Rabu, 21 Desember 2011

[Koran-Digital] EDITORIAL Kejernihan Mesuji

Konflik dan penindasan yang berlarut-larut antara yang kuat serta kuasa dan warga yang lemah tak berdaya juga adalah pelanggaran HAM."

PEMBANTAIAN keji di Mesuji amat mengguncang rasa kemanusiaan. Karena itu, publik heran mengapa kekejian seperti itu masih saja terjadi di negara yang sudah 66 tahun merdeka.

Seperti biasa kehebohan selalu mengundang banyak pihak untuk terlibat dan dilibatkan. Pemerintah turun tangan, DPR turun tangan, LSM turun tangan, dan pemuka masyarakat ikut bicara. Pemerintah membentuk tim pencari fakta, DPR menerjunkan tim pencari fakta, media menerjunkan tim investigasi, dan tim advokasi mengadu ke sana kemari.

Tim pencari fakta pemerintah yang diketuai Wakil Menteri Hukum dan HAM Denny Indrayana belum menyimpulkan hasilnya. Sebaliknya, tim Komisi III DPR sudah membeberkan hasil temuan dari sebuah kunjungan singkat ke lokasi. Paling tidak melalui talk show televisi.

Kita tidak ingin kasus Mesuji disederhanakan menjadi semata masalah pembantaian keji yang me langgar hak asasi manusia. Juga tidak boleh disederhanakan sebatas manipulasi teknik edit video. Kepolisian, sebagai pihak yang dituduh terlibat, mengangkat soal manipulasi edit video yang dicurigai menggabungkan lokasi di Thailand dan Sumatra.

Hampir semua yang peduli pada kasus Mesuji sepakat bahwa telah terjadi penggorokan yang amat mengganggu rasa kemanusiaan. Na mun, pembantaian di Mesuji hanya gunung es dari sebuah permasalahan besar dan berlarut.

Karena itu, kasus Mesuji, baik yang di Lampung maupun Sumatra Selatan, harus diselesaikan mulai dari hulu. Kasus serupa diyakini juga terjadi di daerah lain, seperti di Kalimantan, Sulawesi, dan Papua.

Apa saja masalah di hulu itu? Pertama, sampai sekarang Indonesia tidak menjalankan undang-undang agraria. Kedua, telah terjadi tumpang-tindih antara regulasi di bidang kehutanan, perkebunan, dan tata ruang. Prinsip padu serasi antara tata ruang, kehutanan, dan perkebunan dilabrak sesuka hati. Siapa yang kuat bayar, dia yang menang. Ketiga, negara masih saja mengabaikan hak ulayat dan dengan gampang mengklaim lahan-lahan sebagai tanah negara.

Dalam semangat koruptif tidak mengherankan bila pemerintah, termasuk pemda, memberi izin lahan beribu-ribu hektare kepada perusahaan tertentu.
Dengan luas yang eksesif, konflik dengan penduduk terbuka lebar.

Keempat, tentara dan polisi tidak boleh menjadi satpam perusahaan. Mereka, terutama polisi, adalah aparatur yang dibiayai negara untuk melindungi semua warga negara tanpa kecuali. Juga, perusahaan dilarang memelihara sipil bersenjata seperti pamswakarsa.

Lalu, kelima, harus ada sinkronisasi produk undang-undang. UU Perkebunan searah dan senapas dengan UU Kehutanan. UU Hutan Lindung searah dan senapas dengan UU Pertambangan.

Pelanggaran hak asasi tidak semata soal kekejian pembunuhan. Konflik dan penindasan yang berlarutlarut antara yang kuat serta kuasa dan warga yang lemah tak berdaya juga adalah pelanggaran HAM.
Itu pun masih sangat menggejala di Indonesia, tidak cuma di Mesuji.

http://pmlseaepaper.pressmart.com/mediaindonesia/PUBLICATIONS/MI/MI/2011/12/22/ArticleHtmls/EDITORIAL-Kejernihan-Mesuji-22122011001029.shtml?Mode=1

Tidak ada komentar:

Posting Komentar