, meski dalam deklarasi perang sekalipun seseorang harus mempelajari aturan-aturan kesopanan." -- Otto Von Bismarck.
"Lidah orang berakal dibelakang hatinya, sedangkan hati orang dungu di belakang lidahnya" -Ali bin Abi Talib.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar