Jumat, 16 Desember 2011

[Koran-Digital] ARSWENDO: Jokowi untuk DKI-1?

Jokowi untuk DKI-1? PDF Print
Saturday, 17 December 2011
Dalam seminggu ini, saya pulang ke Solo dua kali memenuhi undangan dua
perguruan tinggi yang sedang demam dengan hal yang berkaitan dengan kata
kreatif. Saya menggunakan kata "pulang", dan bukan pergi, karena inilah
bahasa percakapan masyarakat Solo untuk menyebutkan mereka yang
dilahirkan di kota budaya yang bersemboyan "masa depan Solo adalah
kejayaan masa lalu".

Bahwa kenyataannya saya sudah ber-KTP Jakarta, dan termasuk KTP seumur
hidup, tidak menghalangi istilah pulang. Dua kali pula saya bertemu
dengan kelompok warga yang melakukan "demo Jawa"— berpawai dengan
tertib, sebagian mengenakan busana Jawa—yang bertujuan menahan Wali Kota
Jokowi, agar tidak maju dalam pemilihan sebagai gubernur DKI Jakarta.
Bagi mereka, posisi DKI-1 adalah godaan politik,bukan dinamika kepemimpinan.

Perahu dan Uang Perahu

Ini peristiwa menarik. Sebagian warga Solo yang nggondeli— melepas
kepala tapi menahan ekor—merasakan selama ini kepemimpinan anak
pinggiran yang insinyur kayu dan berjualan mebel ini memberi bukti
keamanan dan kenyamanan kota, yang juga dijuluki "sumbe pendek"—mudah
meledak dalam huru-hara. Bagi sebagian yang lain, yang bukan warga
setempat, kehadiran Jokowi melintasi batas geografis kota yang hanya
memiliki lima kecamatan.

Prestasi memindahkan 957 pedagang kaki lima yang sudah bercokol sejak
zaman Jepang di suatu tempat ke tempat lain dengan damai, bahkan dalam
bentuk kirab—iringan pawai kemenangan,dianggap pendekatan yang
memenangkan semua pihak.Baik para pedagang mempunyai izin resmi maupun
pemda yang diuntungkan dengan pajak. Media massa masih mengulang
keberhasilan ini, mana kala di tempat lain terjadi kerusuhan untuk hal
yang sama.

Juga ketika masalah kemewahan berlebihan menjadi sorotan, ingatan kepada
Jokowi yang tak berganti mobil bekas menjadi perbandingan. Atau
bagaimana wong cilik mendapat pelayanan kesehatan gratis, atau
pendidikan, sampai pembagian sentra produksi kerajinan rakyat, dan atau
juga menaikkan peringkat sebagai kota tujuan wisata. Dibuktikan dengan
pengukuhan berbagai penghargaan resmi— termasuk pejabat yang antikorupsi.

Ibarat kata,modal sosial Jokowi lumayan harum dan mendapat apresiasi
tinggi. Dalam peta keseluruhan di mana wajah calon atau pemimpin yang
mengerikan atau penuh polesan, Jokowi justru tampil sederhana, apa
adanya. Ini menjadi pesona yang tak semua kandidat memiliki. Namun,
realitas politik dalam alam demokrasi ini bukan hanya modal pesona dan
prestasi belaka, melainkan harus ada "perahu", atau kendaraan politik,
yang diusung dan didukung partai politik.Maju sebagai calon perorangan,
untuk DKI yang menggiurkan ini sangat riskan.

Dan kandang Jokowi adalah PDIP,yang menemukan wujud keberpihakan pada
wong cilik. Namun, agaknya PDIP masih bersikap gendulakgendulik,
terbaring antara yes atau no,antara ya dan tidak. Padahal dalam kejaran
waktu yang pendek ini,semboyan "lebih cepat lebih baik"— tanpa visual
menggulung lengan baju yang memberi kesan menantang—adalah jawaban tegas
yang ditunggu.

Akan banyak merugikan kalau soal perahu dan "uang perahu" banyak
menghabiskan waktu dan mempertebal sikap ragu, yang justru mengganggu.
Kalau saya menggunakan istilah "uang perahu", karena dalam kosakata
Jawa, buruh prau, adalah buruh yang harus dibayar cash, kontan,ketika
menyeberangkan penumpang. Ini berbeda dengan buruh batik misalnya, yang
biasa dibayar mingguan atau bulanan.

Banjir dan Macet

Sejauh saya tahu—dan yang saya ketahui tidak jauh-jauh amat, atau
menurut pendapat saya—dan pendapatan saya masih pas-pasan,atau juga
menurut hemat saya—yang memang harus berhemat, modal kepemimpinan dan
penampilannya selama ini membuktikan kata kunci: jujur,kerja keras,
memihak kepada wong cilik tanpa memerangi orang gede, telah menyatu.

Lebih dari itu,kemampuannya mengelola atau mengoordinasi potensi yang
ada merupakan kelihaian yang selama ini jarang diperlihatkan. Kemampuan
yang disejajarkan dengan kemauan dalam koordinasilah yang memungkinkan
tempat baru bagi para pedagang kaki lima, memungkinkan berubahnya pasar
tradisional tanpa menggusur, atau pengadaan KTP dalam satu hari.

Semua ini menunjukkan bagaimana mengoordinasikan kekuatan yang ada.
Bahkan kalau DKI selalu diasosiasikan dengan hantu laten bernama macet
dan banjir, rasa-rasanya juga soal tidak becusnya pengelolaan kemampuan
yang ada.Karena permasalahannya jelas, ahliahlinya lebih dari cukup,dana
bukan masalah. Tinggal bagaimana melakukan koordinasi, mempertanggung
jawabkan secara transparan, dan memberi prioritas serta yang penting
menekuninya secara profesional.

Pendekatan yang sama dan bisa sekaligus dengan penanganan transportasi
apakah namanya kereta api yang tiangnya kini mangkrak, atau gedung
sekolah yang roboh. Kepemimpinan dan pembenahan DKI sangat menarik.Bukan
hanya karena inilah ibu kota kita, bukan karena menjadi pusat segalanya,
juga bukan karena anggarannya mencapai sekian triliun belaka, melainkan
dan terutama adalah bagaimana mengelola dinamika masyarakatnya yang
merupakan keindonesiaan kita.

Kadang saya merasa bahwa ungkapan yang ditertawakan bahwa "Jakarta is my
country"mengandung kebenaran dari sisi ini. Pada akhirnya, atau
sebenarnya pada awalnya, inilah yang akan kita saksikan bersama. Apakah
para elite politik lebih mementingkan kepentingan komunitas intern
semata, atau mampu memandang lebih jauh dari batang hidungnya. Dan
atau,agar tidak mempertajam dikotomi umum ini, apakah mampu mengelola
dua atau tiga kepentingan ini.Dan bisa juga berpuas diri atas frustrasi
yang masih memberikan rezeki. DKI menjadi taruhannya. 

ARSWENDO ATMOWILOTO
Budayawan

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/452390/

--
"One Touch In BOX"

To post : koran-digital@googlegroups.com
Unsubscribe : koran-digital-unsubscribe@@googlegroups.com

"Ketika berhenti berpikir, Anda akan kehilangan kesempatan"-- Publilius Syrus

Catatan : - Gunakan bahasa yang baik dan santun
- Tolong jangan mengiklan yang tidak perlu
- Hindari ONE-LINER
- POTONG EKOR EMAIL
- DILARANG SARA
- Opini Anda menjadi tanggung jawab Anda sepenuhnya dan atau
Moderator Tidak bertanggung Jawab terhadap opini Anda. -~----------~----~----~----~------~----~------~--~------------------------------------------------------------
"Bersikaplah sopan, tulislah dengan diplomatis, meski dalam deklarasi perang sekalipun seseorang harus mempelajari aturan-aturan kesopanan." -- Otto Von Bismarck.
"Lidah orang berakal dibelakang hatinya, sedangkan hati orang dungu di belakang lidahnya" -Ali bin Abi Talib.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar