Minggu, 11 Desember 2011

[Koran-Digital] DAHLAN ISKAN: Kursi Feodal Bertabur Puntung Rokok

DAHLAN ISKAN
Senin, 12 Desember 2011 , 08:28:00
Manufacturing Hope 4
Kursi Feodal Bertabur Puntung Rokok

GAJI dan fasilitas sudah tidak kalah. Kemampuan orang-orang BUMN juga
sudah sama dengan swasta. Memang iklim yang memengaruhinya masih
berbeda, namun plus-minusnya juga seimbang. Apakah yang masih jauh
berbeda? Tidak meragukan lagi, kulturlah yang masih jauh berbeda. Di
BUMN pembentukan kultur korporasi yang sehat masih sering terganggu.

Terutama oleh kultur saling incar jabatan dengan cara yang curang:
menggunakan backing. Baik backing dari dalam?maupun dari luar. Backing
dari dalam biasanya komisaris atau pejabat tinggi Kementerian BUMN.
Tidak jarang juga ada yang menunggangi serikat pekerja. Sedangkan,
backing dari luar biasanya pejabat tinggi kementerian lain, politisi,
tokoh nasional, termasuk di dalamnya tokoh agama.?

Saya masih harus belajar banyak memahami kultur yang sedang berkembang
di semua BUMN. Itulah sebabnya sampai bulan kedua ini, saya masih
terus-menerus mendatangi unit usaha dan berkeliling ke kantor-kantor
BUMN. Saya berusaha tidak memanggil direksi BUMN ke kementerian,
melainkan sayalah yang mendatangi mereka.

Sudah lebih 100 BUMN dan unit usahanya yang saya datangi. Saya
benar-benar ingin belajar memahami kultur manajemen yang berkembang di
masing-masing BUMN. Saya juga ingin menyelami keinginan, harapan, dan
mimpi para pengelola BUMN kita. Saya ingin me-manufacturing hope.?

Dengan melihat langsung kantor mereka, ruang direksi mereka, ruang-ruang
rapat mereka, dan raut wajah-wajah karyawan mereka, saya mencoba menerka
kultur apa yang sedang berkembang di BUMN yang saya kunjungi itu. Karena
itu, kalau saya terbang dengan Citilink atau naik KRL dan kereta
ekonomi, itu sama sekali bukan untuk sok sederhana, melainkan bagian
dari keinginan saya untuk menyelami kultur yang lagi berkembang di semua
unit usaha.?

Kunjungan-kunjungan itu tidak pernah saya beritahukan sebelumnya. Itu
sama sekali bukan dimaksudkan untuk sidak (inspeksi mendadak), melainkan
untuk bisa melihat kultur asli yang berkembang di sebuah BUMN. Apalagi
saya termasuk orang yang kurang percaya dengan efektivitas sidak.

Karena itu, kadang saya bisa bertemu direksinya, kadang juga tidak. Itu
tidak masalah. Toh, kalau tujuannya hanya ingin bertemu direksinya, saya
bisa panggil saja mereka ke kementerian. Yang ingin saya lihat adalah
kultur yang berkembang di kantor-kantor itu. Kultur manajemennya.

Dari tampilan ruang kerja dan ruang-ruang rapat di BUMN itu, saya sudah
bisa menarik kesimpulan sementara: BUMN kita masih belum satu kultur.
Kulturnya masih aneka ria. Masing-masing BUMN berkembang dengan
kulturnya sendiri-sendiri. Jelekkah itu" Atau justru baikkah itu" Saya
akan merenungkannya: perlukah ada satu saja corporate culture BUMN"
Ataukah dibiarkan seperti apa adanya" Atau, perlukah justru ada kultur
baru sama sekali"

Presiden SBY benar. Ada beberapa kantor mereka yang sangat mewah.
Beberapa ruang direksi BUMN "beberapa saja" sangat-sangat mewahnya.
Tapi, banyak juga kemewahan itu yang sebenarnya peninggalan direksi
sebelumnya.

Salahkah ruang direksi BUMN yang mewah" Belum tentu. Kalau kemewahan itu
menghasilkan kinerja dan pelayanan kepada publik yang luar biasa
hebatnya, orang masih bisa memaklumi. Tentu saja kemewahaan itu tetap
salah: kurang peka terhadap perasaan publik yang secara tidak langsung
adalah pemilik perusahaan BUMN.

Kemewahan itu juga tidak berbahaya kalau saja tidak sampai membuat
direksinya terbuai: keasyikan di kantor, merusak sikap kejiwaannya dan
lupa melihat bentuk pelayanan yang harus diberikan. Namun, sungguh sulit
dipahami manakala kemewahan itu menenggelamkan direksinya ke keasyikan
surgawi yang lantas melupakan kinerja pelayanannya.?

Di samping soal kemewahan itu, saya juga masih melihat satu-dua BUMN
yang dari penampilan ruang-ruang kerja dan ruang-ruang rapatnya masih
bernada feodal. Misalnya, ada ruang rapat yang kursi pimpinan rapatnya
berbeda dengan kursi-kursi lainnya. Kursi pimpinan rapat itu lebih
besar, lebih empuk, dan sandarannya lebih tinggi.

Ruang rapat seperti ini, untuk sebuah perusahaan, sangat tidak tepat.
Sangat tidak korporasi. Masih mencerminkan kultur feodalisme. Saya tidak
mempersoalkan kalau yang seperti itu terjadi di instansi-instansi
pemerintah. Namun, saya akan mempersoalkannya karena BUMN adalah korporasi.

Harus disadari bahwa korporasi sangat berbeda dengan instansi. Kultur
menjadi korporasi inilah yang masih harus terus dikembangkan di BUMN.
Saya akan cerewet dan terus mempersoalkan hal-hal seperti itu meski
barangkali akan ada yang mengkritik "menteri kok mengurusi hal-hal sepele".

Saya tidak peduli. Toh, saya sudah menyatakan secara terbuka bahwa saya
tidak akan terlalu memfungsikan diri sebagai menteri, melainkan sebagai
chairman/CEO Kementerian BUMN.

Efektif tidaknya sebuah rapat sama sekali tidak ditentukan oleh bentuk
kursi pimpinan rapatnya. Rapat korporasi bisa disebut produktif manakala
banyak ide lahir di situ, banyak pemecahan persoalan ditemukan di situ,
dan banyak langkah baru diputuskan di situ. Saya tidak yakin ruang rapat
yang feodalistik bisa mewujudkan semua itu.

Saya paham: kursi pimpinan yang berbeda mungkin dimaksudkan agar
pimpinan bisa terlihat lebih berwibawa. Padahal, kewibawaan tidak
memiliki hubungan dengan bentuk kursi. Susunan kursi ruang rapat seperti
itu justru mencerminkan bentuk awal sebuah terorisme. Terorisme ruang rapat.

Ide-ide, jalan-jalan keluar, keterbukaan, dan transformasi kultur
korporasi tidak akan lahir dari suasana rapat yang terteror. "Terorisme
ruang rapat" hanya akan melahirkan turunannya: ketakutan, kebekuan,
kelesuan, dan keapatisan. Bahkan, "terorisme ruang rapat" itu akan
menular dan menyebar ke jenjang yang lebih bawah. Bisa-bisa seseorang
yang jabatannya baru kepala cabang sudah berani minta agar kursi di
ruang rapatnya dibedakan!

Tentu saya tidak akan mengeluarkan peraturan menteri mengenai susunan
kursi ruang rapat. Biarlah masing-masing merenungkannya. Saat kunjungan
pun, saat melihat ruang rapat seperti itu, saya tidak mengeluarkan
komentar apa-apa. Juga tidak menampakkan ekspresi apa-apa. Saya memang
kaget, tetapi di dalam hati.

Yang juga membuat saya kaget (di dalam hati) adalah ini: asbak. Ada
asbak yang penuh puntung rokok di ruang direksi dan di ruang rapat.
Ruang direksi yang begitu dingin oleh AC, yang begitu bagus dan enak,
dipenuhi asap dan bau rokok.

Saya lirik agak lama asbak itu. Penuh dengan puntung. Menandakan betapa
serunya perokok di situ. Saya masih bisa menahan ekspresi wajah kecewa
atau marah. Saya ingin memahami dulu jalan pikiran apa yang kira-kira
dianut oleh direksi seperti itu. Apakah dia merasa sebagai penguasa yang
boleh melanggar peraturan? Apakah dia mengira anak buahnya tidak
mengeluhkannya? Apakah dia mengira untuk hal-hal tertentu pimpinan tidak
perlu memberi contoh?

Soal rokok ini pun, saya tidak akan mengaturnya. Sewaktu di PLN saya
memang sangat keras melawan puntung rokok. Tetapi, di BUMN saya serahkan
saja soal begini ke masing-masing korporasi. Hanya, harus fair. Kalau
direksinya boleh merokok di ruang kerjanya, dia juga harus mengizinkan
semua karyawannya merokok di ruang kerja mereka. Dia juga harus
mengizinkan semua tamunya merokok di situ.

"Kursi feodal" dan "puntung rokok" itu terserah saja mau diapakan. Saya
hanya khawatir jangan sampai "nila setitik merusak susu se-Malinda".
Bisa menimbulkan citra feodal BUMN secara keseluruhan. Padahal, itu
hanya terjadi di satu-dua BUMN. Selebihnya sudah banyak yang sangat
korporasi.(*)


Dahlan Iskan
Menteri BUMN
http://www.jpnn.com/read/2011/12/12/110974/Kursi-Feodal-Bertabur-Puntung-Rokok-

--
"One Touch In BOX"

To post : koran-digital@googlegroups.com
Unsubscribe : koran-digital-unsubscribe@@googlegroups.com

"Ketika berhenti berpikir, Anda akan kehilangan kesempatan"-- Publilius Syrus

Catatan : - Gunakan bahasa yang baik dan santun
- Tolong jangan mengiklan yang tidak perlu
- Hindari ONE-LINER
- POTONG EKOR EMAIL
- DILARANG SARA
- Opini Anda menjadi tanggung jawab Anda sepenuhnya dan atau
Moderator Tidak bertanggung Jawab terhadap opini Anda. -~----------~----~----~----~------~----~------~--~------------------------------------------------------------
"Bersikaplah sopan, tulislah dengan diplomatis, meski dalam deklarasi perang sekalipun seseorang harus mempelajari aturan-aturan kesopanan." -- Otto Von Bismarck.
"Lidah orang berakal dibelakang hatinya, sedangkan hati orang dungu di belakang lidahnya" -Ali bin Abi Talib.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar