Kamis, 08 Desember 2011

[Koran-Digital] EDITORIAL Membonsai Kasus Nazaruddin

Apatisme publik atas tegaknya keadilan di Republik ini bisa berimplikasi pada frustrasi sosial yang bakal menjadi bom waktu.''

DALAM konstruksi hukum dikenal postulat `tidak ada bukti' tidak boleh dijadikan `bukti bahwa tidak ada tindak kejahatan'. Justru ketika belum ditemukan alat bukti, penegak hukum harus bekerja ekstra keras untuk menemukan bukti.

Langkah itu bertujuan memberikan jaminan bahwa hukum berlaku adil dan tegak demi membongkar dan menghentikan kejahatan. Namun, dalil tersebut seperti hendak dihilangkan dalam kasus Wisma Atlet dengan terdakwa mantan Bendahara Umum Partai Demokrat M Nazaruddin.

Bukan sekadar belum ada bukti, melainkan sudah ada fakta sekalipun penyidik seperti enggan mengurai fakta itu menjadi bukti. Celakanya, keengganan itu terjadi ketika penyidikan dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), institusi yang mendapat kepercayaan tinggi dari publik.

Salah satu fakta yang dilompati itu ialah pemanggilan Nazaruddin ke kediaman pribadi Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono di Puri Cikeas pa da 23 Mei 2011. Itulah waktu sesaat sebelum Nazaruddin kabur ke luar negeri.

Fakta pertemuan Cikeas sama sekali tidak muncul dalam dakwaan jaksa dari KPK dalam sidang di Pengadilan Tipikor Jakarta. Tidak mengherankan jika Nazaruddin pun protes dan merasa ada sesuatu yang disembunyikan penyidik.

Karena itu, dalam eksepsi yang ia bacakan sen diri pada sidang Rabu (7/12) lalu, Nazaruddin pun mengungkap apa yang terjadi dengan pertemuan di Cikeas.

Nazar menyebutkan ia sudah membeberkan aliran dana dan keterkaitan sejumlah elite Partai Demokrat dalam kasus Wisma Atlet SEA Games Palembang, di hadapan Yudhoyono, Amir Syamsuddin, Jero Wacik, EE Mangindaan, dan Anas Urbaningrum saat pertemuan Cikeas itu.

Bukan cuma itu, Nazaruddin juga membeberkan pengakuan Angelina Sondakh di depan tim pencari fakta Demokrat pada 12 Mei 2011 soal adanya aliran uang Rp9 miliar dari proyek Wisma Atlet ke sejumlah elite Demokrat.

Nazaruddin menyampaikan itu semua di depan majelis hakim, di bawah sumpah.

Itu berarti pengakuan tersebut tidak boleh diabaikan dan jangan dianggap sebagai igauan atau halusinasi.

Jangan demi melindungi sekelompok elite, disusunlah skenario membentuk opini bahwa Nazaruddin seorang pembohong.

Demi menegakkan keadilan dan menghentikan tindak kejahatan, apalagi kejahatan korupsi, sebuah kasus harus didekati dari segala lini. Selama kasus kejahatan dilokalisasi hanya untuk mereka yang kecil dan malas menyentuh para elite dan inner circle-nya, pada titik itulah publik kian kehilangan harapan.

Apatisme publik atas tegaknya keadilan di Republik ini bisa berimplikasi pada frustrasi sosial yang bakal menjadi bom waktu. Kita tentu tidak ingin hal itu terjadi.

http://pmlseaepaper.pressmart.com/mediaindonesia/PUBLICATIONS/MI/MI/2011/12/09/ArticleHtmls/EDITORIAL-Membonsai-Kasus-Nazaruddin-09122011001003.shtml?Mode=1

Tidak ada komentar:

Posting Komentar