Kamis, 08 Desember 2011

[Koran-Digital] TRAgEDi RAwAgEDE 1947 Kisah Utang nyawa Dibayar tiga Domba

TANGSI Belanda, Krawang, di awal Desember 1947. Komandan Kompi Krawang,
Mayor Alphons Wijman, memperhati kan laporan tentang Rawagede dari
jaringan matamatanya. Di kampung berpenduduk tak lebih dari 500 orang
itu terlihat ten tara Indonesia dengan kekuatan 40 sampai 60 senapan dan
satu senjata mesin.

Sudah sebulan Wijman meng awasi Rawagede--kini bagian dari Desa
Balongsari. Pedukuhan itu menjadi zona terpanas di distriknya, yang
mencakup area seluas 1.000 kilometer persegi.
Beberapa hari lewat, misalnya, kereta uap trayek Karawang Rengasdengklok
dibajak sepu luh orang bersenjata, setengah mil dari stasiun Rawagede.
Juru mesin, juru api, dan sekitar 20 awak kereta disandera. Cuma tiga
yang berhasil kabur. Wijman menduga pelakunya tentara Indonesia yang
beroperasi tanpa seragam.

Maka, ketika menerima lap oran adanya tentara Indonesia dalam jumlah
besar di Rawagede, ia dan Komandan Batalion di Cikampek memutuskan dukuh
itu akan "dibersihkan". Ini bukan aksi bersihbersih biasa. Komite
JasaJasa Baik PBB yang bela kangan menyelidiki operasi militer itu
menemukan indikasi bahwa operasi ini juga dimak sudkan untuk mengakhiri
gang guan yang berasal dari Rawagede di masa depan.

Hari H ditetapkan pada Selasa, 9 Desember, dimulai pukul 5.30 pagi.
Sejak operasi itu, Rawagede tak sama lagi. Cuma dalam 6 jam (versi
Belanda) atau 12 jam (versi keluarga korban), Rawagede menjadi kampung
janda. Baru bertahuntahun kemudian kam pung itu kembali memiliki lelaki
dewasa.

Yayasan Rawagede mengatakan dalam operasi itu Belanda mem bunuh 431
rakyat sipil. Belanda cuma mengakui 150 orang.

lll Asalmuasal Tragedi Rawagede hingga kini masih simpangsiur.
Dalam suratnya kepada Tim Jasa Baik PBB pada 3 Januari 1948, Dr J.
Leimena, Ketua Komite Khusus Republik Indonesia untuk Tragedi Rawa Gede,
mengung kapkan operasi militer Belanda di Rawagede berpokok dari lapo
ran matamata mereka yang ter tangkap rakyat Rawagede, namun berhasil
meloloskan diri.

Alkisah, tulis Leimena dalam suratnya, dua warga Krawang pro Republik
berinisial S dan M.W.

mencium rencana pengirim an seorang mata­mata Belanda dari Krawang Barat
ke Rawagede.

Mata­mata itu bernama Dajat, warga Kampung Bubulak, seki­ tar 12
kilometer dari Rawagede.

Dajat mendapat perintah dari ayahnya, Tanu, untuk menyelidi­ ki wilayah
itu. Ayah­anak itu, kata Leimena, cuak (mata­mata) Belanda.
Tanu, ujar Leimena, bintara polisi sebelum Jepang datang dan menjadi
asisten Wedana. Selama pendudukan Jepang, ia berganti profesi sebagai
cabdriver. Setelah Jepang menyerah, waktunya habis di meja judi. Umur
Tanu waktu itu 45 tahun.

Masih menurut pihak Republik, Dajat berangkat ke Rawagede selepas Ashar,
tanggal 3 Desember 1947. Ia langsung dicokok begitu tiba di Rawagede.

Tapi Dayat yang terancam dihukum penggal bisa melari kan diri pada malam
harinya. Ia melaporkan kejadian itu kepada ayahnya dan cuak lain yang
ting gal di kampung itu, Kalim.

Kalim, tulis Leimena, berasal dari Gombong. Di zaman Belanda, pria 40
tahunan itu bekerja seba­ gai detektif polisi. Selama pen­ dudukan
Jepang ia juga detektif polisi. Sesudah Jepang menyerah, kata Leimena,
ia menjadi penjual padi keliling.

"Peristiwa itu kemudian dila­ porkan ke markas Belanda di Karawang (kini
kantor Polresta Karawang)," tulis Leimena.

Tim Jasa Baik PBB menemukan cerita berbeda dari Dajat tentang peristiwa
itu. Dajat mengaku tak pernah dikirim ke Rawagede, baik oleh ayahnya
maupun Belanda.

Ia justru mengaku diculik pada
3 Desember sore dari sawahnya di Kampong Kapoe oleh enam orang
bersenjata dan dibawa ke Rawagede.

Di Rawagede ia ditahan di salah satu rumah. Dia juga diancam akan
dibunuh, karena ayahnya bekerja sebagai polisi Belanda dan karena itu
dirinya diduga juga seorang matamata. Dajat berhasil kabur pada 4 Desember.

Tim Jasa Baik PBB tak memas tikan mana cerita yang benar.
Namun, tim itu mengetahui bahwa Belanda sudah sejak seki tar sebulan
mengamati Rawagede.
Mereka tahu selalu ada tentara Indonesia di Rawagede. Tapi, kali itu di
sana ada tentara Indonesia di bawah komando Kapten Lukas Sutaryo. Saat
masih hidup, kepa da Tempo Lukas mengakui infor­ masi ini. Namun, ia tak
sampai sehari berada di Rawagede. Senin, sekitar pukul 15.00, ia dan
pasu­ kannya meneruskan perjalanan untuk menyerang jantung per­ tahanan
Belanda di Cililitan.

"Di desa hanya tinggal beberapa pejuang, yang terluka, dan pen­ duduk
desa," ungkap Sukarman.

Sejam setelah Lukas mening­ galkan Rawagede, Mayor Wijnen dan pasukannya
keluar dari tangsi. Kedatangan Belanda ke batas desa Rawagede diketa­
hui penduduk. "Malam Selasa, hujan turun besar dari pukul tujuh malam.
Berhenti hampir jam 11 malam," ujar Sukarman.
"Sudah malam ketika konvoi Belanda lewat tepi desa, menuju ke
KalangsariRengasdengklok.
Di Stasiun Kereta Pataruman, Kalangsari, mereka berhenti.
Di situlah mereka menaruh mobil."

Dari Pataruman mereka ber jalan kaki ke Rawagede. "Jalan kaki 1,5
kilometer ke sini dan langsung mengepung kampung, ujarnya. Ia mengatakan
kekua tan tentara Belanda sekitar tiga ratus tentara.

Wijnen menyebut jumlah ten tara yang lebih kecil: 90 perso nil diperkuat
dengan 2 mortir kaliber 2". Oleh Wijnen, pasu kan dibagi menjadi tiga
grup, masingmasing berkekuatan 30 orang. Tiga tim itu mengepung Rawagede
dari tiga jurusan: utara, timur, dan selatan.

Pasukan utara dipimpin dua sersan, diperkuat satu bren.
Pasukan selatan dipimpin ser san mayor, juga dibekali satu bren. Wijman
sendiri memimpin kelompok timur. Dibantu dua perwira, grupnya diperkuat
sten dan 2 mortir 2".

Pukul 05.30 pagi, Wijnen me merintahkan regu mortir men embak. Woss...
jegur, sebuah rumah terbakar. Setiap mortir menembak enam kali. Menurut
laporan Wijnen, 12 kiriman mortir itu membakar delapan sampai 10 rumah.
Pihak musuh, kata dia, cuma membalas satu dua kali dengan karabin.

Cawi binti Baisan, waktu itu 22 tahun, masih menyim pan ingatan tentang
saat mortir jatuh di sekilingnya. Pukul 5 ada letusan. Tor di sini! Tor
di sini! Dodododot! Canon--mortir ya, kata yang tau canon--mortir.
Wos-wos..., dari atas. Jegor! Serangan itu juga dikisah kan Mukri Bin
Saitam, warga Pataruman. Ia saat itu sedang ditahan warga proRepublik di
sebuah ruangan di Stasiun Rawagede, karena dituduh sebagai matamata Belanda.

Saat Belanda menyerang, ia sudah divonis bakal dipenggal karena tuduhan
menjadi mata mata. "Ada tembakan. Lalu tembakan lagi," ujarnya. "Saya
menduga itu Belanda. Saya berusaha melepaskan ikatan dan keluar dari
atap stasiun lalu menuju posisi Belanda," dia bercerita kepada observer
dari Komite Jasa Baik.

Wijnen mengatakan, operasi pasukannya selesai pukul 13.00.
Tapi, Sukarman mengatakan operasi berlangsung hingga pukul 16.00. Ini
dikuatkan Cawi yang mengingat suara gaduh di desanya baru berhenti menje
lang magrib.

Menurut Cawi, setelah kega duhan berhenti, ia keluar rumah mencari
suaminya. Di selokan, ia menemukan suami dan sep uluh orang lainnya,
termasuk anggota keluarganya, sudah tewas. "Kepalanya berlubang," kata dia.

Cawi tak mengetahui ba gaimana suami dan tetanggan ya dieksekusi.
Ia--seperti para perempuan lainnya—bersembu­ nyi di dalam rumah. Adapun
para pria memilih kabur ke luar kampung atau bersembunyi di sungai atau
di kolam, seperti ayah Kadun.

Kadun mengatakan, ayahnya bersembunyi di sungai dekat rumah. "Mukanya
diurugin (di ­ tu tup) sampah. Tak terlihat oleh Belanda. Tapi, Belanda
bawa anjing dan anjing itu menggong­ gong terus. Lama­lama, tempat
sembunyi ayah disogok­sogok bayonet. Ayah bangun. Terus ditangkap sama
Belanda," kata Kadun, yang mengaku melihat langsung peristiwa itu.

Belanda kemudian memba­ wa ayahnya. Dia tidak kembali sampai saat ini.

Menurut data Yayasan Rawa­ gede, jumlah warga yang men­ jadi korban
sekitar 431 korban.

Tapi, Wijnen membantah. Ada penembakan, ujar Wijman, tapi "Sangat
mungkin karena ter­ provokasi pihak lain, sejumlah yang tak bersalah
jadi korban." Pihak lain itu adalah, menu­ rut dia, 12 mayat yang
diketahui bukan warga Rawagede. Wijnan juga mengutip pengakuan Mukri,
yang mengaku melihat pasukan berkekuatan sekitar 100 orang bersenjata
dengan tiga senapan, 20 pistol, pisau dan granat tangan menginap di
rumah lurah pada malam sebelum aksi dilakukan. Tapi, Mukri Bin Saitam,
juga mem­ berikan kesaksian lain. Ia meli­ hat tentara Belanda melakukan
eksekusi tanpa sebab apa pun, tanpa perintah siapapun.

Mukri menyaksikannya di Kampung Djamantri. Pelakunya seorang tentara
Belanda yang menembakkan senapan oto­ matisnya begitu saja ke arah
tawanan. Dia menyatakan, saat itu ada sekitar 30­an tentara Belanda lain
di sana, tapi ia tak mende ngar ada perintah pen­ embakan.

Komiter PBB tak menyelidi­ ki pengakuan Mukri tentang pe nembakan di
Djamantri.


http://epaper.korantempo.com/PUBLICATIONS/KT/KT/2011/12/09/ArticleHtmls/TRAgEDi-RAwAgEDE-1947-Kisah-Utang-nyawa-Dibayar-tiga-09122011144011.shtml?Mode=1

--
"One Touch In BOX"

To post : koran-digital@googlegroups.com
Unsubscribe : koran-digital-unsubscribe@@googlegroups.com

"Ketika berhenti berpikir, Anda akan kehilangan kesempatan"-- Publilius Syrus

Catatan : - Gunakan bahasa yang baik dan santun
- Tolong jangan mengiklan yang tidak perlu
- Hindari ONE-LINER
- POTONG EKOR EMAIL
- DILARANG SARA
- Opini Anda menjadi tanggung jawab Anda sepenuhnya dan atau
Moderator Tidak bertanggung Jawab terhadap opini Anda. -~----------~----~----~----~------~----~------~--~------------------------------------------------------------
"Bersikaplah sopan, tulislah dengan diplomatis, meski dalam deklarasi perang sekalipun seseorang harus mempelajari aturan-aturan kesopanan." -- Otto Von Bismarck.
"Lidah orang berakal dibelakang hatinya, sedangkan hati orang dungu di belakang lidahnya" -Ali bin Abi Talib.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar