Selasa, 13 Desember 2011

[Koran-Digital] DINNA WISNU: Berpacu dengan Tetangga

Berpacu dengan Tetangga PDF Print
Wednesday, 14 December 2011
Kemiskinan dan kesenjangan sosial merupakan problem sosial yang cukup
universal di Asia. Meskipun tergolong paling dinamis pertumbuhan
ekonominya,bahkan kini sangat diandalkan untuk mengangkat perekonomian
belahan dunia Barat yang sedang terpuruk, ternyata kesenjangan ekonomi
antarwarga negara di kawasan ini memburuk.

Artinya rata-rata warga Asia justru tidak diuntungkan oleh pertumbuhan
ekonominya. Keprihatinan ini melandasi pertemuan menteri tenaga kerja
dan perwakilan serikat pekerja dari 38 negara di Kyoto, Jepang, pekan
lalu dalam Temu Regional Asia- Pasifik International Labor Organization
(ILO) Ke-15. Pertemuan ini termasuk untuk menyikapi hasil Seminar
Tingkat Tinggi ASEAN 11-14 September 2011 di Chengdu, China.

Negara itu berbagi pengalaman tentang inisiatif mereka melakukan
rangkaian proyek pilot selama 10 tahun untuk memperluas cakupan dan
meningkatkan nilai jaminan sosial bagi seluruh warga China. Sejak
1999,China mengembangkan program bernama dibao bagi penduduk kota,yakni
paket jaminan atas upah minimum, plus perumahan, pendidikan, dan kesehatan.

Pada 2007 China memperluas dibao ke perdesaan dan meningkatkan jaminan
kesehatan dalam dibao perkotaan agar seluruh penduduk kota bisa
menikmatinya. Mereka juga mengembangkan skema medis berbentuk koperasi
untuk penduduk perdesaan sejak 2003, dan kini proyek pilot tersebut
sudah membuahkan cakupan kepesertaan hingga 95% dari penduduk perdesaan.
Sejak 2009, China juga memulai uji coba skema pensiun bagi petani
berusia lebih dari 60 tahun dan pemerintah pusat mengalokasikan dana 125
miliar dolar untuk meningkatkan akses dan kualitas pelayanan kesehatan
di tingkat pusat.

Betul, perkembangan di China tersebut mencengangkan. Staf ILO yang
ditempatkan di China melaporkan bahwa perkembangan yang dicapai China
dalam menciptakan program jaminan sosial yang universal tergolong sangat
pesat. China punya kelebihan yang tidak dimiliki negara-negara lain di
dunia saat ini,yakni surplus anggaran pemerintah pusat yang sangat besar.

Kejutannya, Pemerintah China memutuskan untuk melakukan investasi
dana,waktu dan staf untuk secara bertahap mengembangkan sistem jaminan
sosial bagi seluruh warga China. Gerakan China tak bisa disangkal
merupakan bagian dari persiapan negeri itu untuk berpacu memanfaatkan
pertumbuhan ekonomi dunia seoptimal mungkin. Laporan majalah TIME
melengkapi gambaran bahwa China berniat serius untuk memperkecil
kesenjangan sosial pekerjanya.

Di majalah itu,Helen Qiao, kepala ekonom Goldman Sachs di Hong Kong,
bersaksi upah riil pekerja manufaktur di China telah meningkat hampir
12% per tahun dan Pemerintah China sudah meningkatkan upah minimum
hingga 21% pada tahun lalu saja. Di sisi lain, langkah China ini
ternyata tidak sendirian. Kamboja,Filipina, India,Thailand termasuk yang
berbenah diri secara cepat dalam dekade ini untuk menghindari
keterpurukan nasib pekerja mereka dalam persaingan global masa kini.

Langkah ini sejalan dengan kerangka kerja yang dikembangkan oleh ILO
yang sudah diadopsi PBB di 2009 dan akan diupayakan untuk diajukan
ratifikasinya bagi seluruh negara dunia di 2012, yakni Social Protection
Floor (SPF). SPF nantinya menjadi acuan landasan perlindungan sosial
bagi seluruh negara.Pada 2012, tak ayal semua negara di Asia pun harus
tunduk.Praktik kepemilikan jaminan sosial seperti berikut akan menjadi
bagian dari norma perekonomian dunia.

Pertama, semua penduduk memperoleh akses pelayanan kesehatan secara
terjangkau. Kedua, tiap anak menikmati jaminan penghasilan melalui
transfer tunai atau sejenisnya agar kebutuhan nutrisi, pendidikan, dan
kesehatan mereka terpenuhi. Ketiga, tiap orang dalam usia aktif
memperoleh penghasilan yang memadai (memenuhi syarat minimum) dan punya
jaminan pekerjaan. Keempat, semua penduduk lanjut usia dan penyandang
cacat pun punya jaminan penghasilan minimum di atas garis kemiskinan
yang ditetapkan secara nasional.

SPF ini sudah diangkat dalam pertemuan UNESCAP di PBB pada Mei
2011,dalam pertemuan pemerintah ASEAN dengan lembaga swadaya
masyarakatnya pada bulan September 2011, dan akhirnya disambut hangat
pula oleh G-20, IMF,World Bank dan perwakilan bisnis-bisnis besar dunia.
India, Amerika Serikat, dan Inggris termasuk negara-negara yang awalnya
enggan menerima konsep SPF, tapi kini mereka sudah mau terbuka. India
termasuk yang bergegas memperbaiki nasib pekerjanya.

Sejumlah inisiatif India yang terkenal adalah RSBY (Rashtriya Swastya
Bima Yojana), yakni program subsidi asuransi kesehatan bagi yang miskin
berbentuk kartu kesehatan dan Mahatma Gandhi National Rural Employment
Guarantee Act yang menjamin pendapatan 100 hari kerja per keluarga per
tahun dan asuransi pengangguran bagi yang tidak memperoleh pekerjaan
tersebut dari pemerintah.

Kamboja, yang notabene jauh lebih muda dari Indonesia pertumbuhan
ekonominya, di mana pendapatan nasional mereka kini baru USD650 per
kapita di 2009 (dibandingkan Indonesia yang USD4.100), juga sedang
berbenah diri. Terdorong oleh krisis pangan di 2008, Pemerintah Kamboja
membentuk Dewan Pengembangan Pertanian dan Perdesaan yang menyusun
strategi bagi kabinet.

Salah satu kegiatan kabinet selama periode 2011-2015 adalah melakukan
proyek pilot untuk meningkatkan martabat penduduknya yang
miskin.Targetnya di 2015 akan disusun perundang-undangan atas dasar
pengalaman proyek-proyek tersebut. Saat ini mereka juga mengembangkan
database masyarakat miskin. Lalu apa yang dilakukan Indonesia? Indonesia
termasuk yang antusias menerima konsep SPF, apalagi ketika dibawa ke
forum ILO pusat dan G- 20.

Bagi negara-negara asing, pengalaman Indonesia mengembangkan sistem
jaminan sosial dianggap menarik untuk dipelajari.Maklum,sejak 2001
Indonesia berhasil menelurkan dua undang-undang jaminan sosial,yakni UU
40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional dan UU 24/2011 tentang
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, meskipun prosesnya sangat alot.

Pertanyaan yang muncul kemudian, apakah kedua undang- undang ini memadai
untuk penerapan sistem jaminan sosial yang sejalan dengan acuan SPF?
Dalam rapat pakar regional ILO pekan ini,yang muncul dari pelaku dan
pengamat isu jaminan sosial dari Indonesia adalah keprihatinan. Berkaca
dari pengalaman negaranegara tetangga,dapat terlihat bahwa pemerintah di
negara lain sudah tidak perlu dipertanyakan komitmennya dalam
menggerakkan reformasi jaminan sosial.

Inisiatif justru datang dari pihak pemerintah. Inisiatif tersebut tidak
semata dalam bentuk janji di bibir,tapi juga berupa kapasitas fiskal
yang khusus dialokasikan untuk proyek-proyek pilot, penggerakan para
pegawai pemerintah untuk turun menyukseskan proyek tersebut dan
pembenahan perundang-undangan yang menunjang implementasi strategi
pemenuhan acuan SPF.Komitmen dari pemerintah pusat inilah yang belum
nyata muncul di Indonesia.

Terlepas dari antusiasme wakil Indonesia yang berangkat ke forum-forum
internasional soal SPF, pengalaman pembahasan kedua UU jaminan sosial
menunjukkan,pemerintah sebenarnya gamang menerapkan komitmen tersebut.
Presiden memilih untuk mengemas isu jaminan sosial dalam kerangka
program percepatan penanggulangan kemiskinan. Padahal, kalau menilik
mandat yang dituangkan untuk tim nasional percepatan penanggulangan
kemiskinan hasil bentukan Kantor Wakil Presiden, pembentukan dan
pelaksanaan sistem jaminan sosial bukanlah prioritas utama.

Tugas tim ini lebih seputar evaluasi dan pengembangan kebijakan program
bantuan sosial seperti bantuan langsung tunai (BLT). Padahal studi-studi
sudah menunjukkan, program-program BLT lebih banyak luput sasaran dan
bukan merupakan sistem berkesinam bungan untuk pengentasan kemiskinan.
Problem nasional Indonesia bukan kemiskinan nya saja, melainkan bahwa
kegiatan ekonomi yang dikembangkan selama ini secara langsung maupun
tidak telah menyuburkan pemiskinan.

Artinya,perlu upaya serius untuk mencegah lebih banyak orang jatuh ke
lembah kemiskinan,bukannya memberi santunan ketika sudah miskin. Kembali
ke acuan SPF, target internasional masa kini dalam pengelolaan ekonomi
adalah suatu sistem yang tertata rapi, di mana insentif dan hak bagi
warga negara untuk berkontribusi dalam perekonomian terjaga dan terarah
untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi lagi.

Jadi sebenarnya usang sudah logika bahwa tiap warga negara bertanggung
jawab atas nasib dan insentif masing-masing, atau bahwa warga negara
dibantu ketika sudah terlanjur miskin. Kalau sistem jaminan sosial
Indonesia sudah rapi, niscaya sirna juga keresahan tahunan soal naik
tidaknya harga BBM atau tarif dasar listrik. 

DINNA WISNU PHD
Direktur Pascasarjana Bidang Diplomasi,
Universitas Paramadina

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/451636/

--
"One Touch In BOX"

To post : koran-digital@googlegroups.com
Unsubscribe : koran-digital-unsubscribe@@googlegroups.com

"Ketika berhenti berpikir, Anda akan kehilangan kesempatan"-- Publilius Syrus

Catatan : - Gunakan bahasa yang baik dan santun
- Tolong jangan mengiklan yang tidak perlu
- Hindari ONE-LINER
- POTONG EKOR EMAIL
- DILARANG SARA
- Opini Anda menjadi tanggung jawab Anda sepenuhnya dan atau
Moderator Tidak bertanggung Jawab terhadap opini Anda. -~----------~----~----~----~------~----~------~--~------------------------------------------------------------
"Bersikaplah sopan, tulislah dengan diplomatis, meski dalam deklarasi perang sekalipun seseorang harus mempelajari aturan-aturan kesopanan." -- Otto Von Bismarck.
"Lidah orang berakal dibelakang hatinya, sedangkan hati orang dungu di belakang lidahnya" -Ali bin Abi Talib.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar